Ruangan dengan satu TV besar di tempat ini menjadi lapak
kesukaan semua orang. Saat mereka merasa penat menunggu keluarga atau saudara
yang sedang dirawat, maka ruangan ini adalah tujuan mereka. Bertemu dengan
banyak orang, berbagi cerita. Mulai dari basa-basi sampai cerita yang tak
seharusnya dibagi tumpah ruah di ruangan ini. Mulai dari bertanya alamat sampai
biaya perawatan seringkali diungkapkan di ruangan ini.
Lobi rumah sakit.
Seperti halnya apa yang saya alami beberapa jam yang lalu.
Pertemuan Saya dengan seorang pedagang berwajah teduh yang merapat ke kerumunan
orang yang melihat berita di TV. Beliau duduk tepat disebelah kanan Saya, pria
berumur 55 tahun yang mengaku namanya An.
“Panggil Pak An saja,” Ucapnya sambil tersenyum kearah saya.
Bisa dihitung berapa manusia sejenis saya yang duduk di ruangan
ini, kebanyakan bapak-bapak paruh baya dengan wajah lelah dan kantung mata yang
sudah tebal saja. Mereka rela mendongakkan kepala hanya untuk melihat TV yang
tergantung diatas garis pintu.
“Negeri ini yang diberitakan ya korupsi, ya narkoba, ya
kejahatan, kapan kasih berita baik untuk masyarakat kecil begini?” Pak An
melipat kakinya setelah melontarkan pernyataan bernada tanya itu.
Mulai dari pernyataan pertama tersebut, saya menyimpulkan pria
paruh baya ini bukan sembarang bapak-bapak yang menunggui pasien, beliau sangat
kritis.
“Mmm, mungkin itu yang lebih menarik pak.”
“Menarik sekali. Habis-habiskan uang untuk merawat predator
rakyat di lapas. Dikira para koruptor yang ditahan itu bisa hidup tanpa makan
saat ditahan apa?” Lagi-lagi Pak An melontarkan pertanyaan di akhir
pernyataannya.
Asli! Pak An memang kritis
“Demi harapan balikin uang korupsinya pak, hhe.”
“Bisa saja uang yang dibalikin si koruptor dikorupsi sama
koruptor yang lain. Kayak lingkaran setan.” Si bapak tidak hanya berlipat kaki
duduknya, kini tangannya bersedekap di dada setelah mengucapkan kalimat dengan
nada kesal untuk lingkaran setan.
“Kalau muter begitu terus kapan rakyat kecil bisa hidup tenang
meski hanya dengan nasi ya pak?” Saya menimpali Pak An dengan pertanyaan dengan
nada setengah serius.
“Iya. Padahal kita makan nasi saja sudah seneng. Makan nasi
sendiri sih gapapa. Negeri ini gaya-gaya makan nasi impor.”
Sekakmat.
“Mental bangsa kaya ya, pak.”
“Kaya sih kaya tapi petani gak perlu dibuat susah. Berasa gak
dimanusiakan. Liat itu puluhan stasiun tipi swasta! Ada mereka tayangin tentang
agrikultur? Halah yang ada itu berita pasang-copot menteri.”
“Katanya pupuk juga dipersulit ya pak?”
“Iya nak. Kalau pupuk dibatasi, bagaimana petani hidupi
keluarganya. Hama disana-sini, kalau gak dikasi pupuk ya gak panen.”
“Pemerintah pingin yang organik kali pak jadinya dibatasi gitu
konsumsi pupuknya.”
“Ya mungkin pemerintah ingin menggerus para petani, diludeskan
lahan-lahan, didirikan itu pabrik-pabrik. Jadi manusia industri semuanya.”
“Suatu saat nanti nilai agrikultur pasti tinggi kok pak.”
“Kata ‘nanti’ itu kadang cuma mimpi. Gimana nilainya gak tinggi,
nanti itu. . . suatu saat nanti lahan-lahan tinggal sedikit. Yapasti nilainya
tinggi.” Pak An sudah jauh memikirkan apa yang akan terjadi pada anak cucunya
kelak.
“Bapak ini petani, ya banting tulang, cucuran keringat ngolah
lahan. Sekali panen, harga pasar langsung anjlok. Kayak orang lompat ke sumur
itu lo harganya. Bulog ya buka, tapi nyawanya udah senin kamis. Sehari buka
seminggu tutup. Terus padi-padi yang dipanen itu dijual kemana? Ya dimakan
sendiri.”
Saya tidak tahu harus meresponnya seperti apa lagi. Orang tua
saya juga seorang wiraswasta, kecil-kecilan. Kurang lebih saya memahami apa
yang diungkapkan Pak An.
Para petani mengeluh kesusahan merawan ladangnya. Susah cari
pupuk. Susah jual panenannya. Pasarnya petani udah edan. Kapan petani dimanusiakan lagi? Itu kalimat yang kerap kali
saya dengar.
“Haduh, liat beritanya kasus korupsi sama narkoba tapi malah
curhat nasib petani.” Pak An menoleh kearahku disertai anggukan kepalanya.
“Siapa yang sakit nak?”
Sesungguhnya imbuhan ‘nak’ yang diucapkan Pak An mampu
meluluhkan hati Saya.
“Cuma ketemu dokter pak, Bapak nunggu siapa?”
“Nunggu ibu nak. Istri saya sakit.” Lagi-lagi Pak An memanggil
saya dengan sebutan ‘nak’.Saya terenyuh.
“Semoga lekas diberi kesembuhan ya pak.”
“Amin, nak. Biar nanti bisa bareng-bareng ibadah lagi.”
Ya Tuhan. Kalimat barusan membuat hati saya bergetar. Sungguh
kalimat tulus itu membuat saya mengucap dalam hati.
‘Semoga semua yang sakit, segera disembuhkan. Agar kembali
beribadah kepadaMu.’
Terimakasih lobi rumah sakit yang mempertemukan saya dengan Pak
An.
Lapak para penunggu.
-F-
nenek moyang kamu petani apa pelaut, id? :3 *peaceeeee*
BalasHapusMbaaaaak itooooooh loooh lol deh. Nenek moyangku ratu langit loh *plak
Hapus