What “This Disease” that I
mean here? Nothing, just something I want to share (not much) with you,
although I’m not sure people will read it, ha ha ha.
This morning, my lovable
friend, I called her, mama, sent message to me. She was my classmate at senior
hi-school. Lu’luil Maknun (The hidden Pearls). What a beautiful name ever. That
sentence wrote inside the Al-quran. Mama tidak
main-main dengan nama yang dianugerahkan padanya. Dia gadis yang manut pada orang tua dan begitu hormat. Gadis
sholeha yang relijius—not in fanatic area.
Pribadinya
menyenangkan. Dan menyebalkan—kalau denganku. Suka membuliku. Apa karena mukaku
bully-able? ._.
“Paid,
gak kontrol hah?” Kalau kalian yang bukan diriku baca sms ini pasti mikir
macam-macam. Kontrol? Kontrol apa? Aku gila? Sehingga harus rutin kontrol?
Sampai teman dekatku menanyakannya? Enggak. Aku sekarat? Sehingga butuh rekap
dari dokter? Aku komplikasi sehingga butuh internis yang memastikan? Entahlah. Itu
obrolah yang susah dipahami antara aku dan mama. ._. Yah, pertanyaan itu
disampaikan beliau karena memang ada kesamaan disease antara aku dan mama. But,
this disease has too many types. Salah satu ada di mama, salah dua ada di
aku. Berbeda. Dengan symptoms yang berbeda
pula.
“Gak
ma, aku males, lelah. Ha ha ha” ß
ya begitulah balasan yang kukirim. Aku benci kalimat itu. Kalian tahu kenapa?
Jawaban seperti itu bukanlah yang diajarkan agama dan kitab suci. Saat
berbicara atau menulis pesan kepada sesama, maka biasakanlah dengan mengucapkan
salam dan saling menanyakan kabar. Kalimat tersebut juga menyebutkan malas dan
lelah, dua kata yang bermakna negatif dan penuh pesimistis. Bukankah manusia
setidaknya selalu berusaha dan memperbaiki kesalahan dan berharap tidak
mengulanginya. Dalam kata lelah, secara jelas bermakna keluhan. Allah, Tuhanku,
tidak menyukai keluhan hambanya. Kurang apalagi coba yang dikasih Tuhan pada
kita jika kita hanya bisa mengeluh, dan selalu merasa kurang dengan apa yang
dimiliki. Dengan makin banyaknya keluhan di dalam diri individu, maka semakin
jauh pula dirinya dari Tuhan. Jika dia merasa dekat dengan Tuhan, maka individu
akan rajin dan pandai bersyukur. Bersyukur dengan senantiasa belajar mencintai
ciptaan Tuhan. Apapun. Mulai mencintai Tuhan berarti mulai mencintai
ciptaanNya. Mencintai diri sendiri. Bagaimana mungkin individu bisa mengatakan
cinta kepada orang lain—memberikan cinta kepada orang lain—apabila tidak bisa
mencintai diri sendiri, maka akan tercipta kesalahan dalam penerjemahan
mencintai itu sendiri. Mencintai alam. Alam adalah ciptaan Tuhan yang paling
luar biasa, sekaligus ciptaan tuhan yang dijelaskan panjang lebar beserta
dengan asbabun nuzul di dalam kitab suci. Alam memberikan kemudahan bagi
manusia untuk berulah, baik mereka mau menyakiti atau berbaik hati kepada alam,
hanya saja manusia yang menyakiti alam akan mendapatkan kejahatan dari alam—bukan
dalam waktu yang singkat.
Mencintai
apa lagi? Mencintai this disease! This
disease adalah pemberian Tuhan bukan? That's
why I try to be grateful with this disease. Iri dengan mereka yang tidak
bersama this disease? Jangan munafik! Tentu saja, tapi diri ini selalu berusaha
untuk menghindarkan perasaan itu. Buktinya seorang alim dari negeri seberang
ketakutan saat dalam satu tahun tidak mendapatkan sakit. Beliau takut jika
tidak mendapatkan pengampunan. Sakit mengampuni dosa. Tapi bukan berarti saat
sakit bebas melakukan dosa. Omong kosong apa lagi itu? Tuhan tidak pernah
pilih-pilih mana hamba yang diberi sakit mana hamba yang diberi sehat. Mana
tanah yang dilanda hujan dan mana tanah yang dilanda kekeringan. Tuhan itu Sang
Maha Adil.
Dengan
adanya this disease aku belajar
banyak dari nasihat kanan-kiri. Dari mereka yang lebih mengerti tentang
ini-itu. Sejak SMA dulu, pas tahu kalau tablet obat temenku (mama) sama
denganku, mulai ngerasa, well, this wild
world not as cruel as I thought. Temanku (mama) adalah gadis penyemangat
yang selalu ceria, lincah, nobody knows
that she has been with this disease for several years ago. Let’s keep in touch
yah~ _ ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar