8/05/2014

This Disease


What “This Disease” that I mean here? Nothing, just something I want to share (not much) with you, although I’m not sure people will read it, ha ha ha.

This morning, my lovable friend, I called her, mama, sent message to me. She was my classmate at senior hi-school. Lu’luil Maknun (The hidden Pearls). What a beautiful name ever. That sentence wrote inside the Al-quran. Mama tidak main-main dengan nama yang dianugerahkan padanya. Dia gadis yang manut pada orang tua dan begitu hormat. Gadis sholeha yang relijius—not in fanatic area.

Pribadinya menyenangkan. Dan menyebalkan—kalau denganku. Suka membuliku. Apa karena mukaku bully-able? ._.

“Paid, gak kontrol hah?” Kalau kalian yang bukan diriku baca sms ini pasti mikir macam-macam. Kontrol? Kontrol apa? Aku gila? Sehingga harus rutin kontrol? Sampai teman dekatku menanyakannya? Enggak. Aku sekarat? Sehingga butuh rekap dari dokter? Aku komplikasi sehingga butuh internis yang memastikan? Entahlah. Itu obrolah yang susah dipahami antara aku dan mama. ._. Yah, pertanyaan itu disampaikan beliau karena memang ada kesamaan disease antara aku dan mama. But, this disease has too many types. Salah satu ada di mama, salah dua ada di aku. Berbeda. Dengan symptoms yang berbeda pula.

“Gak ma, aku males, lelah. Ha ha ha” ß ya begitulah balasan yang kukirim. Aku benci kalimat itu. Kalian tahu kenapa? Jawaban seperti itu bukanlah yang diajarkan agama dan kitab suci. Saat berbicara atau menulis pesan kepada sesama, maka biasakanlah dengan mengucapkan salam dan saling menanyakan kabar. Kalimat tersebut juga menyebutkan malas dan lelah, dua kata yang bermakna negatif dan penuh pesimistis. Bukankah manusia setidaknya selalu berusaha dan memperbaiki kesalahan dan berharap tidak mengulanginya. Dalam kata lelah, secara jelas bermakna keluhan. Allah, Tuhanku, tidak menyukai keluhan hambanya. Kurang apalagi coba yang dikasih Tuhan pada kita jika kita hanya bisa mengeluh, dan selalu merasa kurang dengan apa yang dimiliki. Dengan makin banyaknya keluhan di dalam diri individu, maka semakin jauh pula dirinya dari Tuhan. Jika dia merasa dekat dengan Tuhan, maka individu akan rajin dan pandai bersyukur. Bersyukur dengan senantiasa belajar mencintai ciptaan Tuhan. Apapun. Mulai mencintai Tuhan berarti mulai mencintai ciptaanNya. Mencintai diri sendiri. Bagaimana mungkin individu bisa mengatakan cinta kepada orang lain—memberikan cinta kepada orang lain—apabila tidak bisa mencintai diri sendiri, maka akan tercipta kesalahan dalam penerjemahan mencintai itu sendiri. Mencintai alam. Alam adalah ciptaan Tuhan yang paling luar biasa, sekaligus ciptaan tuhan yang dijelaskan panjang lebar beserta dengan asbabun nuzul di dalam kitab suci. Alam memberikan kemudahan bagi manusia untuk berulah, baik mereka mau menyakiti atau berbaik hati kepada alam, hanya saja manusia yang menyakiti alam akan mendapatkan kejahatan dari alam—bukan dalam waktu yang singkat.

Mencintai apa lagi? Mencintai this disease! This disease adalah pemberian Tuhan bukan? That's why I try to be grateful with this disease. Iri dengan mereka yang tidak bersama this disease? Jangan munafik! Tentu saja, tapi diri ini selalu berusaha untuk menghindarkan perasaan itu. Buktinya seorang alim dari negeri seberang ketakutan saat dalam satu tahun tidak mendapatkan sakit. Beliau takut jika tidak mendapatkan pengampunan. Sakit mengampuni dosa. Tapi bukan berarti saat sakit bebas melakukan dosa. Omong kosong apa lagi itu? Tuhan tidak pernah pilih-pilih mana hamba yang diberi sakit mana hamba yang diberi sehat. Mana tanah yang dilanda hujan dan mana tanah yang dilanda kekeringan. Tuhan itu Sang Maha Adil.


Dengan adanya this disease aku belajar banyak dari nasihat kanan-kiri. Dari mereka yang lebih mengerti tentang ini-itu. Sejak SMA dulu, pas tahu kalau tablet obat temenku (mama) sama denganku, mulai ngerasa, well, this wild world not as cruel as I thought. Temanku (mama) adalah gadis penyemangat yang selalu ceria, lincah, nobody knows that she has been with this disease for several years ago. Let’s keep in touch yah~ _ ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar