“Bila
setengah hati menanti, maka setengahnya lagi menunggu. Bila separuh hati selalu
terjaga, bisakah sebagian lain melupakan?”
Rasa Yang Kau Tinggal
Jangankan meminta menunggu setengah jam
kedatanganmu, lima tahun saja kulalui tanpa protes dan hanya sabar menunggu.
Menanti jawaban yang tak pernah pasti. Merundung rindu yang tak kunjung
bertemu. Membius luka yang sebenarnya tak pernah ada. Perasaan takut yang
selalu memburu bahwa tak ada harapan akan dirimu. Sementara kamu justru semakin
menjauh. Aku berdiri menanti, kamu berlari tanpa memandang lagi kearahku. Bukan
benci, hanya kamu memang tidak pernah menganggap ini ada. Perasaan ini yang
tanpa sengaja membuatku penasaran akan kamu, berpikir tentangmu dan apapum yang
ada dalam dirimu.
Kamu memegang kuat wasilah dan gayyah yang
diajarkan untukmu. Sungguh kamu bukan kesalahan, dan tolong jangan yakini aku
sebagai luka. Di ambang malam selalu kutengok wajah sendumu yang menerawang
jauh entah kemana. Aku tidak sanggup melampaui itu. Semakin kutambah dosa
setiap memikirkanmu. Akankah pandangan keluargamu mengenai pemikiranku tetap
sama? Aku tidak berhak menyalahkan mereka, hanya tolong rengkuhlah inginku
untuk selalu bersamamu. Apakah aku terlalu memaksa apa yang tidak mungkin?
Hingga pada saat hari itu, kita
dipertemukan oleh waktu yang tak pernah merubah. Hanya aku berharap kamulah
yang berubah. Kamu tersenyum padaku, aku menahan nafas. Seolah tidak pernah ada
sesuatu di antara kita, ya memang tidak ada yang pernah terjadi. Kamu memilih
memindah piring saladmu ke mejaku. Kita duduk berhadapan di meja yang sama.
“Aku bukan perempuan seperti bunga mawar.”
Celetukmu di selah keheningan antara kita.
“Hng?” Aku tidak sepenuhnya mengerti apa
yang kamu maksud.
“Aku bukan puzzle seperti kebanyakan.” Kamu lagi-lagi membuat pernyataan yang
tidak sepenuhnya kumengerti.
“Apakah aku punya kesempatan untuk
menyelesaikan puzzle bukan kebanyakan
itu?” Mendengar pertanyaanku, kamu memilih menyudahi makan saladmu dan memilih
menatapku sekilas dan berpaling melihat benda lain.
Kamu lagi-lagi tersenyum. Aku akan dirajam
lama-lama terlalu dalam jatuh kedalam pesonamu. Aku terlalu asyik menatapmu,
tak memperdulikan kamu yang sedang risih dipandang. Aku segera berpaling meski
meninggalkan sisa semburat merah. Kemudian kamu ijin setengah jam untuk
mengangkat telepon, dengan senang hati aku mengangguk. Jangankan setengah jam,
lima tahun saja aku melalui tanpa niatan untuk mengakhiri. Lima tahun setelah
aku menyatakan perasaanku dan hanya kau jawab dengan gelengan kepala dan senyuman
di bibirmu yang tidak pernah berupaya melukai.
Setengah
jam kemudian,
“Oh ya, aku ingin menjawab pertanyaanmu.
Ehm-mm, aku sengaja membuang pecahan puzzlenya
dan ingin fokus pada gayyah.”
Jawaban setelah lima tahun menunggu dan
menanti sama sekali bukan jawaban yang kubayangkan sebelumnya. Kamu memang
sengaja tidak akan pernah membuka hati, kamu
sengaja membuang kunci hatimu. Kamu berusaha untuk tidak melukai, tapi
tanpa sadar aku terluka dengan jawabanmu karena memang aku sebenarnya yang
salah. Ah, aku sudah berburuk sangka tentang wasilahmu yang memang berbeda dari bunga mawar kebanyakan. Semoga
kita dipersatukan oleh Tuhan. Sang Maha membolak-balikkan hati manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar