Senyuman 2
Setelah Rala pergi, enam bulan berlalu tanpa mengusiknya
membuatku gelisah. Bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya. Selalu
memandangi bulan setiap malam, dari lengkungan kecil sampai bulat sempurna.
Kuyakin dia juga memandang bulan yang sama. Itulah sebabnya dia hanya ada satu.
Untuk menyatukan jiwa-jiwa yang tertaut jarak yang jauh. Hingga getaran ponsel
pagi itu membuatku tidak bisa berpikir lagi, seolah darah dalam tubuhku
berhenti mengalir.
From: Rala Iroyisa
Hai, Ram. Kamu masih ingat
aku kan? Teman satu jurusanmu dulu, dan teman kelas bahasa Belanda yang
setengah resek. Disini sungguh keren, kamu tidak ingin mengunjungiku?
Setengah jam aku hanya memandangi lembar pesan yang kosong. Aku
bingung hendak menulis apa. Aku bingung memilah kata untuk membalas pesan
pendeknya.
To: Rala Iroyisa
Yaampun kamu masih hidup,
La? Bagi alamat lengkapmu lah. Aku suntuk berkecamuk dengan panas metropolitan.
Tanpa menunggu lama aku mendapati balasannya yang ternyata cukup
menyenangkan hati.
From: Rala Iroyisa
Hei Rama Harisy, kita sudah
tidak bertemu berapa lama? Kamu sudah tega menulis kalimat jahat begitu. Aku
tidak akan membagi alamatku.
Aku tahu dia hanya bercanda. Akhirnya aku memutuskan untuk
menelponnya. Karena aku terlalu penasaran dengan apa yang akan kutulis dan
seperti apa balasan darinya.
“Hai, La…” Sapaku dari teras rumah dengan ditemani secangkir
kopi hangat.
“Rama Harisy sehat kan?” Aku hening mendengar pertanyaannya.
‘Tidak. Aku tidak sehat. Aku sedang meradang ingin mengatakan
aku jatuh cinta padamu’ Tapi perkataan dalam hatiku tersebut hanya tenggelam
dalam sinyal ponselku dan pudar menghilang tak ada yang tahu.
Tuhan, maaf kusuka dia. Ampunkan aku tolong, Tuhan.
“Sudah sepatutnya begitu.”
“Mm-hmm. Where is your current address lil girl?”
“I’m not a lil girl, boy.”
“Aku sedang tidak ada kerjaan. Bukan ide yang buruk kumanfaatkan
untuk mengunjungi gadis sendiri di seberang sana.”
“Jangan lupa banyakin bawa snack.”
“Transfer dulu uangnya.”
“Ih pelit.”
“Kutunggu alamatmu ya. Nanti kirim sms saja, La.”
“Kamu sedang apa?”
“Mendengarkan suara teman yang titip dibawakan snack.”
“Yaampun aku ganti deh serius ngidam snack banget.”
“Yang penting kamu bahagia.”
“Oke, Ram. Aku selalu bahagia sih. Btw, aku ada undangan ke
nikahan kakak salah seorang murid yang kuajar. Sampai ketemu. Daaah~” Rasanya
aku ingin meraupnya dalam pelukanku. Mengajaknya menikah. Biar dia dan aku tahu
bagaimana rasanya mengundang tamu ke pernikahannya sendiri.
“Hati-hati kecantol pas kondangan,” Meski aku mengucapkannya
dengan setengah hati, justru aku lah yang harus berhati-hati.
“Apasih Ram. Sudah duluuuu. Bye.” Aku tahu dia tidak akan
mematikan telepon. Bukan adat yang baik kalau yang ditelpon yang menutupnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk mematikannya.
Adalah perasaan luar biasa tentang bagaimana kamu bisa jatuh
cinta kepada mereka yang tidak pernah kamu sadari pada saat pertama bertemu.
“Kamu lagi ngobrol sama siapa?” Ayah yang sedang membaca Koran
di ruang tamu melihatku ingin tahu. Mungkin karena senyumku yang semakin lebar
setiap hari meski hanya modal ponsel.
“Teman.” Kataku sambil menunjukkan ponsel ke Ayahku.
“Perempuan?” Apa aku terlihat tidak normal? Sampai-sampai ayah
menanyakan sosok yang membuatku sumringah perempuan atau bukan.
“Aku masih normal, Yah.”
“Ya kan Ayah cuma nanya.”
“Makasih, Yah.” Tanpa membalas, Ayah kembali asyik dengan koran
dan menyembunyikan senyum dibalik koran yang dibukanya lebar-lebar.
Setelah mengurus surat ijin cuti dua minggu dari kantor. Aku
memilih untuk segera pergi berlibur. Kemana? Ke tempat pujaan hati. Haduh, aku
belum apa-apa sudah bingung ingin berbicara apa dengannya. Rasanya semua kata
akan jadi lebih susah diucapkan saat berdekatan dengannya.
“Sungguh cinta tidak usah
dinanti. Yakinlah Tuhan akan mengirimkan signalnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar