“Kerap hati memohon, enggan kaki melangkah. Kerap cinta berkata,
enggan hati merestui. Kerap kata melukai, enggan cinta meninggalkan.” (BC,2015)
Tenang adalah hilangnya
hingar suara deru jalanan, lenyap asap pemburu, nyiur rumput miringkan
tubuhnya, sabit lengkung mata tersenyum melihat semua itu. Tenang jiwa, pikiran
dan hati. Menyingkirkan sejenak takut dan khawatir dalam benak. Tapi, bisakah
mama tenang sejenak di rumah panpa mengkhawatirkan aku?
“Ma, Bee sudah besar. Bee
bisa jaga diri, percaya sama Bee.” Aku menenangkan mama yang mulai menangis di
telepon.
“Mama kangen kamu, Bee.
Masa mama di rumah sendirian? Iya mama percaya, sayang.” Kalau sudah begini
bakalan panjang urusannya.
“Bi Nomin udah pulang ma?
Sana temenin bibi siapin masakan buat makan malam.” Aku berdecak sebal di
tempatku.
“Bee, bi Nomin bukan
kamu. Kamu jangan tidur terlalu malam. Ingat, lusa kamu minum obat. Kalender
dilihat. Kamu harus rajin reminder-checking
ya.” Aku hanya meng-Hm-mm di telepon.
“Yap, sir. But mam, I’m not dying person. So I should spend my
whole time peacefully.”
“Shut up, see you soon, Bee. Muach.” Aku menghembuskan nafas lega.
Rasanya telepon mama panjangnya lebih dari dua kali 3 SKS di kuliah.
Mama terkadang suka
berlebihan khawatir. Aku hanya satu dua kali mimisan dalam seminggu. Suka
muntah-muntah juga jika salah makan. Apalagi asma yang kerap kali kambuh
membuatku kerepotan mengurus urusan pribadi. Aku harus rajin melakukan
elektrokardiogram beberapa bulan sekali, untuk mengontrol kerja jantungku.
Seringkali dia berdetak tidak normal, hanya begitu, tapi mama bertindak seolah
aku akan mati besok.
‘Takdir manusia itu Tuhan
yang atur. Sapo tahu kao besok mati.’ Kata salah seorang teman. Ya, teman-temanku
begitu menikmati hidup. Gratitude for all
the things they had. So do I (on
trying).
Perasaan memang begitu
mudah dikelabuhi. Tapi apalah apalah hati menyikapi, terkadang cinta membuat
semuanya terasa kabur. Berusaha menenangkan bukan pekerjaan mudah, karena harus
ada jaminan. Mana jaminanku untuk membuat mama tenang? Dengan tidak mendapat
panggilan emergency dari rumah sakit.
Dengan tidak mendapati pesan pendek yang meminta uang tambahan karena harga
obat naik. Intinya dengan jaminan sembuh. Sembuh dari segala macam
ke-belum-sembuh-an dalam diriku.
Begitu banyak kata-kata
permohonan, apalah arti jika si pemohon hanya diam dan tidak berjalan satu
langkah pun. Bagaimana bisa sampai garis finish
jika tidak pernah menginjakkan kaki di start.
Seperti itu mungkin hidup, bagaimana kamu bisa merasakan hidup jika nafas saja
tidak pernah kamu syukuri. Seperti itulah kebahagiaan, hal kecil saja tidak
pernah kamu hargai bagaimana meminta hal-hal besar yang dikalkulasi sebagai
bahagia.
Jejak harianku hanya
kutuangkan dalam sajak, tidak peduli syarat makna atau tidak, memiliki rima atau
hampa. Aku hanya menuliskannya.
Gadis berkalung kabung melambai haru
Senyum diselubungi pendar risau
Gadis ringkih bertabur cinta sendiri
Mengalun merdu bersama habisi waktu
Terseret langkah kaki pada deru ketakutan
Jerat rengkuhnya dalam nestapa istimewa
Aih, solitude cinta bidadari
Ketakutan ditinggal sendiri
Habisi sisa sendiri, tertiup angin pendar mungilnya
Bidadari meraung merindu ingin pengganti
“Gantikan yang baru tapi sama. Ah tidak, pertemukan saja aku
dengannya lagi.”
Gadis berkalung kabung sudah pergi
Tanpa risau dan tinggalkan sepi
Burung gereja bersiul melepasmu
Tudung menyelimuti ragawi
Menanti jalan diatas kereta gantung kaki manusia
Gadis berkabung cinta bidadari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar