I'm only walking and seeing the doll shop
You are sitting with your lovely lollypop
I want too! Make it pop
But sure, I've no more money and this part will be crop
You are running with that cute shoes
I'm just hitting up my clues
I want too! Run and goes
Hey you, You have all and She does
You and She are best
Have all and it isn't only cast
Like God gimme test
To thankful cause I'm blest
1/18/2014
1/15/2014
I'm Sorry to You, Coffee
Kemarin
adalah hari Selasa. Entah kenapa gue
selalu mikir selasa adalah hari yang paling panjang di antara hari-hari lain
selama seminggu. Apalagi kejadian kemarin, duh sedih banget. Tapi, hidup kan
bukan untuk sedih. Ngapain hidup kalau isinya sedih doing? Yaelah kasian ayam
tetangga udah susah-susah bangunin elo, eh elunya malah lagi sedih. Iyuh.
Kemarin
gue seharian ngendon dirumah dan cuap-cuap sama nyokap. Nyokap baca novel-novel
dari lemari, begitu-pun gue. Kita saling cerita apa isi yang ada dalam novel.
Yah, cukup boring seharian isinya
novel. Agak siangan, nyokap punya inisiatif pesta kopi kayak biasanya. Meskipun
nyokap juga tahu sih, jantung gue tuh gak sehat-sehat banget. Mungkin karena
nyokap tahu gimana sukanya gue sama kopi. Akhirnya gue milih gelas keramik
ekstra large, kangen banget di kosan
gak bisa minum kopi itam buatan nyokap. Nyokap ngeliatin, mau komentar tapi gak
jadi soalnya muka gue memohon gitu ceritanya.
Alasan
gue suka kopi apaan? Lo tau kan, kakek-kakek tuh biasanya minum kopi saben
pagi, siang, malem, rutin berasa minum obat kesehatan. Nah, gue tuh ceritanya
punya kakek, bukan kakek-kakek-an, kakek gue beneran tauk. Beliau tuh nukik (gila) sama kopi, gue yang tinggal
serumah tau-lah ada bauk kopi, akhirnya kakek gue nyicipin dikit-dikit, mungkin
waktu itu umur gue sekitar 5 tahunan. Setiap hari, setiap pagi, siang, malem,
dan jadilah kebiasaan gue sampe SMP.
Pas
SMP, bokap dan nyokap pindah rumah, gue—anaknya ikut-lah. Kita berlima,
termasuk dua adek laki-laki gue pindah, yeay rumah baru. Ternyata rasanya ngebĂȘte-in
banget punya tetangga baru, gak ada kenal, mana gue orangnya gak suka keluyuran—ke
tetangga. Jadi, gue hanya berangkat sekolah dan pulang sekolah. Setahun awal
pindah rumah, gue gak pernah minum kopi. Masih dalam kondisi adaptasi sama
rumah baru. -_-! Yang setelah itu sudah rutin lagi minum kopinya. Dan hidup
kembali normal. Meskipun, nyokap suka marah-marah. Karena, kalau gue abis minum
kopi biasanya suka pingsan di sembarang tempat. Dibawalah gue ke dokter,
hasilnya adalah gak boleh minum kopi, gak boleh capek, gak boleh ini, gak boleh
makan itu, la la la. Pokoknya waktu itu pengen gue jahit mulut dokternya,
rempong banget. Untung aja dia cantik, jadi sayang kalau disakitin #eh. Jantung
gue agak gak sehat. Itu yang bikin gue sebel sama hidup, gak sedih. Yah, minum
kapsul dan tablet. Sebenernya seneng-seneng aja sih, soalnya warna-warni. Mulai
dari warna putih, hijau, ungu, sampe hitam, ada kok—seru.
Kembali
pada hari selasa, kemarin. Jam 12-an, gue udah keringetan dingin, jantungnya
udah degup-degup cepet banget. Pandangan udah kabur. Gue nyoba bangkit, masih
bisa nyetir motor. Tanpa bilang nyokap, gue langsung pergi ke dokter, deket
rumah, untungnya, dan lagi gak dirumah sakit pula si dokter, untungnya, dan gue
dimarahin, sayangnya. Namanya dokter Joe, ganteng buuanget, istrinya juga
cantik dan udah punya 2 anak, sayangnya—gak bisa di-gebet. -_-! Dan beberapa
detik setelah meriksa denyut nadi dan yap gue pingsan. Dan ternyata pingsannya
cuman bentar dikasih bau-bau aneh jadi gue langsung bangun—lagi. Setelah itu mantra-mantra
mulai keluar dari mulutnya, dengan suara yang menggelegar dan gue hanya diem
bebaring di kasur yang gak ada empuk-empuknya. Pasien-pasien yang lagi antri
dan tadinya ruuuame, langsung diem. Omegod, gue malu. Sebenarnya itu bukan
mantra sih, melainkan istilah-istilah medis yang gue gak ngerti maksudnya apa.
Mungkin dokter Joe lagi pemanasan mulutnya. Setelah beberapa menit,
diperiksalah tekanan darah dan see!
140cc! Damn! Gue berasa jadi mak tiri
saat itu juga, mana bisa anak muda kek gue tekanan darahnya segitu? Gilak!
Terus saat itu gue mikir suatu saat kalau sampai tekanan darahnya tuuinggi, gue
bisa aja terkena stroke dan gue
langsung lemes mikirnya. Akhirnya gue dikasih obat langsung sama dokternya
sambil bilang dengan mata melotot, yah mekipun tetap guanteng pol.
“Wes!
Gausah minum kopi-kopian. Gausah sok-sok an bergadang malem-malem. Dasar anak alay.
Gausah lembur nonton film-film korea.” Mata gue mengeryit tanda bertanya kok
dokter bisa tau, dan si doi langsung jawab “Ibukmu suka cerita ke saya. Wes,
guasah maksain diri ta, kamu itu gak sehat.” Sesaat itu gue langsung pengen
teriak -kamfret- saat itu juga didepan muka dokternya. Errrr~ “Habis ini
pulang, minum obatnya, istirahat. Bisa naik motor lagi kan?”
“Bisa,
dok. Udah kan ngomelnya?”
“Bukan
ngomel, nduk sayang. Tapi itu tadi dzikir.” Muka gue langsung nge-blank seketika denger dokternya ngaco—garing
abis. Gue kemudian bangkit dan bilang
“Makasih,
dok.” Dan gue pulang. Yah p u l a n g !
Sampe
dirumah, nyokap udah nangkring aja dikursi deketan dapur. Setelah markir motor,
langsung mepet-mepet ke nyokap.
“Dari
mana, nduk?”
“Dari
dokter Joe Hahaha.”
“Ngapain?
Pake ketawa lagi, ada yang lucu emang? Gausah godain dokter Joe yang ganteng
itu.”
“Ya
Alloh maaaak, kagak! Ngapain ke dokter? Nyari alat pancing dan jahit baju,
puas. Ya periksa maaaak. Yaelah suudzon-nya, astaghfirullahaladzim.
Jantungnya gak siap sama kopi tadi mak.” Dengan muka siap menerkam, nyokap
nyerocos dengan fluently dan
uh-ma-jing nya gue terpukau dengan seni berbicara yang mengagumkan, cepet
banget ngomongnya beliau.
“Makanya,
udah tau kek gitu minumnya kopi mulu. Udah sekarang tidur sana, eh bentar.
Obatnya diminum dulu, eh eh kamu belum makan, makan dulu, obatnya diminum dan
entar tidur.” Omegod gue shock!
Betapa
bahagianya hidup gue, dikelilingi orang-orang yang peduli sama gue. T e r h a r
u. Mereka selalu ngomel, doa, dzikir, yang sebenarnya itu adalah nasehat, gue
tau kok. I love you, guys.
Ini
adalah saatnya gue minta maaf ke KOPI. Karena, dia selalu gue jadiin alasan pas
sakit. Padahal sebenarnya gue-lah yang cari gara-gara godain dia dan akhirnya
dia mau gue minum. Hmmpt, tubuh telanjangnya si kopi, akan menarik siapapun
yang lewat dan menjejali aroma yang fyuh lezaaaat.
Kopi,
ijinkanlah gue meninggalkan lo perlahan. Maafin gue ini, yang harus lo tahu, gue
cinta sama lo. Dan gue gak bakal lupain lo. Tapi gue yakin itu pasti susah.
Tapi insyaallah kalo niatnya baek,
bakal dijabanin sama yang punya ini hidup, illahi
rabbi
I'm Shining Now
Saat
rintik di bulan Januari membawa kehangatan di sebagian pemilik hati, maka bukan
untuk Sena. Dia adalah gadis malang, ditinggal pergi kekasihnya—kembali pada
jodoh yang ditentukan orang tuanya. Dia tahu dia hanya editor yang tidak punya
rumah mewah, hanya apartemen kecil cukup dibuatnya guling-guling seharian. Dia
tahu dia hanya seorang diri, setelah kematian kedua orang tuanya di rumahnya
yang habis terbakar dan dia adalah satu-satunya yang selamat, 5 tahun yang
lalu. Dan sekarang, setelah 2 tahun cukup dapat tersenyum dan bersinar seperti
gadis normal yang merasakan cinta dan mencintai, dengan perasaannya. Bukan
cinta-cintaan, bukan cinta monyet, bukan. Sekarang apa? Pemuda yang sangat
dicintainya, Redi, pergi meninggalkannya.
“Sen,
kamu tahu kan aku mencintai kamu?” Sena sudah mulai tak nyaman dengan
pembicaran yang tegang ini.
“Ya,
ada apa Red?” Redi yang duduk disebelah Sena hanya menggerakkan sedikit
tubuhnya.
“Maafkan
aku, Sen. Kamu tahu kan, orangtuaku gak pernah ngijinin aku pacaran sama kamu?”
“.
. .”
“Aku
dijdohin sama anak sahabat mama. Maafkan aku Sen. Aku sangat cinta sama kamu,
tapi aku harus ninggalin kamu. Agar kamu gak disakitin lagi sama ata-kata kasar
mama tiap kali aku jalan sama kamu.” Sena menundukkan kepalanya. Dia bangkit
dari sofa dan masuk ke kamarnya. Mengambil sesuatu, dan kembali dengan brownie box yang berisi hadiah-hadiah
dari Redi. Dia tidak menangis, tapi matanya cukup merah dan wajahnya begitu
keras.
“Ini
Red. Aku berharap aku tidak pernah nyakitin kamu lagi, dan kamu bisa bahagia
denga pilihan kamu, pilihan mama kamu.”
Sena menekan kata ‘pilihan mama kamu’
Hubungan
yang diakhiri terkadang membungkam masa lalu yang tinggal kenangan. Sena tahu
tidak harus ikut terkubur dengan sakit hati dan rasa tidak terimanya karena
ditinggalkan oleh orang-orang yang disayanginya. Tapi, matahari masih tersenyum
padanya. Hidup harus terus berlangsung, berjalan, dengan formasi dan semangat
baru.
Bersinar
dengan langkah mata yang tak lagi sembab, tak lagi memutarbalikkan badan saat
melihat mantan, tapi tersenyum dan terus berjalan kedepan dengan langkah tegap
dan aura memukau yang tak bisa tertolak oleh siapapun. Sena tak lagi hidup
dengan kegelapan, melainkan cahaya yang terus menerus meneranginya, menyinari
hari-hari bahagianya. Sena bahagis.
“God Thanks I’m shining with my own way.”
1/14/2014
Life is Colour that You've Choosen
Kemarin gue pulang dari
Surabaya, naik bis-seperti biasanya.
Gak kerasa ternyata UAS-nya udah
selesai. Laga sih, tapi gue merasa sedikit keewa sama hasil kerjaan gue. So
Sorry, parents. Tapi at least gue udah berusaha semampu gue dengan
usaha yang gak kecil juga, pikir gue.
Yah, senin adalah hari yang
sibuk. Jalanan cukup tak bersahabat kemarin, panas dan macet sungguh mengganggu
suasana dalam angkot yang harus memakan waktu satu jam lebih duabelas menit
untuk sampai di Terminal. Yah walaupun terkadang hingga dua jam, kemaren itu
udah kehitung ceet lah ya. Kemudian gue kebiasaan jalan cepet nyari bis,
intinya gue orangnya grusa-grusu (tergesa-gesa). Demi apapun baru lima
menit dalam bis yang belum terisi penuh masih setia ngetem tiba-tiba gerimis.
Gue yang duduk deket jendela buru-buru nutup fentilasi kecil diatas pala gue.
Yah, kembali panas meskipun gerimis. Gimana enggak? Didalem bis tuh ya, oksigen
seberapa direbutin penumpang seberapa, sebut saja timpang. Intinya terima aja
bis ekonomi yang benar-benar mengerti perekonomian gue. Beberapa menit kemudian
hujan semakin deres aja. Bikin males ngomong sama penumpang di sebelah.
Akhirnya gue mutusin buat maenan kaca jendela disebelah gue karena embun dari
ujan dan akhirnya ngeluarin novel dan baca anteng.
Satu jam setengah akhirnya
berlalu meskipun dengan kebisuan antara gue dan penumpang disebelah gue,
persis. Tapi kita berdua cukuplah saling curi pandang. Bapak-bapak yang
menggemaskan, gue pikir. Dan akhirnya beliau turun tepat setelah pikiran goblok
gue. Dan sekarang gue duduk sendiri di bangku yang harusnya berisi tiga orang
itu. Kemudian sampailah bis yang gue tumpangi di Babat, tepat sepuluh menit
lagi sampai di halte pemberhentian gue. Ada mbak-mbak yang biasa nyanyi di bis
(ngamen) favorit gue, suaranya enak banget soalnya. Namanya mbak ning. Mbak
ning gak disangka-sangka nyanyi lagunya Siti Nurhaliza dengan Judul Cindai,
terus gue yang hapal seluruhnya ikutan nyanyi dikit-dikit dan nutup novel-masukin
dalam ransel kecintaan gue.
Saat nyanyi, mbak ning menghadap
kiri dan membelakangi gue, tahulah ya elo gimana formasi bis yang gue maksud,
gue anggap kalian ngerti. Setelah itu mbak ning nyanyi lagu dangdut remix-an
yang gue gak ngerti itu apa. Setelah selesai nyanyi mbak ning berjalan kedepan
dan membuka kantong plastic bunga-bunga miliknya dan pas sampe di gue, mbak
ning hening
“Mbak Fa’id. Bentar mbak, saya
narik uangnya kebelakang dulu, nanti kita ngobrol lagi.” Dan gue cuman
ngangguk, padaha gue belum sempet ngasih receh ke mbak ning. Tapi gue udah mau
turun, akhirnya gue milih jalan ke pintu belakang, mbak ning disana masih
ngitung receh di kantong plastiknya. Tahu kalo gue jalan kebelakang, mbak ning
udah senyum duluan. Lalu kita ngobrol.
“Mbak ning apa kaber? Kangen cah
gak pernah ketemu.” Gue jabat tangan besar dan kasar miliknya, terharu. Pak
kondektur bis hanya liatin ikut nimbrung abrolan gue sama mbak ning. Mbak ning
matanya berbinar liat gue, kangen juga mungkin.
“Baik banget mbak. Saya sudah
nikah loh…..” kemudian bis berenti teriak kondektur “SMP SMP” itu aalah cara
kondektur untuk ngasih aba-aba mau saatnya turun. Dan gue turun, bareng mbak
ning, mengingat kalimat terakhir mbak ning ‘nikah’. Kemudian kita lanjut
obrolannya di bangku kayu sebelah tempat ojekan di pertigaan dimana gue barusan
turun.
“Mbak ning udah nikah?” mbak
ning gak langsung jawab tapi memandang sekeliling kita, orang-orang yang lewat
pada ngelihatin gue, ngobrol sama pengamen. Mereka yang ngelihatin kebanyakan
adalah tetangga deket rumah gue yang kerja jadi kang ojek di pengkolan itu.
Mereka yang gak ngerti kenapa bisa gue kenal mbak ning.
Ceritanya gini, berawal sejak SMA dulu, dimana gue selalu naik bis pas
berangkat dan pulang sekolah. Gue akhirnya ngobrol sama salah satu pengamen
namanya mbak ning selagi gue nungguin jemputan bokap di tempat ojekan. Akhirnya
obrolan kita dimulai mulai dari betanya nama, sekolah dan pengan jadi apa?. Gue
seneng ngobrol sama mbak ning, yang adalah pengamen pertama yang kenal sama
gue. Gue ngerasa terharus mbak ning gak minder ngobrol sama anak berseragam SMA
kek gue. Saat itu gue mengamati muka mbak ning yang ternyata masih jomblo. Mbak
ning cerita kalo dia adalah hidup sebatang kara sejak 3 tahun lalu, dan harus
mati-matian ngamen buat makan, karena keluarganya nggak mau nampung dia
Akhirnya mbak ning hidup di kontrakan kecil bersama pengamen-pengamen lagi. Itu
sih cerita hari itu dan bokap udah keburu nyampe jemput gue.
“Iya mbak. Sama mas Rus. Yang biasanya
ngamen sama saya itu.” Ya, gue tahu, mas rus yang giginya ompong dan berjambang
dengan mata yang suka berkedip-kedip spontan, bukan genit loh ya. Emang suatu
otot yang menggerakannya cepat. Dan sekarang jadi suaminya mbak ning. What a cute life.
“Owalah. Sakinah Mawadah
Warrahmah ya mbak. Saya seneng dengernya.” Gue jadi terharu dengernya.
“Iya mbak, makasih. Ini mbak ada
permen, mau?” mbak ning terlihat merogoh kantong celananya dan ngambil permen
kopiko, gue ambil tuh permen. Tapi gak gue makan, dan gue masukin ke dalam tas.
“Kok gak dimakan mbak?”
“Saya lagi puasa mbak, makasih permennya.
Saya suka kopiko-loh hahaha”
“Sepurane (maaf) yo mbak hehehe”
obrolan gue cukup lama karena ternyata bokap lupa kalo anaknya ini udah minta
dijemput dari SMS duapuluh menit yang lalu setelah sampe di Babat.
Dan tiba-tiba bokap gue udah
datang dengan peci gantengnya naik mio senyum-senyum liat gue dan berhenti
karena lampu lagi merah. Jadi gue pamitan sama mbak ning.
“Mbak ning dadaaaah. Kapan-kapan
kita ngobrol-ngbrol lagi ya” gue bangkit dari kursi kayu itu dan ngasih
sebungkus roti keju buat mbak ning.
“Yaampun mbak, makasih.”
Ya, itu adalah hari paling
mengagumkan buat gue. Bukan karena alasan apapun berteman dengan mbak ning.
Karena memang kita kenalannya gak sengaja. Dan gue seneng bisa temenan sama
klan yang beda selama ini temenan sama gue. Cukup bahagia jika elo-elo pada gak
ngebohongin diri loe.
Hidup itu ada, bukan diingkari.
Karena lo bakal punya kehidupan lo yang lo bisa milih sendiri mau milih temenan
sama siapa. Milih ngadepin hidup kek gimana, aman-aman aja, atau pilih serius
tanpa bercanda, atau dengan slengekan dan macem-macem lainnya. Termasuk gue
yang temenan sama pengamen? Bukan berarti gue setuju dengan apapun yang mereka
lakukan. Gue tetep jaga tanggung jawab dari orang tua gue yang ngasih kebebasan
nyari temen. Bukan berarti gue gak harus jaga pergaulan gue. Gue juga jaga kali
yah. Misalnya gak ikut mereka –ongkong-ongkong-, cangkruk dan semacamnya. Yah,
tinggal caranya kita nanggepin dan hadapinya kek gimana. Karena gue juga sadar
gue bukan dewa yang puinterr dengan IQ diatas 200 dan sok-sok an gak mau
bergaul sama orang yang bukan gue kenal. Oh, hidup itu indah dengan macam-macam
warna.
Thanks God, I love You Parents, ma Bro.
Langganan:
Postingan (Atom)