Aku
ingin berterima kasih kepada Komunitas Peduli Kusta Universitas Indonesia
(Leprosy Care Community). Bingung harus berterimakasih dengan cara apa?
Akhirnya aku memutuskan untuk menuliskannya. Semoga dapat menyampaikan rasa terimakasihku.
Thanks for this precious opportunity
5th International Work Camp.
Aku ingin bercerita satu per satu sosok hebat
yang mengajarkanku nilai-nilai kecil kehidupan. Sosok-sosok hebat yang kutemui
di perjalanan singkatku bersama beberapa campers Indonesia dan campers Jepang.
Yang pertama adalah mbah Usrek, beliau berusia 60 something. Yah sebuah prediksi yang beliau sendiri tidak mengetahui
berapa usianya sebenarnya. Jaman dulu kan nggak penting gitu ya nyatet tanggal
beserta tahun lahir. Sebenarnya siapa sih mbah Usrek? Namanya beneran mbah
Usrek? Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan nama itu? Nggak juga sih, hanya
saja ‘Usrek’ dalam bahasa jawa artinya banyak tingkah. Sedangkan aku belum
sempat menanyakan arti nama beliau sebenarnya, belum sempat. Bisa saja arti
namanya adalah kejayaan kota tunggal di jaman Romawi dulu. Who knows? But her name just too unique so my heart caught by her.
Mbah
Usrek adalah sosok ceria pertama yang aku jumpai di Nganget (5th
IWC). Meskipun usianya sudah segitu, namun kondisi beliau masuk dalam kategori
sehat. Dengan masih bisa berjalan mengambil makan ke panti untuk sarapan dan
makan siang. Walaupun terkadang beliau dibantu dengan sebilah kayu sederhana
untuk berjalan—menguatkan sendi kaki yang sering linu-linu. Yah kata beliau itu
penyakit orang tua. Bisa saja bercandanya. Memang tidak dapat dipungkiri
sendi-sendi tua disertai dengan penyakit seperti asam urat, pegal linu, dan
lainnya.
“Mbah….dari
mana?” Panggilan mbah adalah panggilan sayang kepada setiap warga yang usianya more than fifty. Sore itu aku dan salah
seorang temanku bertemu beliau di dekat panti.
“Nyari
kayu, nduk.” Kemudian kami bersalaman.
“Coba
tebak aku ini siapa mbah?”
“Yo
nggak inget. Sudah tua, susah ingat-ingat.” Dengan nada ceria jawaban beliau
membuatku tertawa kecil.
“Kopi
mbah. Inget ya, Pait. Jadi mbahe biar gampang ingetin nama saya.”
“Oh
iya pait.”
Yah
percakapan-percakapan enteng seperti itu yang justru terus teringat. Lawakan
garingku justru yang paling nempel di hati. Lagi-lagi mendapat kesempatan
berharga, dengan berbagi kebahagiaan. Kata beberapa warga sih, kedatangan kita
menjadi obat rindu mereka kepada keluarga jauh yang jarang menjenguk atau
bahkan nggak pernah (lagi) menjenguk. Kesempatan itu selalu ada, apalagi
kesempatan untuk berbuat kebaikan, tidak akan pernah ada batasnya. Juga mbah
Usrek yang tak bosan-bosannya memberikan wejangan-nasihat kepada kami untuk
tidak semena-mena dengan hidup. Untuk selalu menghargai hidup sebagaimana hidup
yang tidak pernah menyia-nyiakan sang pemilik kehidupan. Selagi muda, selagi
masih hidup, maka itulah kesempatanmu untuk memperbaiki yang salah, memperbaiki
yang tidak benar. Kesempatan itu selalu ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar