Dunia ini ditempa dengan kebiasaan manusia yang beragam.
Kebiasaan itu tidak bisa dihilangkan seperti mencukur bulu ketiak. Kebiasaan
itu tertanam dan memberi kebahagiaan disela kesedihan. Memberi warna di rongga
spektrum pelangi. Mengisi kekosongan ketika kesepian. Menjanjikan ketenangan
saat dihardik kekhawatiran. Membosankan untuk orang lain tapi berharga untuk
sang pecandu.
Dia, terbiasa meluangkan dua hari dalam sebulan untuk
berbelanja. Membeli baju dan celana. Membeli peralatan rias yang sudah menipis.
Mengisi lemari pendingin untuk sebulan kedepan.
Dia, terbiasa meninggalkan kenyataan satu hari dalam satu bulan
untuk menenangkan diri. Menyatu dengan alam. Bersemedi katanya. Untuk
mensyukuri waktu satu bulan yang dilaluinya dengan penuh berkah.
Dia, terbiasa menjadikan akhir pekan sebagai ajang balas dendam.
Dihabiskan waktu untuk mengistirahatkan tubuh sebelum diterjak badai kesibukan
sepekan kemudian.
Dia, terbiasa menyempatkan diri untuk ke makam suami-istri
sebelum pergi bekerja. Untuk mengingat hidup di dunia hanya sekali, setelah itu
berakhir.
Dia, terbiasa melingkari hari Jum’at untuk tidak hentinya
berdoa. Hari yang penuh berkah, katanya. Dia yang selalu tak sabar menunggu
hari jumat.
Begitu banyak ‘Dia’ dan kebiasaan luar biasa mereka. Begitu pula
denganku. Terbiasa melingkari dua hari dalam satu atau dua bulan sekali untuk
pergi ke dokter dan laboratorium. Menanti keajaiban.
Aku terbiasa melakukan apa yang ingin kulakukan. Tak panjang
lebar bertanya mengapa dan bagaimana. Rasanya hidup ini terlalu cepat untuk
mempertanyakan alasan ini dan itu. Aku tidak ingin melampaui batas. Tapi selalu
ada makna di setiap batas yang terlampaui. Selalu ada sejarah disetiap
kebiasaan.
Daf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar