Sesuatu yang Baru
“Kamu menjemput atau dia sengaja datang, sementara kamu sama
sekali tidak mengetahui itu sebelumnya”
Baru selalu dibandingkan dengan yang lama. Baru selalu dikatakan
sebagai pengganti. Baru selalu dia yang melukai, meninggalkan, dan melupakan.
Tapi sebenarnya baru tidak sepenuhnya baru, dia bisa saja terluka. Baru belum
tentu secara keseluruhan baru.
Brand new? Tidak sama dengan sesuatu yang “baru”. Dia secara keseluruhan
baru, dengan kreasi dan inovasi baru tanpa peduli dengan dia sebelumnya. Karena
dia sudah tidak ingin ada hubungan dengan dia sebelumnya. Akhirnya
diputuskanlah untuk membuat semua serba baru.
Baru, terlahir kembali dengan intisari yang tidak sama dengan
yang lama. Bisa dibilang iya, bisa juga dibilang tidak.
“Wajahmu sekarang tampak probiotik” Ya keleus itu wajah atau
pekarangan rumah.
“Memang sebelumnya seperti apa?” Rekan berbicara yang
menyebalkan.
“Sebelumnya tampak seperti NaOH, menyengat!” Sebenarnya dia
sedang membicarakan wajah atau larutan?
Ya, seperti itulah maksud ‘baru’ bagi beberapa orang. Baru dalam
arti sempit.
Ada cerita dari seorang kakak lama dari pulau seberang di ujung
barat.
“. . .
Hari itu aku terdiam membuka pintu rumahku. Aku yang sudah 4
tahun memutuskan hubungan dengannya harus terkejut mendapati dia berdiri
disana.
“Hai,” Dia tersenyum penuh keraguan. Aku masih diam dan tidak
menanggapi sapaannya.
“. . .” Aku masih memandangnya dengan penuh tanya. Mengapa dia
datang (lagi)? Apa salahku Tuhan hingga harus bertemu (lagi) dengannya?
“Bagaimana kabarmu?” Dia sedikit menundukkan kepalanya. Mungkin
merasa malu. Atau merasa bersalah. Atau perasaan yang lain.
“. . .” Aku tetap mendiamkannya di ambang pintu rumahku. Di
detik yang entah sudah ke-berapa, aku sama sekali tidak ada niatan untuk
memintanya masuk.
Karena memang aku tidak akan memperbolehkannya masuk. Aku
tinggal sendiri. Aku tidak ingin tumbuh fitnah. Aku tidak mau tertipu untuk
kedua kali.
Dulu dia datang, menawarkan kebahagiaan. Aku yang pada saat itu
tidak tertarik entah demi apa mengiyakan ajakannya. Ajakan untuk membina
kehidupan berkeluarga. Tanpa berpikir panjang, aku mempersiapkan semuanya.
Meski awalnya dia hanya teman, dengan cepat aku membiasakan diri menganggapnya
lebih. Hingga datang suatu malam sebelum hari yang bisa menyatukan jiwa kami
berdua.
Malam itu tepat satu minggu sebelum dia dan aku mengucap janji
di depan penghulu. Aku berniat untuk membeli beberapa vitamin di apotek. Aku
tercengang melihatnya sedang berpelukan dengan wanita muda disana. Yang
membuatku lebih terkejut lagi adalah wanita tersebut sedang hamil. Perutnya
membuncit. Mereka sedang menghadap ke depan, ke loket pembayaran. Aku terdiam
beriri di belakang mereka. Kudengar obrolan mereka yang mana aku sama sekali
berharap tidak mengingat satu katapun hari itu. Tapi apa? Aku hapal.
“Sayang, minggu depan kita harus check up ke dokter.”
“Mm-hmm. Tentu saja.”
“Ah aku lelah sekali hari ini.”
“Aku memijat kakimu dan membuatkanmu cokelat panas kesukaanmu.”
Setelah yakin dengan yang kudengar. Aku menahan air mataku dan berlari
kembali ke mobilku. Aku berdiam lama disana. Menumpahkan semuanya.
“Satu, sa..satu minggu la—gi.” Aku menenggelamkan kepalaku di
kemudi. Aku menangis. Oh Tuhan, aku malu.
Malam itu aku membatalkan semua undangan yang sudah kusebar
lewat telepon. Aku menghabiskan beberapa ratus ribu, rasanya itu sangat sayang
mengeluarkan pulsa yang sebenarnya tidak seberapa. Tapi itu merupakan hal yang
sia-sia. Setelah membatalkan semuanya. Aku mematikan ponselku. Mengemasi
barang-barangku, aku pergi. Keluar dari pekerjaanku. Menghilangkan jejak.
Hari itu, aku tidak mengucapkan apa-apa. Dia melanjutkan
kalimat-kalimat basinya.
“Aku minta maaf untuk empat tahun lalu.” Dia mulai serius dengan
garis wajahnya. Memohon maaf.
“. . .” Lagi-lagi aku hanya diam. Aku kini bukan aku yang dulu.
Aku sudah menjadi sesuatu yang baru. Aku yang baru.
“Kumohon maafkan aku.”
“Aku memaafkan. Sekarang pergilah dari rumahku. Dan jangan coba
tampakkan wajahmu di depanku. Aku malu pernah mengenalmu. Anggap saja kita
tidak pernah kenal sebelumnya. Jangan ganggu hidup damaiku lagi. Dan
terimakasih.” Aku sesaat setelah menyelesaikan kalimatku langsung menutup
pintu. Menguncinya. Dan kembali ke pekerjaanku (yang baru). Aku benar-benar
hidup dengan segala sesuatu yang serba baru. Lingkungan baru, pekerjaan baru,
dan tidak lupa aku yang baru.
Karena hal itu aku menjadi wanita yang dibilang kurang memiliki
rasa kasihan. Aku menjadi sesuatu yang kuat. Aku tidak lagi menangis. Aku tidak
lagi sibuk mencari seseorang yang mau denganku. Aku mengubah hidupku yang lama.
Aku memutuskan untuk menjalani semuanya apa adanya dengan diriku sendiri. Dan
semuanya lebih membahagiakan, damai.
. . .”
Cerita kakak lama ku memberi arti juga tentang ‘sesuatu yang
baru’ dalam hidupnya. Aku benci cerita itu. Aku tidak suka jalan ceritanya.
Terlalu klise dan tidak ada yang mati.
Demikian ceritaku tentang ‘sesuatu yang baru’. Semoga memberikan
sedikit-banyak pelajaran dibalik semua tulisan yang ada di postingan ini.
Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar