Sebagian
memuja senja yang malu-malu. Sebagian menyayangkan datangnya senja yang
uring-uringngan. Tak jelas. Sebagian tertawa sebagian menangis. Sebagian
tersenyum sebagian pilu.
Ah,
padahal saat senja datang, maka keputusan harus cepat diambil. Apakah diam
untuk tak melanjutkan ataukah mengikuti arus yang tidak memberi kenyamanan.
Senja
adalah persimpangan. Persimpangan antara siang dan malam. Persimpangan antara
terang dan gelap.
Senja
adalah pintu. Pilihan ada ditanganmu. Menarik kenop pintu, masuk atau keluar.
Datang atau kembali. Tapi sayang, senja tidak bisa memilih sepertimu. Saat matahari terbenam maka senja tak bisa berbuat apa-apa.
Pintu
mempertemukanku denganmu, sang pembawa aura kebaikan dan semangat. Kamu wahai
teman terbaikku. Tanpa ketukan, pintu terbuka mempertemukan kita, tujuh tahun lalu, anak-anak
manusia yang penasaran dengan kejamnya kehidupan.
Aku
tahu seperti apa perjuanganmu sampai bisa seperti sekarang ini, meski naluri
manusia yang selalu merasa belum cukup baik dan ingin menjadi yang lebih baik,
lagi dan lagi.
Kamu
berjuang dari nol, kamu memulai semuanya dari nol. Kedisiplinan, kepatuhan,
berteman, menyematkan kata keluarga, dan hidup berdampingan. Asrama
mengajarkanmu banyak hal, yang kami (yang tinggal di rumah) tidak dapatkan itu.
Kamu belajar bagaimana berbagi, bagaimana toleransi, bagaimana bersahabat,
bagaimana menyelesaikan masalah bersama, bagaimana memikul berat yang mustahil
dibawa seorang diri. Kamu belajar semua itu lebih baik, aku yakin.
Waktu
berjalan tanpa malu-malu seperti senja. Lewat tanpa rasa dosa, membuat sang
pembuang-buang waktu merasa diburu. Tapi pertemanan kita bukan layaknya
perburuan. Semuanya santun dengan ketukan pintu, dengan permisi, dengan
kesadaran dan saling mengasihi meski tanpa mengungkapkan dan tak terlihat.
Bukan
mereka yang menggedor-gedor pintu tak
sabaran, tak peduli apa yang penting harus dibukakan pintu segera. Mengumpat di
belakang punggung teman sendiri tanpa peduli sayatan di hati yang
diakibatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar