7/24/2014

Jim #

Hai, masih ingat temanku yang bernama Jim? Kuharap. Malam ini aku ingin bercerita (lagi) tentangnya. Terkadang agak jahat bercerita tentang kehidupan orang lain, tapi Jim tidak keberatan jika ceritanya diceritakan kembali pada orang lain. Toh dia merasa tidak ada yang istimewa atas dirinya. Setidaknya itulah yang dirasakannya selama ini, meskipun itu membuatnya tetap bertahan.

Mamanya memberi Jim teman baru, anak anjing poodle warna putih yang menggemaskan. Sayangnya dia tidak mau berbagi gambar anjingnya—Maxkew. Hanya menyebutkan harga dalam satuan dollar yang menggemparkan jika di rupiahkan untuk seekor anak anjing, yakni $ 800 atau senilai Rp. 10.000.000; Ya itu memang mengerikan untuk harga satu ekor anak anjing, bisa digunakan untuk menyewa kontrakan 3 kamar setahun lengkap dengan kamar mandinya. Jim hanya mengirimkan emot tertawa saat aku mengatakan itu. Aku juga bertanya mengapa mamanya tiba-tiba membelikanmu Maxkew?

“…aku juga tak begitu mengerti maksud mama. Mungkin saat aku mati nanti, mama akan melihatku lewat Maxkew atau kebiasaan-kebiasaannya yang akan diingat saat bersamaku? Bukankah itu akan lebih menyakitkan. Lalu mengapa anjing? Mengapa tak memberiku saja adik perempuan? Ha ha ha tidak mereka sudah cukup tua untuk merawat bayi. Bisa-bisa mama harus berhenti kerja untuk mengurusi dua bayi.” Aku mengeryitkan alis saat dia menuliskan dua bayi di kalimatnya.

“Dua bayi?” Aku mengetik dua kata itu saat membalas chat dengannya pagi itu dua bulan yang lalu.

“Iya. Kalau memang benar mama punya bayi lagi maka secara otomatis akan ada dua bayi. Aku dan adik bayiku. Mama akan merawat anak gadisnya yang sakit dan merawat bayi yang belum bisa apa-apa. Aku tak akan mengijinkan mama untuk melakukan hal bodoh itu. Mungkin karena itu juga mama membelikanku Maxkew. Biar aku ada teman saat mama dan papa sedang berada di kantor dan harus lari-lari pulang saat mendapat telepon dariku bahwa aku sekarat, ha ha ha. Sepertinya kata yang kugunakan kedengaran mengerikan?,” aku mengiakan hal tersebut. Orangtua mana yang akan diam saja mendengar telepon dari anaknya bahwa anaknya—anak semata wayangnya—sekarat.

Cara berceritanya yang jenaka terkadang membuat aku yang sehat jasmani merasa malu dengan semangatnya yang tak pernah padam. Pernah sekali Jim bercerita padaku tentang pengobatan alternatif yang disarankan saudara jauhnya yang ada di Amerika sana, dan Jim menjalaninya. Salah satu pagi di musim semi, Jim dan mamanya pergi ke salah seorang dukun kalau orang sini bilang mah. Dukun itu keturunan suku maya yang pandai meramal. Meskipun Jim dan mamanya sudah merasa pesimis sebelum sampai di tempat tujuan, namun mereka tetap saja pergi untuk coba-coba. Padahal akibatnya bisa saja fatal mempermainkan hasil laboratotium dan hasil nalar seorang peramal. Dan lagi jika di logika, apa hubungan peramal dengan penyakit yang diderita Jim? Itu sungguh tidak masuk akal. Setelah tiba di tempat dukun tersebut. Jim disuruh duduk, mulai dibacakan mantra-mantra kemudian disuruh meminum ramuan herbal kering dalam kantung berwarna coklat tua dan dituangkan ke dalam secangkir air putih hangat. Jim berteriak saat meminumnya. Jim berkata rasa ramuan itu mirip rumput kering dicampur dengan kecap asin dan bekicot busuk. Ah aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak pernah memakan rumput dan bekicot, apalagi yang busuk. Lidahku menjadi kusut seketika saat membayangkan ada bekicot dan rumput yang masuk kedalam mulutku. Tidak lain Jim melakukan itu adalah untuk kesembuhan. Aku pernah membaca dalam kitab yang menyebutkan bahwa tidak ada satu umat pun di dunia ini yang mengetahui kapan ajalnya tiba dan tidak pula mampu mencari cara penundaannya. Namun, bukan berarti hanya pasrah dan berdiam diri menunggu maut. Tapi berusaha untuk menjaga kesehata agar tubuh ini atau tubuh kita tidak merasa marah saat meminta pertanggungjawaban kelak saat masa pertarungan di dunia sudah habis.

Jim kuakui ahli dalam bercerita. Bahkan aku tidak bisa bercerita seruntut apa yang telah dia ceritakan padaku. Jim mengatakan pernah secara runtut menyebutkan kebohongan teman sekelasnya. Pertama, saat liburan musim panas. Saat itu teman-temannya menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas akhir bersama, Jim ikut serta. Demi apapun Jim lupa membawa obatnya, dadanya merasa nyeri saat itu juga—kekurangan oksigen yang masuk ke dalam jantungnya. Sehingga Jim jatuh pingsan. Namun masih terdengar sayup-sayup suara teman-teman di sekelilingnya. Nah pada saat itulah dia mendengar temannya tersebut mengucapkan kalimat

“Sudah kubilang jangan mengajak Jim. Dia sudah sekarat dan akan merepotkan siapa saja.” Dan sungguh demi apapun Jim saat itu menangis dalam pingsannya namun dia tidak bisa membuka mata bahkan bernapas dengan benar. Setelah sadar dia berada di rumah sakit, teman yang berkata demikian tadi dengan wajah sendu menungguinya di rumah sakit dan berpura-pura berempati dan matanya mulai berkaca-kaca. Pada saat itulah Jim yang sedang berbaring di ranjang kaku yang menjemukan lengkap dengan aroma rumah sakit serta dengan selang kanula yang menempel di hidungnya atau apalah aku lupa terhubung dengan tangki oksigen besar (jujur saat itu aku membayangkan tangki Liquid Portable Gas) mengatakan bahwa akting temannya—yang aku sedikit lupa antara Tilde atau Tilda aku lupa—sangat mengesankan. Jim menyebutkan segala kebohongan yang diketahuinya dan Tilde/Tilda itu merasa dipermalukan di depan orangtua Jim, dan memutuskan untuk pergi meninggalkan Jim.

Bukankah Jim pengungkap kebohongan yang hebat? Ya, tentunya pengungkap kebohongan yang berani. Meskipun seorang dalam kondisi sekarat atau apapun yang patut dikasihani, mereka tidak akan memilih untuk dikasihani jika mereka memiliki sesuatu yang berharga misalnya ilmu atau nilai atas kehidupan maka hal tersebut tidak akan dipilihnya. Hidup dengan rasa dikasihani lebih menyakitkan daripada dicaci di depan muka sendiri. Hidup dikasihani seolah kita hidup dibawah kendali orang lain, bergantung pada orang lain. Dalam hal ini bukan berarti manusia bukan makhluk sosial, bodoh, tentu saja manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup dan tinggal sehari-hari, kumohon jangan naïf. Dia adalah pembela mereka yang direndahkan, dibohongi, dan dibodohi atas nama kasihan.


Sekian ceritaku kali ini mengenai Jim. Aku tidak bercerita dengannya seintens tahun lalu atau empat bulan yang lalu. Hanya saja dia mengatakan akan lebih sering melakukan bypass sebelum akhirnya beralih pada prosedur dokter mengenai kelanjutan koronernya dengan menggunakan angioplasti yang tidak kutahu apa maksudnya. Yang jelas itu mengenai pemasukan jarum ke arteri melalui kateter yang sebelumnya telah dimasukkan dengan petunjuk sinar X. Kudengar dari perbincangan teman-temannya di dinding media sosialnya, Jim sudah tidak masuk kuliah selama satu bulan. Kuharap dia baik-baik saja dan selalu dalam rengkuhan Tuhan. Jim, aku merindukanmu—cerita jenakamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar