------------
Sebal rasanya ketika
seseorang yang tidak tahu menahu perihal diri kita dengan semena-mena
mengomentari kehidupan kita. Ada yang bilang ketika seseorang mengomentari
kehidupan kita artinya mereka peduli. Bukannya aku tidak setuju, akan tetapi
bisa berarti dua. Pertama, mereka benar-benar peduli, atau yang kedua, mereka
iri dengan kehidupan kita. Hidup kan sawang-sinawang,
katanya.
Tidak hanya mengomentari
gaya hidup kita yang menurut mereka tidak berguna. Berguna dan tidak berguna
itu memiliki makna yang luas. Berguna menurutku bisa saja tidak berguna menurut
orang lain.
Orang bisa saja berpikir
membelanjakan gaji bulanannya untuk membeli perkakas sandang, aksesoris, make up, dan barang-barang bermerek
lainnya ketimbang membeli buku dan tiket kereta kesana-kemari sepertiku—yang dianggap
tidak berguna. Karena menurutku itu berguna-berguna saja. Aku menikmati buku
yang kubeli. Aku menikmati setiap perjalanan yang sudah kutempuh. Aku menikmati
perbincangan dan cerita di setiap perjalanan. Bagian mananya yang tidak
berguna?
Tidak berhenti sampai di
situ saja, mereka mengomentari usiaku yang (baru/sudah) 23 tahun—it is actually young enough to enjoy every
pieces of chocolate cupcakes and a cup of ice cream—dan masih sendiri. People helloooooo? So what? Sendiri
bukan berarti tidak mampu bahagia ya!
Ini tentang pernikahan,
bohong kalau tidak pernah memikirkannya. Bohong jika tidak dibuat ketakutan
oleh konsep mengerikan itu. Di islam, beberapa orang yang kutemui dan membahas
tentang konsep tersebut, mereka mengatakan bahwa pernikahan merupakan proses penyempurnaan agama. Yakin setelah menikah
agamanya menjadi sempurna, atau let’s say
ilmu agama dan imannya membaik? No
guarantee, honey.
Dalam rukun islam dan rukun
iman islam, tidak disebutkan mengenai pernikahan dilakukan untuk sempurnakan
rukun islam atau tentang iman pada pernikahan. Bukankah masih banyak aspek
kehidupan lain yang lebih penting? Menyayangi bumi misalnya!
Ketika mereka bertanya,
“Kapan?”
Bukankah jodoh itu ditangan
Tuhan? Lalu kenapa masih tanya-tanya saja? Memang aku tahu? Orang aku bukan
Tuhan.
Boleh saja kalian mengatakan
aku terlalu menganggap serius tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai pernikahan
itu, tapi pernikahan bukan sebuah candaan belaka.
Tahukah kalian mengapa seseorang
memilih untuk tidak menikah? Jawabannya adalah, apakah alasan seseorang untuk
tidak menikah tersebut sebegitu penting buat kalian?
Orang hidup itu punya borok sendiri-sendiri. Bisa jadi salah
satu borok itu yang membuat seseorang
memilih untuk tidak menikah atau mempercayakan hidupnya pada sebuah konsep
pernikahan.
“Aku berjanji akan membuatmu
bahagia.”
Pernikahan bukan satu-satunya jalan untuk membuat orang lain bahagia. Dan, setiap janji bisa saja
tidak ditepati. Janji bisa dilanggar, terlebih janji yang tidak ada jaminannya.
“Jaminan surga untukmu
ketika menikah.”
Yang bisa menjamin surga
untuk hambanya itu hanya Tuhan. Bukan manusia yang sukanya mengeluh tentang
panas dan hujan. Mengeluh tentang kembalian alfabetamart atau indoapril berupa
permen dua puluh biji karena tidak ada uang 5 ribu? Plis, what an excuse to give twenty candies instead of five thousand rupiah.
Yasudah akhiri kejulidan kita pada kembalian permen itu.
“Ih nanti dah tua gak laku,
gabisa punya anak, gak punya keturunan, sengsara hidupnya.”
Eh itu mulutnya dijaga kalau bicara sembarangan ya,
manusia. Memangnya hidup ini hanya urusan anak dan keturunan? Sudah cukup ya
jumlah manusia di bumi ini, ditambah-tambahi bukan berarti semakin baik pula
bumi ini dibuatnya.
Dari situ jadi semakin
mengerti mengapa seseorang terkadang memilih menanggapi hanya dengan senyuman
atau diam saja daripada diberondong pertanyaan-pertanyaan anakan dari konsep
itu.
Bukannya menolak atau tidak
setuju dengan institusi pernikahan, tidak sama sekali! Aku senang ketika kawan
dekatku menikah, memercayakan sisa hidupnya bersama seseorang yang dipercayanya
sebagai penyumbang tulang rusuk. Aku mendoakan kebahagiaan mereka dengan tulus.
Karena aku yakin mereka sungguh bahagia dengan pilihan itu. Semoga berkah Tuhan
selalu melimpah ruah sampai akhir hayat memisahkan.
Hanya saja. . . .
Aku tidak mengindahkan
klausa tentang pernikahan adalah tempat yang lebih baik untuk perempuan. Siapa
yang dapat menjamin itu? Siapa yang tahu apa yang akan terjadi setelah
pernikahan itu terjadi? Tidak ada yang tahu.
Hanya saja. . . .
Hanya saja aku sedih ketika
melihat orang-orang yang kukasihi, diberdaya oleh pernikahan. Dibuat menangis
oleh pernikahan. Dihianati oleh pernikahan. BUKAN. Bukan salah pernikahan, ini
salah perasaan yang dilibatkan dalam sebuah pernikahan dan seringkali menyakiti
satu maupun kedua belah pihak. Dan sedihnya lagi, mereka memilih untuk
mempertahankan pernikahan itu. Dengan menyisakan sisa-sisa yang tersisa di sisa
pernikahan mereka. Terlalu banyak sisa, memang sengaja.
Sayang sekali.
Semoga masyarakat, kita,
teman kita, saudara, dan orang-orang terdekat semakin bijak dalam memandang
sebuah pernikahan, konsep pernikahan, institusi pernikahan, maupun kehidupan pasca
nantinya. Karena akan semakin banyak kepala yang terlibat dalam sebuah hubungan
‘resmi’ ini. Diperlukan yang namanya mendengarkan dan menekan ego maupun
idealisme. Dibutuhkan sebuah keseimbangan.
Terima kasih untuk kalian
yang berkenan menyempatkan membaca tulisan ini.
------------
Untuk kalian yang tertarik
tentang topik seperti ini dapat berselancar di Magdalene.co