7/05/2014

Forgettable Me


Hari ini aku akan kembali bercerita tengtang Me. Iya Me. Dia adalah gadis belia awal, seperti gadis seumurnya yang lain. Suka bersenang-senang dan berteman. Kurasa semuanya juga suka berteman. Dia punya tiga sahabat kecintaannya, Franklin, James, dan Rebecca. Tapi sepertinya, kecintaan Me terhadap sahabat-sahabatnya bertepuk sebelah pihak. Mengapa begitu?

Me tidak pernah mengetahui itu, Me hanya menganggap dia mencintai sahabatnya dan sahabat-sahabatnya mencintai. Ternyata kenyataan berkata sebaliknya. Hanya dia pihak yang terlupakan. Forgettable Me. Mengapa? Apa salah Me? Apakah Me pernah berbuat salah pada mereka? Entahlah.

Pada suatu pagi, Me mengirimkan pesan kepada sahabat-sahabatnya dengan isi yang sama, ucapan selamat pagi dari seorang sahabat yang merindukannya. Me sudah sekitar dua minggu tidak bertemu mereka karena masa libur sekolah. Kalian tahu seperti apa respon Franklin, James, dan Rebecca yang kebetulan pagi itu mereka sedang berangkat ke Pulau Penyu—salah satu tempat penangkaran penyu terbesar di Bali. Mereka saling bertatapan satu sama lain dan menertawakan isi pesan dari Me.

“Norak sekali.” Franklin buru-buru menghapus pesan tersebut dan kembali memandang laut lepas dari atas kapal kecil yang sedang menyebrangi laut menuju Pulau Penyu. Hal tersebut dilakukan serempak oleh James dan Rebecca juga.

“Untung kita nggak ngajakin Me kesini. Dia akan sangat norak dan berteriak-teriak karena kecintaannya pada laut. Menjengkelkan.” Rebecca terlihat bersungut-sungut saat mengucapkan kalimat itu. James menanggapinya dengan anggukan dan memasukan ponsel ke kantong celananya.

“Ngapain juga kita ributin Me, kan kita lagi liburan. Lagian sih Me itu sok misterius pake acara ijin sana sini kalo mau kemana-mana, ngrepotin. Eh besok ke Ubud yuk…” Ajak James dengan mata berbinar kepada sahabat-sahabatnya.

“Boleh, aku kangen sup mi di salah satu rumah makan yang dulu pernah kita kunjung itu.” Ucap Rebecca tak kalah semangat.

Sementara di tempat terpisah Me sedang tak sabar menunggu balasan sahabat-sahabatnya. Padahal tidak ada satupun diantara mereka yang membalasnya, bahkan pesan dari Me sudah lenyap terhapus.

Hari-hari berlalu tanpa kabar dari sahabat-sahabatnya, Me merasa rindu. Khawatir dari beberapa hari yang lalu pesan-pesan darinya tidak satupun mendapat balasan. Hingga pada hari itu dia bertemu dengan salah satu teman sekelasnya di Plaza saat Me menamani mamanya belanja.

“Hai Me, kamu sendirian aja?” Gadis yang lebih pendek darinya itu terlihat keberatan membawa barang belanjaan sehingga Me membantunya membakannya dan berjalan mengikuti temannya yang diketahui namanya Nadine.

“Sama Mama, belanja. Kamu mau nyari taksi?” Me bertanya sambil berjalan berbagi lengan kantong plastik besar itu dengan Nadine.

“Iya. Makasih ya, mama nyuruh belanja.”

“Kamu hebat ya, belanja sendiri.” Me mengacungkan dua jempolnya kepada Nadine dan ditanggapinya dengan senyuman.

Kini mereka sudah sampai di pintu keluar, menyelesaikan pembicaraan.

“Kamu tidak ikut Franklin, James, dan Rebecca ke Pulau Penyu?” Me terlihat terkejut mendengar pertanyaan Nadine? Me kemudian menggelengkan kepalanya dengan keras.

“Oh, baiklah. Terimakasih banyak Me sudah bantu. Salam buat mama kamu yaa…bye.” Kini Nadine sudah masuk ke dalam taksi yang sedari tadi sudah membukakan pintunya, ia melambaikan tangan ke Me dengan membuka jendela taksi yang sudah melaju perlahan meninggalkan Plaza.

Me masih tidak menyangka ternyata sahabat-sahabatnya itu pergi berlibur bersama. Tanpanya. Tanpa dia sangat mencintai sahabat-sahabatnya itu. Me menghela napas panjang menahan muram di wajahnya dan kembali menemui mamanya yang sedang keberatan dengan troli belanjaannya.

“Ma, tadi Me abis antar teman bawa belanjaan.”

“Siapa? Franklin? Tumben sekali dia mau belanja.” Me menggeleng. Mamanya mengeryitkan alisnya. “James?” Me kembali menggelengkan kepalanya. Mamanya semakin mengerutkan dahinya. “Pasti Rebecca…” Me gemas dan kembali dengan keras menggelengkan kepalanya.

“Bukan Ma, nama teman Me, Nadine.”

“Kamu tidak pernah bilang pada mama punya teman namanya Nadine.”

“Sekarang Me punya.”

Me yang terlupakan tidak pernah membenci atau balas dendam seperti apapun kepada Franklin, James, dan Rebecca. Justru Me masih sering jalan dengan mereka setelah liburan berakhir. Dan ternyata benar, Me terlupakan. Bahkan kini tertinggal di belakang saat mereka sedang jalan bareng. Me terpisah dari lingkup Franklin, James, dan Rebecca. Berbeda ruang dan waktu. Tidak lagi dianggap. Dan ternyata selama ini mereka menemani Me hanya karena kasihan. Gadis belia awal sakit-sakitan yang harus minta ijin tiap hendak kemanapun—dan itu sangat merepotkan.

Me hanya memohon dalam do’anya untuk punya satu kesempatan lagi agar sahabat-sahabatnya itu kembali dan menganggapnya. Dan dia memohon agar diluar sana dia bisa berteman, lebih banyak lagi, tidak hanya mereka bertiga tadi. Meski Me terlupakan, tapi dia akan berusaha tidak balas melupakan. Karena dia tahu, bagaimana sakit rasanya jika dilupakan. Tak dianggap. Dan menjadi momok merepotkan.



Sekian cerita dari Me yang terlupakan. Aku harap Me selalu dalam rengkuhan Tuhan. Ameen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar