8/05/2015

Baru

Sesuatu yang Baru

“Kamu menjemput atau dia sengaja datang, sementara kamu sama sekali tidak mengetahui itu sebelumnya”

Baru selalu dibandingkan dengan yang lama. Baru selalu dikatakan sebagai pengganti. Baru selalu dia yang melukai, meninggalkan, dan melupakan. Tapi sebenarnya baru tidak sepenuhnya baru, dia bisa saja terluka. Baru belum tentu secara keseluruhan baru.

Brand new? Tidak sama dengan sesuatu yang “baru”. Dia secara keseluruhan baru, dengan kreasi dan inovasi baru tanpa peduli dengan dia sebelumnya. Karena dia sudah tidak ingin ada hubungan dengan dia sebelumnya. Akhirnya diputuskanlah untuk membuat semua serba baru.

Baru, terlahir kembali dengan intisari yang tidak sama dengan yang lama. Bisa dibilang iya, bisa juga dibilang tidak.

“Wajahmu sekarang tampak probiotik” Ya keleus itu wajah atau pekarangan rumah.

“Memang sebelumnya seperti apa?” Rekan berbicara yang menyebalkan.
“Sebelumnya tampak seperti NaOH, menyengat!” Sebenarnya dia sedang membicarakan wajah atau larutan?

Ya, seperti itulah maksud ‘baru’ bagi beberapa orang. Baru dalam arti sempit.

Ada cerita dari seorang kakak lama dari pulau seberang di ujung barat.
“. . .

Hari itu aku terdiam membuka pintu rumahku. Aku yang sudah 4 tahun memutuskan hubungan dengannya harus terkejut mendapati dia berdiri disana.

“Hai,” Dia tersenyum penuh keraguan. Aku masih diam dan tidak menanggapi sapaannya.

“. . .” Aku masih memandangnya dengan penuh tanya. Mengapa dia datang (lagi)? Apa salahku Tuhan hingga harus bertemu (lagi) dengannya?

“Bagaimana kabarmu?” Dia sedikit menundukkan kepalanya. Mungkin merasa malu. Atau merasa bersalah. Atau perasaan yang lain.

“. . .” Aku tetap mendiamkannya di ambang pintu rumahku. Di detik yang entah sudah ke-berapa, aku sama sekali tidak ada niatan untuk memintanya masuk.

Karena memang aku tidak akan memperbolehkannya masuk. Aku tinggal sendiri. Aku tidak ingin tumbuh fitnah. Aku tidak mau tertipu untuk kedua kali.

Dulu dia datang, menawarkan kebahagiaan. Aku yang pada saat itu tidak tertarik entah demi apa mengiyakan ajakannya. Ajakan untuk membina kehidupan berkeluarga. Tanpa berpikir panjang, aku mempersiapkan semuanya. Meski awalnya dia hanya teman, dengan cepat aku membiasakan diri menganggapnya lebih. Hingga datang suatu malam sebelum hari yang bisa menyatukan jiwa kami berdua.

Malam itu tepat satu minggu sebelum dia dan aku mengucap janji di depan penghulu. Aku berniat untuk membeli beberapa vitamin di apotek. Aku tercengang melihatnya sedang berpelukan dengan wanita muda disana. Yang membuatku lebih terkejut lagi adalah wanita tersebut sedang hamil. Perutnya membuncit. Mereka sedang menghadap ke depan, ke loket pembayaran. Aku terdiam beriri di belakang mereka. Kudengar obrolan mereka yang mana aku sama sekali berharap tidak mengingat satu katapun hari itu. Tapi apa? Aku hapal.

“Sayang, minggu depan kita harus check up ke dokter.”

“Mm-hmm. Tentu saja.”

“Ah aku lelah sekali hari ini.”

“Aku memijat kakimu dan membuatkanmu cokelat panas kesukaanmu.”

Setelah yakin dengan yang kudengar. Aku menahan air mataku dan berlari kembali ke mobilku. Aku berdiam lama disana. Menumpahkan semuanya.

“Satu, sa..satu minggu la—gi.” Aku menenggelamkan kepalaku di kemudi. Aku menangis. Oh Tuhan, aku malu.

Malam itu aku membatalkan semua undangan yang sudah kusebar lewat telepon. Aku menghabiskan beberapa ratus ribu, rasanya itu sangat sayang mengeluarkan pulsa yang sebenarnya tidak seberapa. Tapi itu merupakan hal yang sia-sia. Setelah membatalkan semuanya. Aku mematikan ponselku. Mengemasi barang-barangku, aku pergi. Keluar dari pekerjaanku. Menghilangkan jejak.

Hari itu, aku tidak mengucapkan apa-apa. Dia melanjutkan kalimat-kalimat basinya.

“Aku minta maaf untuk empat tahun lalu.” Dia mulai serius dengan garis wajahnya. Memohon maaf.

“. . .” Lagi-lagi aku hanya diam. Aku kini bukan aku yang dulu. Aku sudah menjadi sesuatu yang baru. Aku yang baru.

“Kumohon maafkan aku.”

“Aku memaafkan. Sekarang pergilah dari rumahku. Dan jangan coba tampakkan wajahmu di depanku. Aku malu pernah mengenalmu. Anggap saja kita tidak pernah kenal sebelumnya. Jangan ganggu hidup damaiku lagi. Dan terimakasih.” Aku sesaat setelah menyelesaikan kalimatku langsung menutup pintu. Menguncinya. Dan kembali ke pekerjaanku (yang baru). Aku benar-benar hidup dengan segala sesuatu yang serba baru. Lingkungan baru, pekerjaan baru, dan tidak lupa aku yang baru.

Karena hal itu aku menjadi wanita yang dibilang kurang memiliki rasa kasihan. Aku menjadi sesuatu yang kuat. Aku tidak lagi menangis. Aku tidak lagi sibuk mencari seseorang yang mau denganku. Aku mengubah hidupku yang lama. Aku memutuskan untuk menjalani semuanya apa adanya dengan diriku sendiri. Dan semuanya lebih membahagiakan, damai.

. . .”

Cerita kakak lama ku memberi arti juga tentang ‘sesuatu yang baru’ dalam hidupnya. Aku benci cerita itu. Aku tidak suka jalan ceritanya. Terlalu klise dan tidak ada yang mati.


Demikian ceritaku tentang ‘sesuatu yang baru’. Semoga memberikan sedikit-banyak pelajaran dibalik semua tulisan yang ada di postingan ini. Terimakasih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar