8/05/2015

Masks

The Shitty Face

“Masks beneath masks until suddenly the bare bloodless skull—Salman Rushdie, The Satanic Verses”

Jangan tanyakan mengapa manusia menggunakan topeng. Mereka punya alasan masing-masing. Spektrum alasan-alasan tersebut membuat hari-hari kita berwarna. Bayangkan banyaknya luka yang akan hadir jika topeng-topeng itu itu tidak serta hadir.

Pagi itu tak sengaja melihat seorang bapak penjual sate di Jogja. Sate di pinggir jalan. Tanpa lapak. Dia begitu ceria. Pelanggan merasa nyaman beli disana karena pelayanannya yang luar biasa menyenangkan. Meski tidak ada tenda, meski tidak ada kursi untuk memakannya, tidak peduli. Semua terasa sedap hanya dengan duduk beralaskan sandal sepihak.

Sepulang dari berjualan, bapak itu pulang. Membawa barang-barang dagangannya dengan lesu. Membuat siapapun bertanya-tanya.

“Apakah ada masalah berat yang membuatnya begitu murung?”

“Mengapa dia begitu lesu membawa barang dagangannya?”

“Apa dagangannya tidak laku terjual?”

Pertanyaan sama melintas di kepalaku.

Bapak itu masuk kerumahnya. Rumah yang sungguh sangat sederhana. Aku lancang mengetuk pintu pura-pura numpang tanya.

“Permisi pak, selamat sore.”

“Iya nak, ada apa?” Bapak itu meletakkan peralatan berjualannya di meja ruang tamu.

“Ini pak, saya sedang jalan-jalan di sekitar sini. Lupa jalan baliknya ke malioboro. Bablas sampe sini. Mau tanya jalan balik.”

“Masuk dulu nak duduk, tas kamu besar sekali. Duduk dulu sini.”

“Makasih pak.” Aku segera masuk dan duduk di kursi kayu yang nyaman.
“Rumah bapak ya apa adanya gini.”

“Yaampun pak, ini sudah jauh dari baik. Bapak tinggal sendiri.” Lama bapak itu tidak menjawab. Kemudian jemari legamnya menunjuk foto di dinding.

“Mereka tiga bulan lalu sambang gusti allah.”

“Innalillahi…” Hatiku rasanya sedang ditusuk sembilu saat itu.

“Haduh kenapa jadi curhat. Kamu kenapa bisa nyasar sih nak,” Akhirnya bapak itu menjelaskan dengan pelan jalan ke malioboro. Yang sebenarnya aku paham betul cara kembali. Aku merasa bersalah.

“Terimakasih pak, semoga bapak senantiasa dikasih kesehatan.”

“Amin nak. Hati-hati ya.” Aku mengangguk dan melangkah menjauhi rumah pak Adir.

Bayangkan jika Pak Adir tidak memakai topeng saat berjualan sate. Pasti tidak ada yang beli karena melihat wajah pak Adir yang sedang sedih karena ditinggal anak dan isterinya. Meski pak Adir tidak ingin berlama-lama terpuruk. Tapi tak bisa berbohong bahwa perasaannya masih terguncang. Apalah daya jika pak Adir tidak kerja, mau makan pakai uang siapa lagi.

Tidak selamanya alasan menggunakan topeng itu patut diketahui. Terkadang banyak jawaban menyakitkan dibelakangnya. Ada jawaban yang akan membuat hati kelu tak sanggup menahan tumpahan air mata. Topeng kerap kali membantu manusia tegar menghadapi rimba kehidupan. Tak ada salahnya menggunakan topeng. Hanya saja ingatlah, jangan jadikan topengmu lebih berarti daripada hidupmu. Rasakan kulit diwajahmu terkelupas dengan paksa. Itu akan lebih sakit dibandingkan hanya dengan tergores.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar