6/18/2015

Choose With It or Without

“Sendiri bukan mencari, apalagi menanti. Sungguh sendiri adalah pembelajaran, mempelajari diri sendiri.”



Tergesa-gesa aku berjalan, mengejar yang tak pasti membahagiakanku, nafsu. Sombong aku melangkah, menengadah melupakan belai lembut, dunia. Berat aku merangkak, meraih sesuatu yang kadarnya bukan kadar intan permata, ikhlas.

“Sarang penyamun terkadang sengaja dibuat demikian untuk menarik perhatian.”

Perkataan seorang di seberang sana selalu terngiang dalam ingatan. Bagaimana insting harus diimbangkan dengan keinginan kuat untuk mendapatkan sesuatu. Banyak jalan belakang yang memuluskan. Banyak jembatan yang sebenarnya itu semu. Banyak jalan yang memang tidak diterangi, tidak lain agar kamu sekalian mencari penerang agar tidak ada yang tersesat. Betapa hati-hatinya sosok sendiri.

“Setiap insan sudah dituliskan dengan pasangan mereka.”

Kontruksi pemikiran demikian memang sudah mengakar mendarah daging sampai jaman sekarang ini. Rasanya aneh jika mereka sendiri. Apa yang aneh? Pemikirannya yang aneh. Andai dia berpikir sendiri itu hal biasa, maka tidak ada yang aneh—dan semuanya akan biasa saja. Tidak, tidak ada yang aneh. Pilihan masih diberlakukan. Sungguh bukan masalah karena ada pilihan untuk sendiri atau tidak.

Choose to live alone not mean have no risk. But you’ve through this whole time with risk, alone.



“Tidak ada yang aneh. Asal tetap ada cinta.”

Jangan lupa, sendiri bukan berarti tidak mencinta. Berbagi cinta kepada mereka yang butuh cinta. Betapa bahagia anak-anak di jalanan yang ditodong tagihan harian jika diberi cinta yang sama. Andai tidak ada yang mempermainkan mereka. Cinta itu penuh ketulusan. Bualan tentang cinta sudah salah kaprah.

Love can heal. It is can mend your wound within your soul. Love will make your burden get light. But love can hurt, sometimes. Even it can get hard, but that thing will make you feel alive.

“Bukan jaminan sendiri tidak bahagia.”

Tidak ada batasan utnuk mencintai. Satu titik, dua titik, tiga titik, dan beberapa titik lain akan lebih pekat. Sendiri bukan berarti selalu sendiri. Naif. Betapa bahagianya bercanda di satu rumah besar dengan tawa tulus tanpa cela suara dari seberang. Mereka bahagia meski bukan dari satu ibu. Mereka bersama sepanjang waktu. Menghabiskan sarapan, membaca buku, menari, menyanyi dan berkebun, bersama. Tidak sepenuhnya sendiri.

“Kamu perempuan, carilah seseorang imam yang mampu membawakanmu pintu surga.”

Alangkah indah dan bahagianya jika membawa sendiri pintu surga itu, kenapa harus mencari seseorang? Betapa berharganya kunci pintu surga itu jika dibawa sendiri. Ada amalan yang membawakan pintu surga, ada pula yang tidak. Pilihlah.

Banyak yang bernama imam? Iya. Jika pintu masjid masih terbuka, apa salahnya berjamaah. Jika di Qur’an jumlah perempuan dan laki-laki sama, maka berjamaah juga berlaku untuk perempuan. Allah kan tidak pernah sekalipun mempersulit hamba. Jika sekali merasa sulit, artinya Allah percaya bahwa hamba bisa membuatnya terasa sebaliknya.

“Sungguh hidup itu anugerah. Apalah arti hidup tanpa cinta. Apalah arti cinta tanpa ketulusan. Apa arti ketulusan jika menyakiti diri sendiri. Cintailah dirimu sendiri dahulu. . .”

Titik (.) selalu menghardik tanya. Anggap itu hanya imbuhan tanda tanya (?) di akhir kalimatnya. Mengapa tidak satu? Jawabannya adalah ‘hanya’. Jika ada pilihan spasi tunggal, ganda, dan lain sebagainya, mengapa harus ada satu titik? Mudahkanlah.


Bahagia dengan sendiri. Berbagi cinta dengan mereka. Mencintai tidak harus memiliki. Ini bukan cinta semu. Kehidupan ini tidak semu. Apalagi kehidupan setelahnya. Jangan katakan waktu akan merubah, karena tidak. Tidak akan tega waktu merubah, manusialah yang mengubah. Waktu akan senantiasa berjalan layaknya ia berjalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar