Musim dingin membuatku terlalu malas
bahkan hanya untuk keluar dari selimut tebal dan menyiapkan sarapan untukmu
yang selalu datang di minggu pagi, ke apartemenku, dan kita akan menikmati
sarapan bersama. Hanya setiap minggu pagi.
Dengan sisa-sisa kemalasan kulangkangkahkan
kaki mungilku ke dapur. Kunyalakan kompor dan membuat bubur keju kesukaanmu.
Kemudian menuangkannya kedalam dua mangkok—untuk aku dan kamu—dan menaburkan
potongan daun parsley keatasnya, tak lupa menambah telur setengah matang dan
ayam kecap sangrai.
Klik
… klik
Itu tandanya kamu sudah masuk kedalam
apartemenku. Aku mendengarmu melepas sepatu kulit warna hitammu kemudian
mengganti dengan slipper spon yang
ada di balik pintu. Melangkah dengan pasti, terdengar semakin dekat.
“Hai,” Aku menghambur ke pelukanmu dan
kamu membalasnya dengan menebar senyum ke segala penjuru ruangan. Kamu yang
begitu tinggi tak membuatku enggan untuk berjinjit dan menciummu.
Setelah puas memeluk setelah satu
minggu tidak bertemu. Aku menjelajah sekilas sosok di depanku—kamu. Yang
memakai t-shirt lengan pendek warna
biru tua. Dipadu dengan celana cargo yang cocok di kaki jenjang milikmu. Aku
menyukai semua yang ada pada pada dirimu. Aku selalu menyukainya. Aku
menyukaimu.
“Bagaimana pekerjaanmu?” Itu adalah kalimat
yang biasa kamu tanyakan setiap minggu pagi. Aku mau kita tidak akan saling
menanyakan hal itu untuk waktu yang lama, karena kita akan hidup bersama.
Saling tahu. Karena kita melewati sepanjang minggu—setiap hari—bersama. Suaramu
terdengar sedikit berat pagi ini. Mungkin cuaca dingin membuat pita suaramu
mengerut.
Aku tidak menoleh kearahmu, kamu tahu
aku sedang mencuci piring. Hanya menjawab dan suaraku bercampur dengan suara
air yang tumpah dari kran ditambah mangkuk dan sendok yang bergesekkan.
“Cukup baik. Aku masih menulis
cerirta-cerita romantis.” Aku tak mendengar kalimatmu lagi. Terkejut saat
beberapa detik kemudian kamu sudah memelukku dari belakang. Bersandar di
pundakku. Menemaniku mencuci.
“Happy
ending?” Bibirmu terlalu dekat dengan telingaku membuatku tersenyum geli
saat kamu membisikkan kalimat ‘happy ending’. Aku mengangguk.
Cara-cara sederhana seperti itu yang
kamu lakukan padaku setiap minggu pagi, rutinitas yang tidak pernah membuatku
bosan. Kuharap kamu juga begitu.
Tapi…
Malam tak mengijinkanku menangisimu….
Aku tak menyalahkan siapapun disini.
Aku hanya ingin melupakanmu. Melupakan caramu memandangku. Memelukku.
Menciumku. Aku ingin melupakan semua itu…
Kamu pergi membawa segalaku untukmu—bersamamu.
Lalu apa yang tersisa disini? Hanya kenangan? Aku bisa apa? Sisa sentuhanmu
membuatku merindumu. Bayang-bayang senyumanmu membuatku mendambamu. Kerjapan kerlinganmu
membuatku selalu mengharapkan kedatanganmu. Kembali ke pelukanku.
Ajarkan aku bagaimana melupakanmu. Aku
tidak sanggup. Terlalu melelahkan. Aku lelah berusaha selalu menolak
kehadiranmu dalam benakku. Karena dirimu masih bersamaku setiap saat, meski
kenyataan hanya aroma parfum yang tertinggal. Hanya sisa keringatmu yang
memabukkan disini.
Mengapa begitu cepat? Kurasa aku
terlalu cepat jatuh pada jebakan percintaanmu. Antara aku dan kamu. Kurasa aku
terlalu banyak menyimpan sayang, rindu, suka-cita, didalam dirimu. Hal itu
membuatku kesulitan untuk melampiaskan kini. Jadi kurasa, melupakanmu adalah
cara yang lebih baik daripada tenggelam dalam masa lalu bersamamu sementara
kita tidak (lagi) bersama.
Aku hanya penasaran. Sejak kapan kamu
bersamanya? Bersama dengan dia yang membuatmu meninggalkanku. Mengapa aku tidak
tahu? Mengapa kamu tidak memberitahuku? Kamu takut aku marah? Omong kosong.
Bagaimana aku akan marah? Kamu bersama dengan penyakit mematikan itu dan hanya
diam dan hanya berbahagia denganku, mengapa? Aku tak habis pikir dengan cara
berpikirmu.
Aku menangis terlalu banyak pagi tadi, saat kepergianmu. Saat
bibirmu tak lagi tersenyum padaku. Saat matamu tidak lagi menatapku. Saat
tubuhmu tidak lagi ingin memelukku. Saat tak lagi kudengar suara beratmu yang
selalu kurindukan. Saat tubuh tinggimu tidak lagi membuatku berjinjit untuk
menciummu. Saat aku satu-satunya yang ingin melakukannya. Aku menyentuh
wajahmu. Dingin di pembaringan. Pucat. Kurus tak terrelakan. Selamat jalan.
Selamat jalan, sayang. Kuharap kita
adalah jodoh dari Tuhan. Dan akan dipertemukan dengan keindahan surgawi. Dengan
jalan yang paling mulia. Aku mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar