It hurts my feeling somehow.
Komentar
dari teman, saudara, keluarga, atau mereka yang bisa saja hanya bertemu
beberapa kali seumur hidup, terkadang itulah yang melekat. Tertinggal dan
menancap pada hati dan pikiran. Tidak baik memang, tapi begitulah kenyataannya.
Mau menampik? Bua tapa? Toh manusiawi
bukan untuk merasa sakit hati, kecewa, marah atau pun sedih?
Beberapa
komentar pun hadir dalam keseharianku tiga tahun belakangan. Menyebalkan
memang, tetapi aku harus bertahan hidup dan terus berkarya untuk membuktikan
kepada mereka, bahwa pendapat mereka itu tidak melulu benar. Atau konstruksi sosial
yang selama ini tertanam di masyarakat pun tidak sepenuhnya benar dan harus
ditelan mentah-mentah.
Semua
bermula ketika aku didiagnosa dokter sebagai pasien radang pernafasan, liver,
dan mempunyai virus Hepatitis B di dalamnya—di dalam hati. Pertanyaan pertama
yang muncul di kepalaku adalah, ‘aku tertular oleh siapa?’. Aku memang tidak
menjaga makananku, aku suka memakan junkfood,
i didn’t do sport since 3rd
year of my college life. Mungkin aku terlalu banyak mengkonsumsi makanan
tidak sehat jadi mudah terkontaminasi oleh virus dan bakteri. Ya karena aku
tidak mungkin tertular lewat sex. Cause I never had one. Never. Jadi kemungkinan terbesar adalah dari
piring/sendok di warung tempat biasa aku membeli makan ketika jadi anak kosan.
I was overthinking about it
till got insomnia for almost 5 months. I hated it. But I was glad that my daddy
always there. Mom? I didn’t know.
Banyak
hal terjadi ketika aku dalam stase pemulihan. Bahkan kejadian yang pernah
membuatku membakar betis sebelah kananku, saking kesalnya. Aku bahkan sampai
kehilangan 7 kilo berat badanku dalam waktu dua minggu. Nafsu makan menurun
meski sudah diberi vitamin dan beberapa obat untuk dikonsumsi setiap harinya.
Tapi
apa? Ada satu komentar yang membuatku kehabisan kata-kata untuk membalas
ucapannya.
“Kamu
tidak ingin menikah saja, biar penyakitmu sembuh?”
WTF people thinking about
marriage? A medicine to cure severe illness? WOW cool!
I’m just 24, no…I was only
21 then three years ago. But why people so busy commenting my illness, and
what? They said marriage can cure it. Bij,
even my doctor—my internist—said that it can’t be cured. The virus just will
take some rest inside my liver. Ha ha ha funny? It is funny for real.
“Complement each other’s life will make you eager and wiser. But that’s not only through marriage, and it is not only applies to couple!”
And 3 days ago, one of my
uncles, not close enough to have even my phone number, then he popped out with
his harsh comment,
“Udah
tua kok belom kawin, nanti jadi perawan tua gak laku, hidupmu ga bahagia,
agamamu gak sempurna.”
Sejak
kapan pernikahan jadi justifikasi untuk sebuah kebahagiaan? Sejak kapan pula ‘institusi’
itu jadi justifikasi tentang kesempurnaan agama seorang kaum?
Hadeuh tulung, pening pula
pala aing dibuatnya.
Tidak
menolak kenyataan bahwasanya perasaanku sakit ketika mendengar
komentar-komentar pedas tentang tetangganya, tentang seorang perempuan yang
mungkin saja baru pertama kali mereka temui dan mereka mengomentari dengan
sangat tidak bijak tentang usianya yang sudah dewasa dan belum menikah? It
hurts my feeling somehow.
Is this life completely only
about re-reproduction? Yeah, suck and yet sad at the same time to those who
still thinking that way. Here come to me, I will pat your back to calm you
down.
Tentu
saja aku merasa sakit hati. Apa salahku? Apa aku pernah menyakiti mereka di
masa lalu? Apa aku sebegitu salahnya untuk tetap sendiri di usiaku yang masih
muda?
NOPE! I’m doing right! I
amend myself for a better place for human being.
Salah
ketika hidupku ini merugikan dan menyusahkan banyak orang.
Atau
ketika seorang di luar sana mengomentari kehidupanku yang menurutnya “Kok dia
bisa seperti itu sih?”
Sayangnya
Daf, sayang Faid, sayangnya siapapun di luar sana, emang hidup itu kan katanya ‘sawang sinawang’. Tapi alhamdulillah aku bisa melakukan
pekerjaan ini pelan-pelan dan selesai. Bukan hanya duduk diam dan dapat uang.
Aku tidak sepandai itu untuk duduk diam tetapi ber-uang. Setidaknya semuanya
cukup untuk menyenangkan diri, membelikan popok dan susu anak, serta untuk
menabung.
Kalian
tidak perlu iri dengan hidupku, aku hanya manusia biasa. Tanpa kekuatan super.
Jadi,
alangkah baiknya jika kita bisa menghargai hidup orang lain. Berbicara yang
sopan. Karena aku takut juga salah berucap di depan teman-teman. Yang tanpa
sadar kalimatku sudah menyakiti, aku minta maaf ya.
Setidaknya
aku bahagia menurut standarku, aku menyukai banyak hal. Aku menyukai banyak
makanan. Meski aku tidak bisa membuat satu pun di antaranya. Aku punya banyak
teman, mereka mengajarkan hal-hal baru. Tentu saja aku punya hak untuk
mendengarkan dan punya kemampuan untuk memilihnya pula. Yamasa semua kutelan dan kulakukan.
Though I’m not a good
person, I can guarantee you all that I’m not a bad one. I’m just not good
enough, I lie sometimes, I do angry, sad, disappointed and cringe, iyuh. Tetapi aku ‘katanya’ cukup
menyenangkan untuk beberapa hal. (Nyampah
di teel orang misalnya)