8/13/2015

Senyuman

Senyuman

Semua terjadi tanpa disengaja. Semacam sinyal kuat yang tertangkap oleh perangkat dalam tubuhku. Seolah aliran darahku tidak berjalan lancar sehingga menghambat kepalaku untuk berpikir secara normal.

Sebelumnya, aku tidak melihatnya sama sekali. Dia menyapa. Aku berlaku sebaliknya. Membalas sapaannya. Dia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Sudah. Hanya sebatas itu.

Sekarang, entah mengapa aku mencari-cari alasan untuk bertemu dengannya. Meski hanya berjumpa di timeline media sosial. Sengaja menyukai status buatannya. Hal-hal norak seperti itu justru kerap kulakukan.

Dia adalah teman kampusku dulu. Hingga satu waktu di semester terakhir, aku mulai menyadari sesuatu yang aneh dalam diriku tentang dirinya. Namun aku butuh kepastian dari diriku sendiri.

Setahun berlangsung sebentar. Dia dengan dirinya dan aku dengan diriku.

Kita bertemu di kelas bahasa Belanda. Kebetulan kita di kelas yang sama.

Titik balik itu semua adalah karena seringnya aku bertemu dengannya. Saat aku pertama kali terpesona dengan ucapannya.

“Banyak manusia yang kuat. Banyak pula dari mereka yang pura-pura kuat. Jangan bohongi dirimu. Sebagai teman, aku bisa jadi ‘tempat sampah’ yang baik.”

Sejak saat itu, aku melihat sosok lain yang ada pada dirinya. Yang selama ini hanya melihatnya sebagai gadis tomboy yang tidak mengerti tentang perasaan. Seorang gadis yang abai dengan sekitarnya.

Hanya anggapan.

“Hari ini sepertinya mau hujan deh.” Ucapan sok tahu yang pada dasarnya hanya basa basi untuk memulai perbincangan dengannya.

Dia yang sedang asyik dengan laptopnya menoleh kearahku. Lamat-lamat dia memandang kearah langit kemudian beralih padaku, tersenyum. Rasanya aku ingin pingsan saat mendapatinya seperti itu. Tolong jelaskan apa yang terjadi padaku?

“Begitukah? Kupikir angin akan membawanya pergi segera.” Mendung. Aku tahu apa yang akan dibawa angin pergi, ya itu adalah awan kelabu yang menggantung diatas sana.

Aku sukses mencari topik yang membuat dia menutup laptopnya perlahan. Kemudian kita berbincang tidak tahu menuju kemana.

“Kamu tidak suka hujan?” Aku juga menutup halaman pencarian di ponsel, mengalihkan perhatianku hanya pada perbincangan yang kuharap akan panjang.

“Oh ya, kamu tidak ikut kelas tambahan hari ini?” Dia kini yang mengalihkan topik. Aku mendengus dalam hati.

“Tidak,” Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Kamu belum menjawab, apa kamu tidak suka hujan?” Aku mencoba setenang mungkin.

Meski pada dasarnya aku adalah cowok cuek yang tidak peduli apa yang dikatakan orang. Tidak peka dengan sekelilingku. Tapi sejak saat itu, ada beberapa hal yang berubah. Kini dihadapannya aku menjadi serba salah tingkah. Tidak bisa menahan tubuhku untuk menjadi panas setiap kali memikirkannya.

Tuhan, maaf kusuka dia.

Tuhan, maaf ku seperti ini dengan berlebihannya.

“Banyak persembunyian, Ram.” Aku suka saat dia memanggilku Ram—Rama Harisy namaku. Meski aku tak paham dengan persembunyian yang dia maksud. Akhirnya aku memiringkan kepalaku bertanya.

“Hujan itu seperti alasan dalam hidup.” Dia menundukkan kepalanya. Aku tahu dia tidak akan menatap lawan jenis begitu lama. Bukan mahram, katanya. Menghindari dosa. Aku iyakan saja. Kemudian melanjutkan kalimat indahnya.

“Mengapa harus berteduh jika hujan? Mengapa harus bertemankan secangkir sesuatu yang hangat saat hujan? Mengapa harus menatap rintik hujan yang membasahi kaca jendela kamarmu? Mengapa temaram harus tampak indah setelah hujan datang? Adakah sisa keromantisan selain hujan?”

“Hujan tetap tenang meski diperlakukan demikian.” Aku membela mereka yang memanfaatkan hujan sepertiku.

“Perasaan tak selamanya tenang meski telah diguyur hujan. Air mata tetap air mata meski bercampur dengan air hujan.” Aku seolah tertampar dengan ucapannya.

Pernah sekali aku sengaja menengadahkan wajahku yang berurai air mata di tengah hujan. Aku diselamatkan hujan. Aku memanfaatkan hujan. Aku bersembunyi dibalik hujan.

Seringkali aku berlari menjauhi hujan. Menghindari hujan. Mengapa aku menarik ulur hujan. Apa salahnya?

“Maksud hujan tak selamanya hujan, Ram.” Dia kembali tersenyum hangat. Hatiku rasanya sedang dihujami batu es yang menggelitik.

“He he he, terimakasih sudah mau belajar makna tersembunyi dari hujan.” Aku masih mendapatinya menunduk. Dia lebih sering menunduk, sehingga membuatku leluasa untuk memandang puncak kepalanya yang tertutup kain cantik warna abu-abu kesukaannya.

Tuhan, maaf ku tak kuasa menahan perasaanku.

Tuhan, maaf kusuka dia.

“Bagaimana kabar anjingmu?” Dia menanyakan kabar anjingku. Lalu kabarku? Hmmm~

“Kabar baik. Coco apa kabar, La?” Coco adalah ikan peliharaannya.

“Dia mati seminggu lalu. Eh, aku minggu depan sudah gak ikut kelas lagi.” Hah? Apa? Dia gak ikut kelas lagi? Kenapa?

Kemudian dia mengatakan bahwa dia tidak akan mengikuti kelas lagi. Lalu, berapa lama lagi aku harus berdiam menyimpan semuanya sendiri.

“Kuharap kamu tidak sedih berlarut.” Aku tahu dia gadis yang kuat. Semoga aku juga kuat untuk tidak lagi bertemu dengannya.

“Aku akan membeli ikan baru ha ha ha. Aku bukan tipe cewek setia.” Dia memang seperti itu. Berbicara dengan siapapun, Rala akan selalu menekankan bahwa dia tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun.

“Kamu kenapa tidak datang ke kelas lagi?” Kuberanikan diriku untuk bertanya.

“Sejak kapan seorang Rama Harisy jadi kepo begini?”

“Ah kamu La, kan kamu tahu sendiri di kelas aku kayak kambing ompong. Tak ada kamu artinya aku makin ompong.”

“Mulai deh merendahnya. Aku mau bersemedi satu tahun di salah satu taman baca di tempat yang lebih tenang.” Kemudian dia tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya yang sama sekali tidak membuatku tenang.

“Setahun banget ya La? Bolah tidak aku mengunjungi temanku nantinya?” Kali ini senyumannya penuh arti. Aku yakin dia pasti memikirkan sesuatu.

“Bagaimana jika aku tidak mengijinkanmu kembali?” Aku tahu dia sedang bercanda. Tapi aku membalas candaannya.

“Dengan senang hati aku akan tinggal.” Kulihat senyumnya sekali lagi. Matanya menjadi ciut dan terlihat begitu menggemaskan.

Tidak terasa kita sudah duduk berhadapan selama lebih dari setengah jam. Rasanya aku ingin lebih lama lagi mengamatinya. Memandang senyumnya. Melihat kepala yang lebih sering menunduk daripada memandang wajahku yang rasanya sudah seperti udang rebus.

Entah mengapa setiap kali aku bertemu dengannya, mendadak aku menjadi tidak keren dan salah tingkah. Aku menjadi ingin tahu lebih tentangnya.

Hening beberapa menit. Hingga dia meminta ijin untuk pulang. Rasanya aku ingin memborgol tangannya. Agar dia tidak pergi. Ya, tapi kepalaku masih bisa digunakan berpikir. Yang ada jika aku memborgol, bisa saja dia meronta ingin dilepaskan. Jadi aku membiarkannya pergi. Kulambaikan tanganku pelan.

Tuhan, maaf nafsuku seharusnya tak begitu.

Tuhan, maaf kusuka dia.

“Keep in touch ya, La.” Dia mengangguk dan melihat kearahku lebih lama tiga detik dibandingkan sebelumnya, tidak lupa senyumannya.

Aku akan menunggu lebih lama untuk melihat senyumannya secara langsung. Kuharap dia akan sering-sering mengupdate status atau mengganti foto profilnya agar aku tahu apakah dia baik-baik saja atau sedang merindukanku.

Punggungnya menghilang.

Sampai jumpa lain waktu wahai pemilik senyum yang memabukkan.




“Hati itu seperti otot. Semakin dia terlatih, semakin dia kuat dan keras.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar