The Shitty Face
“Masks beneath masks until suddenly the bare bloodless
skull—Salman Rushdie, The Satanic Verses”
Jangan tanyakan mengapa manusia menggunakan topeng. Mereka punya
alasan masing-masing. Spektrum alasan-alasan tersebut membuat hari-hari kita
berwarna. Bayangkan banyaknya luka yang akan hadir jika topeng-topeng itu itu
tidak serta hadir.
Pagi itu tak sengaja melihat seorang bapak penjual sate di
Jogja. Sate di pinggir jalan. Tanpa lapak. Dia begitu ceria. Pelanggan merasa
nyaman beli disana karena pelayanannya yang luar biasa menyenangkan. Meski
tidak ada tenda, meski tidak ada kursi untuk memakannya, tidak peduli. Semua
terasa sedap hanya dengan duduk beralaskan sandal sepihak.
Sepulang dari berjualan, bapak itu pulang. Membawa barang-barang
dagangannya dengan lesu. Membuat siapapun bertanya-tanya.
“Apakah ada masalah berat yang membuatnya begitu murung?”
“Mengapa dia begitu lesu membawa barang dagangannya?”
“Apa dagangannya tidak laku terjual?”
Pertanyaan sama melintas di kepalaku.
Bapak itu masuk kerumahnya. Rumah yang sungguh sangat sederhana.
Aku lancang mengetuk pintu pura-pura numpang tanya.
“Permisi pak, selamat sore.”
“Iya nak, ada apa?” Bapak itu meletakkan peralatan berjualannya
di meja ruang tamu.
“Ini pak, saya sedang jalan-jalan di sekitar sini. Lupa jalan
baliknya ke malioboro. Bablas sampe sini. Mau tanya jalan balik.”
“Masuk dulu nak duduk, tas kamu besar sekali. Duduk dulu sini.”
“Makasih pak.” Aku segera masuk dan duduk di kursi kayu yang
nyaman.
“Rumah bapak ya apa adanya gini.”
“Yaampun pak, ini sudah jauh dari baik. Bapak tinggal sendiri.”
Lama bapak itu tidak menjawab. Kemudian jemari legamnya menunjuk foto di
dinding.
“Mereka tiga bulan lalu sambang
gusti allah.”
“Innalillahi…” Hatiku rasanya sedang ditusuk sembilu saat itu.
“Haduh kenapa jadi curhat. Kamu kenapa bisa nyasar sih nak,”
Akhirnya bapak itu menjelaskan dengan pelan jalan ke malioboro. Yang sebenarnya
aku paham betul cara kembali. Aku merasa bersalah.
“Terimakasih pak, semoga bapak senantiasa dikasih kesehatan.”
“Amin nak. Hati-hati ya.” Aku mengangguk dan melangkah menjauhi
rumah pak Adir.
Bayangkan jika Pak Adir tidak memakai topeng saat berjualan
sate. Pasti tidak ada yang beli karena melihat wajah pak Adir yang sedang sedih
karena ditinggal anak dan isterinya. Meski pak Adir tidak ingin berlama-lama
terpuruk. Tapi tak bisa berbohong bahwa perasaannya masih terguncang. Apalah
daya jika pak Adir tidak kerja, mau makan pakai uang siapa lagi.
Tidak selamanya alasan menggunakan topeng itu patut diketahui.
Terkadang banyak jawaban menyakitkan dibelakangnya. Ada jawaban yang akan
membuat hati kelu tak sanggup menahan tumpahan air mata. Topeng kerap kali
membantu manusia tegar menghadapi rimba kehidupan. Tak ada salahnya menggunakan
topeng. Hanya saja ingatlah, jangan jadikan topengmu lebih berarti daripada
hidupmu. Rasakan kulit diwajahmu terkelupas dengan paksa. Itu akan lebih sakit
dibandingkan hanya dengan tergores.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar