8/28/2015

Senyuman 2

Senyuman 2

Setelah Rala pergi, enam bulan berlalu tanpa mengusiknya membuatku gelisah. Bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya. Selalu memandangi bulan setiap malam, dari lengkungan kecil sampai bulat sempurna. Kuyakin dia juga memandang bulan yang sama. Itulah sebabnya dia hanya ada satu. Untuk menyatukan jiwa-jiwa yang tertaut jarak yang jauh. Hingga getaran ponsel pagi itu membuatku tidak bisa berpikir lagi, seolah darah dalam tubuhku berhenti mengalir.

From: Rala Iroyisa
Hai, Ram. Kamu masih ingat aku kan? Teman satu jurusanmu dulu, dan teman kelas bahasa Belanda yang setengah resek. Disini sungguh keren, kamu tidak ingin mengunjungiku?

Setengah jam aku hanya memandangi lembar pesan yang kosong. Aku bingung hendak menulis apa. Aku bingung memilah kata untuk membalas pesan pendeknya.

To: Rala Iroyisa
Yaampun kamu masih hidup, La? Bagi alamat lengkapmu lah. Aku suntuk berkecamuk dengan panas metropolitan.

Tanpa menunggu lama aku mendapati balasannya yang ternyata cukup menyenangkan hati.

From: Rala Iroyisa
Hei Rama Harisy, kita sudah tidak bertemu berapa lama? Kamu sudah tega menulis kalimat jahat begitu. Aku tidak akan membagi alamatku.

Aku tahu dia hanya bercanda. Akhirnya aku memutuskan untuk menelponnya. Karena aku terlalu penasaran dengan apa yang akan kutulis dan seperti apa balasan darinya.

“Hai, La…” Sapaku dari teras rumah dengan ditemani secangkir kopi hangat.
“Rama Harisy sehat kan?” Aku hening mendengar pertanyaannya.

‘Tidak. Aku tidak sehat. Aku sedang meradang ingin mengatakan aku jatuh cinta padamu’ Tapi perkataan dalam hatiku tersebut hanya tenggelam dalam sinyal ponselku dan pudar menghilang tak ada yang tahu.

Tuhan, maaf kusuka dia. Ampunkan aku tolong, Tuhan.

“Sudah sepatutnya begitu.”

“Mm-hmm. Where is your current address lil girl?”

“I’m not a lil girl, boy.”

“Aku sedang tidak ada kerjaan. Bukan ide yang buruk kumanfaatkan untuk mengunjungi gadis sendiri di seberang sana.”

“Jangan lupa banyakin bawa snack.”

“Transfer dulu uangnya.”

“Ih pelit.”

“Kutunggu alamatmu ya. Nanti kirim sms saja, La.”

“Kamu sedang apa?”

“Mendengarkan suara teman yang titip dibawakan snack.”

“Yaampun aku ganti deh serius ngidam snack banget.”

“Yang penting kamu bahagia.”

“Oke, Ram. Aku selalu bahagia sih. Btw, aku ada undangan ke nikahan kakak salah seorang murid yang kuajar. Sampai ketemu. Daaah~” Rasanya aku ingin meraupnya dalam pelukanku. Mengajaknya menikah. Biar dia dan aku tahu bagaimana rasanya mengundang tamu ke pernikahannya sendiri.

“Hati-hati kecantol pas kondangan,” Meski aku mengucapkannya dengan setengah hati, justru aku lah yang harus berhati-hati.

“Apasih Ram. Sudah duluuuu. Bye.” Aku tahu dia tidak akan mematikan telepon. Bukan adat yang baik kalau yang ditelpon yang menutupnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mematikannya.

Adalah perasaan luar biasa tentang bagaimana kamu bisa jatuh cinta kepada mereka yang tidak pernah kamu sadari pada saat pertama bertemu.

“Kamu lagi ngobrol sama siapa?” Ayah yang sedang membaca Koran di ruang tamu melihatku ingin tahu. Mungkin karena senyumku yang semakin lebar setiap hari meski hanya modal ponsel.

“Teman.” Kataku sambil menunjukkan ponsel ke Ayahku.

“Perempuan?” Apa aku terlihat tidak normal? Sampai-sampai ayah menanyakan sosok yang membuatku sumringah perempuan atau bukan.

“Aku masih normal, Yah.”

“Ya kan Ayah cuma nanya.”

“Makasih, Yah.” Tanpa membalas, Ayah kembali asyik dengan koran dan menyembunyikan senyum dibalik koran yang dibukanya lebar-lebar.

Setelah mengurus surat ijin cuti dua minggu dari kantor. Aku memilih untuk segera pergi berlibur. Kemana? Ke tempat pujaan hati. Haduh, aku belum apa-apa sudah bingung ingin berbicara apa dengannya. Rasanya semua kata akan jadi lebih susah diucapkan saat berdekatan dengannya.


“Sungguh cinta tidak usah dinanti. Yakinlah Tuhan akan mengirimkan signalnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar