10/11/2014

KAMU & AKU


Musim dingin membuatku terlalu malas bahkan hanya untuk keluar dari selimut tebal dan menyiapkan sarapan untukmu yang selalu datang di minggu pagi, ke apartemenku, dan kita akan menikmati sarapan bersama. Hanya setiap minggu pagi.

Dengan sisa-sisa kemalasan kulangkangkahkan kaki mungilku ke dapur. Kunyalakan kompor dan membuat bubur keju kesukaanmu. Kemudian menuangkannya kedalam dua mangkok—untuk aku dan kamu—dan menaburkan potongan daun parsley keatasnya, tak lupa menambah telur setengah matang dan ayam kecap sangrai.

Klik … klik

Itu tandanya kamu sudah masuk kedalam apartemenku. Aku mendengarmu melepas sepatu kulit warna hitammu kemudian mengganti dengan slipper spon yang ada di balik pintu. Melangkah dengan pasti, terdengar semakin dekat.

“Hai,” Aku menghambur ke pelukanmu dan kamu membalasnya dengan menebar senyum ke segala penjuru ruangan. Kamu yang begitu tinggi tak membuatku enggan untuk berjinjit dan menciummu.

Setelah puas memeluk setelah satu minggu tidak bertemu. Aku menjelajah sekilas sosok di depanku—kamu. Yang memakai t-shirt lengan pendek warna biru tua. Dipadu dengan celana cargo yang cocok di kaki jenjang milikmu. Aku menyukai semua yang ada pada pada dirimu. Aku selalu menyukainya. Aku menyukaimu.

“Bagaimana pekerjaanmu?” Itu adalah kalimat yang biasa kamu tanyakan setiap minggu pagi. Aku mau kita tidak akan saling menanyakan hal itu untuk waktu yang lama, karena kita akan hidup bersama. Saling tahu. Karena kita melewati sepanjang minggu—setiap hari—bersama. Suaramu terdengar sedikit berat pagi ini. Mungkin cuaca dingin membuat pita suaramu mengerut.

Aku tidak menoleh kearahmu, kamu tahu aku sedang mencuci piring. Hanya menjawab dan suaraku bercampur dengan suara air yang tumpah dari kran ditambah mangkuk dan sendok yang bergesekkan.

“Cukup baik. Aku masih menulis cerirta-cerita romantis.” Aku tak mendengar kalimatmu lagi. Terkejut saat beberapa detik kemudian kamu sudah memelukku dari belakang. Bersandar di pundakku. Menemaniku mencuci.

Happy ending?” Bibirmu terlalu dekat dengan telingaku membuatku tersenyum geli saat kamu membisikkan kalimat ‘happy ending’. Aku mengangguk.

Cara-cara sederhana seperti itu yang kamu lakukan padaku setiap minggu pagi, rutinitas yang tidak pernah membuatku bosan. Kuharap kamu juga begitu.

Tapi…

Malam tak mengijinkanku menangisimu….

Aku tak menyalahkan siapapun disini. Aku hanya ingin melupakanmu. Melupakan caramu memandangku. Memelukku. Menciumku. Aku ingin melupakan semua itu…
Kamu pergi membawa segalaku untukmu—bersamamu. Lalu apa yang tersisa disini? Hanya kenangan? Aku bisa apa? Sisa sentuhanmu membuatku merindumu. Bayang-bayang senyumanmu membuatku mendambamu. Kerjapan kerlinganmu membuatku selalu mengharapkan kedatanganmu. Kembali ke pelukanku.

Ajarkan aku bagaimana melupakanmu. Aku tidak sanggup. Terlalu melelahkan. Aku lelah berusaha selalu menolak kehadiranmu dalam benakku. Karena dirimu masih bersamaku setiap saat, meski kenyataan hanya aroma parfum yang tertinggal. Hanya sisa keringatmu yang memabukkan disini.

Mengapa begitu cepat? Kurasa aku terlalu cepat jatuh pada jebakan percintaanmu. Antara aku dan kamu. Kurasa aku terlalu banyak menyimpan sayang, rindu, suka-cita, didalam dirimu. Hal itu membuatku kesulitan untuk melampiaskan kini. Jadi kurasa, melupakanmu adalah cara yang lebih baik daripada tenggelam dalam masa lalu bersamamu sementara kita tidak (lagi) bersama.

Aku hanya penasaran. Sejak kapan kamu bersamanya? Bersama dengan dia yang membuatmu meninggalkanku. Mengapa aku tidak tahu? Mengapa kamu tidak memberitahuku? Kamu takut aku marah? Omong kosong. Bagaimana aku akan marah? Kamu bersama dengan penyakit mematikan itu dan hanya diam dan hanya berbahagia denganku, mengapa? Aku tak habis pikir dengan cara berpikirmu.

Aku menangis terlalu banyak pagi tadi, saat kepergianmu. Saat bibirmu tak lagi tersenyum padaku. Saat matamu tidak lagi menatapku. Saat tubuhmu tidak lagi ingin memelukku. Saat tak lagi kudengar suara beratmu yang selalu kurindukan. Saat tubuh tinggimu tidak lagi membuatku berjinjit untuk menciummu. Saat aku satu-satunya yang ingin melakukannya. Aku menyentuh wajahmu. Dingin di pembaringan. Pucat. Kurus tak terrelakan. Selamat jalan.

Selamat jalan, sayang. Kuharap kita adalah jodoh dari Tuhan. Dan akan dipertemukan dengan keindahan surgawi. Dengan jalan yang paling mulia. Aku mencintaimu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar