“Sendiri bukan mencari, apalagi menanti. Sungguh sendiri adalah
pembelajaran, mempelajari diri sendiri.”
Tergesa-gesa aku berjalan, mengejar yang tak pasti
membahagiakanku, nafsu. Sombong aku melangkah, menengadah melupakan belai
lembut, dunia. Berat aku merangkak, meraih sesuatu yang kadarnya bukan kadar
intan permata, ikhlas.
“Sarang penyamun terkadang sengaja dibuat demikian untuk menarik
perhatian.”
Perkataan seorang di seberang sana selalu terngiang dalam
ingatan. Bagaimana insting harus diimbangkan dengan keinginan kuat untuk
mendapatkan sesuatu. Banyak jalan belakang yang memuluskan. Banyak jembatan
yang sebenarnya itu semu. Banyak jalan yang memang tidak diterangi, tidak lain
agar kamu sekalian mencari penerang agar tidak ada yang tersesat. Betapa hati-hatinya
sosok sendiri.
“Setiap insan sudah dituliskan dengan pasangan mereka.”
Kontruksi pemikiran demikian memang sudah mengakar mendarah
daging sampai jaman sekarang ini. Rasanya aneh jika mereka sendiri. Apa yang
aneh? Pemikirannya yang aneh. Andai dia berpikir sendiri itu hal biasa, maka
tidak ada yang aneh—dan semuanya akan biasa saja. Tidak, tidak ada yang aneh.
Pilihan masih diberlakukan. Sungguh bukan masalah karena ada pilihan untuk
sendiri atau tidak.
Choose to live alone not
mean have no risk. But you’ve through this whole time with risk, alone.
“Tidak ada yang aneh. Asal tetap ada cinta.”
Jangan lupa, sendiri bukan berarti tidak mencinta. Berbagi cinta
kepada mereka yang butuh cinta. Betapa bahagia anak-anak di jalanan yang ditodong tagihan harian jika diberi cinta
yang sama. Andai tidak ada yang mempermainkan mereka. Cinta itu penuh
ketulusan. Bualan tentang cinta sudah salah kaprah.
Love can heal. It is can
mend your wound within your soul. Love will make your burden get light. But
love can hurt, sometimes. Even it can get hard, but that thing will make you
feel alive.
“Bukan jaminan sendiri tidak bahagia.”
Tidak ada batasan utnuk mencintai. Satu titik, dua titik, tiga
titik, dan beberapa titik lain akan lebih pekat. Sendiri bukan berarti selalu
sendiri. Naif. Betapa bahagianya bercanda di satu rumah besar dengan tawa tulus
tanpa cela suara dari seberang. Mereka bahagia meski bukan dari satu ibu.
Mereka bersama sepanjang waktu. Menghabiskan sarapan, membaca buku, menari,
menyanyi dan berkebun, bersama. Tidak sepenuhnya sendiri.
“Kamu perempuan, carilah seseorang imam yang mampu membawakanmu
pintu surga.”
Alangkah indah dan bahagianya jika membawa sendiri pintu surga
itu, kenapa harus mencari seseorang? Betapa berharganya kunci pintu surga itu
jika dibawa sendiri. Ada amalan yang membawakan pintu surga, ada pula yang
tidak. Pilihlah.
Banyak yang bernama imam? Iya. Jika pintu masjid masih terbuka,
apa salahnya berjamaah. Jika di Qur’an jumlah perempuan dan laki-laki sama,
maka berjamaah juga berlaku untuk perempuan. Allah kan tidak pernah sekalipun mempersulit hamba. Jika sekali merasa
sulit, artinya Allah percaya bahwa hamba bisa membuatnya terasa sebaliknya.
“Sungguh hidup itu anugerah. Apalah arti hidup tanpa cinta.
Apalah arti cinta tanpa ketulusan. Apa arti ketulusan jika menyakiti diri
sendiri. Cintailah dirimu sendiri dahulu. . .”
Titik (.) selalu menghardik tanya. Anggap itu hanya imbuhan
tanda tanya (?) di akhir kalimatnya. Mengapa tidak satu? Jawabannya adalah
‘hanya’. Jika ada pilihan spasi tunggal, ganda, dan lain sebagainya, mengapa
harus ada satu titik? Mudahkanlah.
Bahagia dengan sendiri. Berbagi cinta dengan mereka. Mencintai
tidak harus memiliki. Ini bukan cinta semu. Kehidupan ini tidak semu. Apalagi
kehidupan setelahnya. Jangan katakan waktu akan merubah, karena tidak. Tidak
akan tega waktu merubah, manusialah yang mengubah. Waktu akan senantiasa
berjalan layaknya ia berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar