10/04/2015

Wahai Si Lalai

Tepat jam 12.15, hari Sabtu, 03-10-2015 di pintu masuk Hotel Malibu Surabaya, terjadi tabrak lari. Bisa dikatakan itu tabrak lari. Melibatkan satu motor dan satu mobil warna putih—masa bodoh mobil apa keluaran mana harganya berapa—dengan nomor polisi L 1570 EE.

Mobil putih itu dari kelokan sebelumnya, hendak belok ke hotel Malibu tanpa menyalakan lampu sign yang melaju dengan kecepatan sedang ke tinggi menabrak pengendara motor yang ada di sebelah kiri mobil terjatuh beserta motornya. Dadanya terkena kaca spion mobil yang bahkan sampai patah. Kemudian satpam hotel berhasil menghentikan. Reflek Mia dan saya berhenti di tengah jalan dan ikut di kerumunan. Muak ternyata dengan apa yang terjadi, di mana sang pengendara mobil membuka mobil dengan sombongnya dan memaki pengendara motor yang bahkan berdiri saja tertatih.

“HEI KAMU. NANTI KAMU SAYA INJAK LO! MINGGIR.” Sambil memunguti patahan kaca spion.

“Sudah pak sudah.” Lerai salah satu satpam.

“Dada saya sakit pak. Saya habis sholat dzuhur, makan, dan ini mau balik kerja.”

“APA KAMU INI” Teriak pemilik mobil dengan wajah marah. Kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi.

Padahal jelas-jelas dia mau masuk ke dalam hotel, kemudian pergi ke arah yang berbeda. DASAR. Ingin mematahkan lehernya rasanya. Teriak-teriak teman saya memaki sang pengendara mobil yang bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun justru pergi layaknya pengecut.

Disini bukan saya membela pengendara motor dan mengabaikan mana korban dan tersangka. Karena jelas-jelas pengendara mobil lalai. Harusnya dia pelan di kelokan jika ingin masuk ke hotel. DAN menyalakan lampoon sign.

“Sudah mbak sudah. Mungkin orang kecil kayak saya biasa dibeginikan.” Ucap pengendara motor sambil memegangi dadanya. Kaki kanan dan lututnya lecet-lecet dan berdarah.

“Dada saya sakit. Saya mau ketemu mandor di proyek. Mau ambi bayaran.” Kemudian bapak itu mengeluarkan ponsel yang super sederhana.

Bapak itu menghubungi mandornya, dan ternyata sudah pulang. Jadi harus mengurungkan angan-angan bayaran. Dia baru mendapatkan bayarannya minggu depan. Alih-alih senang dapat bayaran justru dapat celaka dari orang yang lalai dan pengecut.

“Biarin mbak orang kaya biasa kayak gitu sama orang kayak saya.” Kata bapak itu yang sudah didudukkan satpam di kursi.

“Ya tapi ndak bisa gitu juga pak. Ini menyalahi aturan. Nanti orangnya makin angkuh, ngelunjak. Laporkan saja pak, saya ingat plat mobilnya.”

“Berapa mbak nomornya? L ya tadi?” Tanya pak satpam. Teman saya mengangguk.

“Gapapa mbak. Mungkin sudah jadi ujian saya. Mungkin nanti kaki saya butuh dipijat. Ndak usah dibesar-besarkan pak.”

Dari kejadian itu saya belajar tentang kebesaran hati. Materi tidak mengajarkan itu. Keikhlasan terkadang tidak dimiliki mereka yang justru berlebih. Bukan maksud menjeneralisasi, saya hanya melihat satu kejadian yang baru saja terlihat. Berbeda lagi disana sana ada kok yang berbaik hati mengantar ke rumah sakit, menanggung biaya rumah sakit. Ada juga yang tanpa turun dari mobil langsung pergi. Lebih pengecut lagi yang terakhir.

Manusia juga tidak hanya satu jenis, kalau semuanya baik neraka kosong dong nanti. Sesimpel itu tapi tidak semudah itu menerapkan hidup baik. Misalnya memaafkan. Memaafkan adalah salah satu sifat Tuhan, Tuhan maha mengampuni jika hamba meminta ampun. Tidak jika angkuh.

Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Tidak semua rasa sakit dalam dada hilang saat terucap 'saya memaafkannya'.


SEKIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar