6/06/2015

Rasa Itu. . .

“Bila setengah hati menanti, maka setengahnya lagi menunggu. Bila separuh hati selalu terjaga, bisakah sebagian lain melupakan?”

Rasa Yang Kau Tinggal

Jangankan meminta menunggu setengah jam kedatanganmu, lima tahun saja kulalui tanpa protes dan hanya sabar menunggu. Menanti jawaban yang tak pernah pasti. Merundung rindu yang tak kunjung bertemu. Membius luka yang sebenarnya tak pernah ada. Perasaan takut yang selalu memburu bahwa tak ada harapan akan dirimu. Sementara kamu justru semakin menjauh. Aku berdiri menanti, kamu berlari tanpa memandang lagi kearahku. Bukan benci, hanya kamu memang tidak pernah menganggap ini ada. Perasaan ini yang tanpa sengaja membuatku penasaran akan kamu, berpikir tentangmu dan apapum yang ada dalam dirimu.

Kamu memegang kuat wasilah dan gayyah yang diajarkan untukmu. Sungguh kamu bukan kesalahan, dan tolong jangan yakini aku sebagai luka. Di ambang malam selalu kutengok wajah sendumu yang menerawang jauh entah kemana. Aku tidak sanggup melampaui itu. Semakin kutambah dosa setiap memikirkanmu. Akankah pandangan keluargamu mengenai pemikiranku tetap sama? Aku tidak berhak menyalahkan mereka, hanya tolong rengkuhlah inginku untuk selalu bersamamu. Apakah aku terlalu memaksa apa yang tidak mungkin?

Hingga pada saat hari itu, kita dipertemukan oleh waktu yang tak pernah merubah. Hanya aku berharap kamulah yang berubah. Kamu tersenyum padaku, aku menahan nafas. Seolah tidak pernah ada sesuatu di antara kita, ya memang tidak ada yang pernah terjadi. Kamu memilih memindah piring saladmu ke mejaku. Kita duduk berhadapan di meja yang sama.

“Aku bukan perempuan seperti bunga mawar.” Celetukmu di selah keheningan antara kita.

“Hng?” Aku tidak sepenuhnya mengerti apa yang kamu maksud.

“Aku bukan puzzle seperti kebanyakan.” Kamu lagi-lagi membuat pernyataan yang tidak sepenuhnya kumengerti.

“Apakah aku punya kesempatan untuk menyelesaikan puzzle bukan kebanyakan itu?” Mendengar pertanyaanku, kamu memilih menyudahi makan saladmu dan memilih menatapku sekilas dan berpaling melihat benda lain.

Kamu lagi-lagi tersenyum. Aku akan dirajam lama-lama terlalu dalam jatuh kedalam pesonamu. Aku terlalu asyik menatapmu, tak memperdulikan kamu yang sedang risih dipandang. Aku segera berpaling meski meninggalkan sisa semburat merah. Kemudian kamu ijin setengah jam untuk mengangkat telepon, dengan senang hati aku mengangguk. Jangankan setengah jam, lima tahun saja aku melalui tanpa niatan untuk mengakhiri. Lima tahun setelah aku menyatakan perasaanku dan hanya kau jawab dengan gelengan kepala dan senyuman di bibirmu yang tidak pernah berupaya melukai.

Setengah jam kemudian,

“Oh ya, aku ingin menjawab pertanyaanmu. Ehm-mm, aku sengaja membuang pecahan puzzlenya dan ingin fokus pada gayyah.”


Jawaban setelah lima tahun menunggu dan menanti sama sekali bukan jawaban yang kubayangkan sebelumnya. Kamu memang sengaja tidak akan pernah membuka hati, kamu  sengaja membuang kunci hatimu. Kamu berusaha untuk tidak melukai, tapi tanpa sadar aku terluka dengan jawabanmu karena memang aku sebenarnya yang salah. Ah, aku sudah berburuk sangka tentang wasilahmu yang memang berbeda dari bunga mawar kebanyakan. Semoga kita dipersatukan oleh Tuhan. Sang Maha membolak-balikkan hati manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar