Hai,
masih ingat temanku yang bernama Jim? Kuharap. Malam ini aku ingin bercerita (lagi)
tentangnya. Terkadang agak jahat bercerita tentang kehidupan orang lain, tapi
Jim tidak keberatan jika ceritanya diceritakan kembali pada orang lain. Toh dia
merasa tidak ada yang istimewa atas dirinya. Setidaknya itulah yang dirasakannya
selama ini, meskipun itu membuatnya tetap bertahan.
Mamanya
memberi Jim teman baru, anak anjing poodle warna putih yang menggemaskan.
Sayangnya dia tidak mau berbagi gambar anjingnya—Maxkew. Hanya menyebutkan
harga dalam satuan dollar yang menggemparkan jika di rupiahkan untuk seekor
anak anjing, yakni $ 800 atau senilai Rp. 10.000.000; Ya itu memang mengerikan
untuk harga satu ekor anak anjing, bisa digunakan untuk menyewa kontrakan 3
kamar setahun lengkap dengan kamar mandinya. Jim hanya mengirimkan emot tertawa
saat aku mengatakan itu. Aku juga bertanya mengapa mamanya tiba-tiba
membelikanmu Maxkew?
“…aku
juga tak begitu mengerti maksud mama. Mungkin saat aku mati nanti, mama akan
melihatku lewat Maxkew atau kebiasaan-kebiasaannya yang akan diingat saat
bersamaku? Bukankah itu akan lebih menyakitkan. Lalu mengapa anjing? Mengapa
tak memberiku saja adik perempuan? Ha ha ha tidak mereka sudah cukup tua untuk
merawat bayi. Bisa-bisa mama harus berhenti kerja untuk mengurusi dua bayi.”
Aku mengeryitkan alis saat dia menuliskan dua bayi di kalimatnya.
“Dua
bayi?” Aku mengetik dua kata itu saat membalas chat dengannya pagi itu dua
bulan yang lalu.
“Iya.
Kalau memang benar mama punya bayi lagi maka secara otomatis akan ada dua bayi.
Aku dan adik bayiku. Mama akan merawat anak gadisnya yang sakit dan merawat
bayi yang belum bisa apa-apa. Aku tak akan mengijinkan mama untuk melakukan hal
bodoh itu. Mungkin karena itu juga mama membelikanku Maxkew. Biar aku ada teman
saat mama dan papa sedang berada di kantor dan harus lari-lari pulang saat
mendapat telepon dariku bahwa aku sekarat, ha ha ha. Sepertinya kata yang
kugunakan kedengaran mengerikan?,” aku mengiakan hal tersebut. Orangtua mana
yang akan diam saja mendengar telepon dari anaknya bahwa anaknya—anak semata
wayangnya—sekarat.
Cara
berceritanya yang jenaka terkadang membuat aku yang sehat jasmani merasa malu
dengan semangatnya yang tak pernah padam. Pernah sekali Jim bercerita padaku
tentang pengobatan alternatif yang disarankan saudara jauhnya yang ada di
Amerika sana, dan Jim menjalaninya. Salah satu pagi di musim semi, Jim dan
mamanya pergi ke salah seorang dukun kalau orang sini bilang mah. Dukun itu keturunan suku maya yang
pandai meramal. Meskipun Jim dan mamanya sudah merasa pesimis sebelum sampai di
tempat tujuan, namun mereka tetap saja pergi untuk coba-coba. Padahal akibatnya
bisa saja fatal mempermainkan hasil laboratotium dan hasil nalar seorang
peramal. Dan lagi jika di logika, apa hubungan peramal dengan penyakit yang
diderita Jim? Itu sungguh tidak masuk akal. Setelah tiba di tempat dukun
tersebut. Jim disuruh duduk, mulai dibacakan mantra-mantra kemudian disuruh
meminum ramuan herbal kering dalam kantung berwarna coklat tua dan dituangkan
ke dalam secangkir air putih hangat. Jim berteriak saat meminumnya. Jim berkata
rasa ramuan itu mirip rumput kering dicampur dengan kecap asin dan bekicot
busuk. Ah aku tidak bisa membayangkannya. Aku tidak pernah memakan rumput dan
bekicot, apalagi yang busuk. Lidahku menjadi kusut seketika saat membayangkan
ada bekicot dan rumput yang masuk kedalam mulutku. Tidak lain Jim melakukan itu
adalah untuk kesembuhan. Aku pernah membaca dalam kitab yang menyebutkan bahwa
tidak ada satu umat pun di dunia ini yang mengetahui kapan ajalnya tiba dan
tidak pula mampu mencari cara penundaannya. Namun, bukan berarti hanya pasrah
dan berdiam diri menunggu maut. Tapi berusaha untuk menjaga kesehata agar tubuh
ini atau tubuh kita tidak merasa marah saat meminta pertanggungjawaban kelak
saat masa pertarungan di dunia sudah habis.
Jim
kuakui ahli dalam bercerita. Bahkan aku tidak bisa bercerita seruntut apa yang
telah dia ceritakan padaku. Jim mengatakan pernah secara runtut menyebutkan
kebohongan teman sekelasnya. Pertama, saat liburan musim panas. Saat itu
teman-temannya menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas akhir bersama, Jim
ikut serta. Demi apapun Jim lupa membawa obatnya, dadanya merasa nyeri saat itu
juga—kekurangan oksigen yang masuk ke dalam jantungnya. Sehingga Jim jatuh
pingsan. Namun masih terdengar sayup-sayup suara teman-teman di sekelilingnya.
Nah pada saat itulah dia mendengar temannya tersebut mengucapkan kalimat
“Sudah
kubilang jangan mengajak Jim. Dia sudah sekarat dan akan merepotkan siapa saja.”
Dan sungguh demi apapun Jim saat itu menangis dalam pingsannya namun dia tidak
bisa membuka mata bahkan bernapas dengan benar. Setelah sadar dia berada di
rumah sakit, teman yang berkata demikian tadi dengan wajah sendu menungguinya
di rumah sakit dan berpura-pura berempati dan matanya mulai berkaca-kaca. Pada
saat itulah Jim yang sedang berbaring di ranjang kaku yang menjemukan lengkap
dengan aroma rumah sakit serta dengan selang kanula yang menempel di hidungnya
atau apalah aku lupa terhubung dengan tangki oksigen besar (jujur saat itu aku
membayangkan tangki Liquid Portable Gas)
mengatakan bahwa akting temannya—yang aku sedikit lupa antara Tilde atau Tilda
aku lupa—sangat mengesankan. Jim menyebutkan segala kebohongan yang
diketahuinya dan Tilde/Tilda itu merasa dipermalukan di depan orangtua Jim, dan
memutuskan untuk pergi meninggalkan Jim.
Bukankah
Jim pengungkap kebohongan yang hebat? Ya, tentunya pengungkap kebohongan yang
berani. Meskipun seorang dalam kondisi sekarat atau apapun yang patut dikasihani,
mereka tidak akan memilih untuk dikasihani jika mereka memiliki sesuatu yang
berharga misalnya ilmu atau nilai atas kehidupan maka hal tersebut tidak akan
dipilihnya. Hidup dengan rasa dikasihani lebih menyakitkan daripada dicaci di
depan muka sendiri. Hidup dikasihani seolah kita hidup dibawah kendali orang
lain, bergantung pada orang lain. Dalam hal ini bukan berarti manusia bukan
makhluk sosial, bodoh, tentu saja manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup
dan tinggal sehari-hari, kumohon jangan naïf. Dia adalah pembela mereka yang direndahkan,
dibohongi, dan dibodohi atas nama kasihan.
Sekian
ceritaku kali ini mengenai Jim. Aku tidak bercerita dengannya seintens tahun
lalu atau empat bulan yang lalu. Hanya saja dia mengatakan akan lebih sering melakukan bypass sebelum akhirnya beralih pada prosedur dokter mengenai kelanjutan koronernya dengan menggunakan angioplasti yang tidak kutahu apa maksudnya. Yang jelas itu mengenai pemasukan jarum ke arteri melalui kateter yang sebelumnya telah dimasukkan dengan petunjuk sinar X. Kudengar dari perbincangan teman-temannya di
dinding media sosialnya, Jim sudah tidak masuk kuliah selama satu bulan. Kuharap
dia baik-baik saja dan selalu dalam rengkuhan Tuhan. Jim, aku merindukanmu—cerita
jenakamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar