6/07/2015

Telisik Cerita Bee


“Kerap hati memohon, enggan kaki melangkah. Kerap cinta berkata, enggan hati merestui. Kerap kata melukai, enggan cinta meninggalkan.” (BC,2015)

Tenang adalah hilangnya hingar suara deru jalanan, lenyap asap pemburu, nyiur rumput miringkan tubuhnya, sabit lengkung mata tersenyum melihat semua itu. Tenang jiwa, pikiran dan hati. Menyingkirkan sejenak takut dan khawatir dalam benak. Tapi, bisakah mama tenang sejenak di rumah panpa mengkhawatirkan aku?

“Ma, Bee sudah besar. Bee bisa jaga diri, percaya sama Bee.” Aku menenangkan mama yang mulai menangis di telepon.

“Mama kangen kamu, Bee. Masa mama di rumah sendirian? Iya mama percaya, sayang.” Kalau sudah begini bakalan panjang urusannya.

“Bi Nomin udah pulang ma? Sana temenin bibi siapin masakan buat makan malam.” Aku berdecak sebal di tempatku.

“Bee, bi Nomin bukan kamu. Kamu jangan tidur terlalu malam. Ingat, lusa kamu minum obat. Kalender dilihat. Kamu harus rajin reminder-checking ya.” Aku hanya meng-Hm-mm di telepon.

“Yap, sir. But mam, I’m not dying person. So I should spend my whole time peacefully.

Shut up, see you soon, Bee. Muach.” Aku menghembuskan nafas lega. Rasanya telepon mama panjangnya lebih dari dua kali 3 SKS di kuliah.

Mama terkadang suka berlebihan khawatir. Aku hanya satu dua kali mimisan dalam seminggu. Suka muntah-muntah juga jika salah makan. Apalagi asma yang kerap kali kambuh membuatku kerepotan mengurus urusan pribadi. Aku harus rajin melakukan elektrokardiogram beberapa bulan sekali, untuk mengontrol kerja jantungku. Seringkali dia berdetak tidak normal, hanya begitu, tapi mama bertindak seolah aku akan mati besok.

‘Takdir manusia itu Tuhan yang atur. Sapo tahu kao besok mati.’ Kata salah seorang teman. Ya, teman-temanku begitu menikmati hidup. Gratitude for all the things they had. So do I (on trying).

Perasaan memang begitu mudah dikelabuhi. Tapi apalah apalah hati menyikapi, terkadang cinta membuat semuanya terasa kabur. Berusaha menenangkan bukan pekerjaan mudah, karena harus ada jaminan. Mana jaminanku untuk membuat mama tenang? Dengan tidak mendapat panggilan emergency dari rumah sakit. Dengan tidak mendapati pesan pendek yang meminta uang tambahan karena harga obat naik. Intinya dengan jaminan sembuh. Sembuh dari segala macam ke-belum-sembuh-an dalam diriku.

Begitu banyak kata-kata permohonan, apalah arti jika si pemohon hanya diam dan tidak berjalan satu langkah pun. Bagaimana bisa sampai garis finish jika tidak pernah menginjakkan kaki di start. Seperti itu mungkin hidup, bagaimana kamu bisa merasakan hidup jika nafas saja tidak pernah kamu syukuri. Seperti itulah kebahagiaan, hal kecil saja tidak pernah kamu hargai bagaimana meminta hal-hal besar yang dikalkulasi sebagai bahagia.

Jejak harianku hanya kutuangkan dalam sajak, tidak peduli syarat makna atau tidak, memiliki rima atau hampa. Aku hanya menuliskannya.

Gadis berkalung kabung melambai haru
Senyum diselubungi pendar risau
Gadis ringkih bertabur cinta sendiri
Mengalun merdu bersama habisi waktu
Terseret langkah kaki pada deru ketakutan
Jerat rengkuhnya dalam nestapa istimewa
Aih, solitude cinta bidadari
Ketakutan ditinggal sendiri
Habisi sisa sendiri, tertiup angin pendar mungilnya
Bidadari meraung merindu ingin pengganti

“Gantikan yang baru tapi sama. Ah tidak, pertemukan saja aku dengannya lagi.”

Gadis berkalung kabung sudah pergi
Tanpa risau dan tinggalkan sepi
Burung gereja bersiul melepasmu
Tudung menyelimuti ragawi
Menanti jalan diatas kereta gantung kaki manusia

Gadis berkabung cinta bidadari


Tidak ada komentar:

Posting Komentar