Hari ini aku akan kembali bercerita
tengtang Me. Iya Me. Dia adalah gadis belia awal, seperti gadis seumurnya yang lain.
Suka bersenang-senang dan berteman. Kurasa semuanya juga suka berteman. Dia
punya tiga sahabat kecintaannya, Franklin, James, dan Rebecca. Tapi sepertinya,
kecintaan Me terhadap sahabat-sahabatnya bertepuk sebelah pihak. Mengapa
begitu?
Me tidak pernah mengetahui itu, Me
hanya menganggap dia mencintai sahabatnya dan sahabat-sahabatnya mencintai.
Ternyata kenyataan berkata sebaliknya. Hanya dia pihak yang terlupakan. Forgettable Me. Mengapa? Apa salah Me?
Apakah Me pernah berbuat salah pada mereka? Entahlah.
Pada suatu pagi, Me mengirimkan pesan kepada sahabat-sahabatnya dengan isi yang
sama, ucapan selamat pagi dari seorang sahabat yang merindukannya. Me sudah sekitar dua minggu tidak
bertemu mereka karena masa libur sekolah. Kalian tahu seperti apa respon
Franklin, James, dan Rebecca yang kebetulan pagi itu mereka sedang berangkat ke
Pulau Penyu—salah satu tempat penangkaran penyu terbesar di Bali. Mereka saling
bertatapan satu sama lain dan menertawakan isi pesan dari Me.
“Norak sekali.” Franklin buru-buru
menghapus pesan tersebut dan kembali memandang laut lepas dari atas kapal kecil
yang sedang menyebrangi laut menuju Pulau Penyu. Hal tersebut dilakukan serempak
oleh James dan Rebecca juga.
“Untung kita nggak ngajakin Me kesini. Dia akan sangat norak dan
berteriak-teriak karena kecintaannya pada laut. Menjengkelkan.” Rebecca
terlihat bersungut-sungut saat mengucapkan kalimat itu. James menanggapinya
dengan anggukan dan memasukan ponsel ke kantong celananya.
“Ngapain juga kita ributin Me, kan kita lagi liburan. Lagian sih Me itu sok misterius pake acara ijin
sana sini kalo mau kemana-mana, ngrepotin. Eh besok ke Ubud yuk…” Ajak James
dengan mata berbinar kepada sahabat-sahabatnya.
“Boleh, aku kangen sup mi di salah satu
rumah makan yang dulu pernah kita kunjung itu.” Ucap Rebecca tak kalah
semangat.
Sementara di tempat terpisah Me sedang tak sabar menunggu balasan
sahabat-sahabatnya. Padahal tidak ada satupun diantara mereka yang membalasnya,
bahkan pesan dari Me sudah lenyap
terhapus.
Hari-hari berlalu tanpa kabar dari
sahabat-sahabatnya, Me merasa rindu. Khawatir dari beberapa hari yang lalu
pesan-pesan darinya tidak satupun mendapat balasan. Hingga pada hari itu dia
bertemu dengan salah satu teman sekelasnya di Plaza saat Me menamani mamanya
belanja.
“Hai Me, kamu sendirian aja?” Gadis
yang lebih pendek darinya itu terlihat keberatan membawa barang belanjaan
sehingga Me membantunya membakannya dan berjalan mengikuti temannya yang
diketahui namanya Nadine.
“Sama Mama, belanja. Kamu mau nyari
taksi?” Me bertanya sambil berjalan
berbagi lengan kantong plastik besar itu dengan Nadine.
“Iya. Makasih ya, mama nyuruh belanja.”
“Kamu hebat ya, belanja sendiri.” Me mengacungkan dua jempolnya kepada
Nadine dan ditanggapinya dengan senyuman.
Kini mereka sudah sampai di pintu
keluar, menyelesaikan pembicaraan.
“Kamu tidak ikut Franklin, James, dan
Rebecca ke Pulau Penyu?” Me terlihat
terkejut mendengar pertanyaan Nadine? Me
kemudian menggelengkan kepalanya dengan keras.
“Oh, baiklah. Terimakasih banyak Me sudah bantu. Salam buat mama kamu yaa…bye.” Kini Nadine sudah masuk ke dalam
taksi yang sedari tadi sudah membukakan pintunya, ia melambaikan tangan ke Me dengan membuka jendela taksi yang
sudah melaju perlahan meninggalkan Plaza.
Me masih tidak menyangka ternyata
sahabat-sahabatnya itu pergi berlibur bersama. Tanpanya. Tanpa dia sangat
mencintai sahabat-sahabatnya itu. Me menghela
napas panjang menahan muram di wajahnya dan kembali menemui mamanya yang sedang
keberatan dengan troli belanjaannya.
“Ma, tadi Me abis antar teman bawa belanjaan.”
“Siapa? Franklin? Tumben sekali dia mau
belanja.” Me menggeleng. Mamanya
mengeryitkan alisnya. “James?” Me
kembali menggelengkan kepalanya. Mamanya semakin mengerutkan dahinya. “Pasti
Rebecca…” Me gemas dan kembali dengan
keras menggelengkan kepalanya.
“Bukan Ma, nama teman Me, Nadine.”
“Kamu tidak pernah bilang pada mama
punya teman namanya Nadine.”
“Sekarang Me punya.”
Me yang terlupakan tidak pernah membenci
atau balas dendam seperti apapun kepada Franklin, James, dan Rebecca. Justru Me masih sering jalan dengan mereka
setelah liburan berakhir. Dan ternyata benar, Me terlupakan. Bahkan kini tertinggal di belakang saat mereka
sedang jalan bareng. Me terpisah dari
lingkup Franklin, James, dan Rebecca. Berbeda ruang dan waktu. Tidak lagi
dianggap. Dan ternyata selama ini mereka menemani Me hanya karena kasihan. Gadis belia awal sakit-sakitan yang harus
minta ijin tiap hendak kemanapun—dan itu sangat merepotkan.
Me hanya memohon dalam do’anya untuk
punya satu kesempatan lagi agar sahabat-sahabatnya itu kembali dan
menganggapnya. Dan dia memohon agar diluar sana dia bisa berteman, lebih banyak
lagi, tidak hanya mereka bertiga tadi. Meski Me terlupakan, tapi dia akan berusaha tidak balas melupakan. Karena
dia tahu, bagaimana sakit rasanya jika dilupakan. Tak dianggap. Dan menjadi
momok merepotkan.
Sekian cerita dari Me yang terlupakan. Aku harap Me
selalu dalam rengkuhan Tuhan. Ameen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar