Tepat jam 12.15, hari Sabtu, 03-10-2015 di pintu
masuk Hotel Malibu Surabaya, terjadi tabrak lari. Bisa dikatakan itu tabrak
lari. Melibatkan satu motor dan satu mobil warna putih—masa bodoh mobil apa
keluaran mana harganya berapa—dengan nomor polisi L 1570 EE.
Mobil putih itu dari kelokan sebelumnya, hendak
belok ke hotel Malibu tanpa menyalakan lampu sign yang melaju dengan kecepatan sedang ke tinggi menabrak
pengendara motor yang ada di sebelah kiri mobil terjatuh beserta motornya.
Dadanya terkena kaca spion mobil yang bahkan sampai patah. Kemudian satpam
hotel berhasil menghentikan. Reflek Mia dan saya berhenti di tengah jalan dan
ikut di kerumunan. Muak ternyata dengan apa yang terjadi, di mana sang pengendara
mobil membuka mobil dengan sombongnya dan memaki pengendara motor yang bahkan
berdiri saja tertatih.
“HEI KAMU. NANTI KAMU SAYA INJAK LO! MINGGIR.”
Sambil memunguti patahan kaca spion.
“Sudah pak sudah.” Lerai salah satu satpam.
“Dada saya sakit pak. Saya habis sholat dzuhur,
makan, dan ini mau balik kerja.”
“APA KAMU INI” Teriak pemilik mobil dengan wajah
marah. Kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi.
Padahal jelas-jelas dia mau masuk ke dalam hotel,
kemudian pergi ke arah yang berbeda. DASAR. Ingin mematahkan lehernya rasanya.
Teriak-teriak teman saya memaki sang pengendara mobil yang bahkan tidak merasa
bersalah sedikitpun justru pergi layaknya pengecut.
Disini bukan saya membela pengendara motor dan
mengabaikan mana korban dan tersangka. Karena jelas-jelas pengendara mobil
lalai. Harusnya dia pelan di kelokan jika ingin masuk ke hotel. DAN menyalakan
lampoon sign.
“Sudah mbak sudah. Mungkin orang kecil kayak saya
biasa dibeginikan.” Ucap pengendara motor sambil memegangi dadanya. Kaki kanan
dan lututnya lecet-lecet dan berdarah.
“Dada saya sakit. Saya mau ketemu mandor di proyek.
Mau ambi bayaran.” Kemudian bapak itu mengeluarkan ponsel yang super sederhana.
Bapak itu menghubungi mandornya, dan ternyata sudah pulang.
Jadi harus mengurungkan angan-angan bayaran. Dia baru mendapatkan bayarannya
minggu depan. Alih-alih senang dapat bayaran justru dapat celaka dari orang
yang lalai dan pengecut.
“Biarin mbak orang kaya biasa kayak gitu sama orang
kayak saya.” Kata bapak itu yang sudah didudukkan satpam di kursi.
“Ya tapi ndak bisa gitu juga pak. Ini menyalahi
aturan. Nanti orangnya makin angkuh, ngelunjak. Laporkan saja pak, saya ingat plat mobilnya.”
“Berapa mbak nomornya? L ya tadi?” Tanya pak satpam.
Teman saya mengangguk.
“Gapapa mbak. Mungkin sudah jadi ujian saya. Mungkin
nanti kaki saya butuh dipijat. Ndak usah dibesar-besarkan pak.”
Dari kejadian itu saya belajar tentang kebesaran
hati. Materi tidak mengajarkan itu. Keikhlasan terkadang tidak dimiliki mereka
yang justru berlebih. Bukan maksud menjeneralisasi, saya hanya melihat satu
kejadian yang baru saja terlihat. Berbeda lagi disana sana ada kok yang berbaik hati mengantar ke rumah
sakit, menanggung biaya rumah sakit. Ada juga yang tanpa turun dari mobil langsung
pergi. Lebih pengecut lagi yang terakhir.
Manusia juga tidak hanya satu jenis, kalau semuanya
baik neraka kosong dong nanti.
Sesimpel itu tapi tidak semudah itu menerapkan hidup baik. Misalnya memaafkan.
Memaafkan adalah salah satu sifat Tuhan, Tuhan maha mengampuni jika hamba
meminta ampun. Tidak jika angkuh.
Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Tidak semua rasa sakit dalam dada hilang saat terucap 'saya memaafkannya'.
SEKIAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar