Selamat
Sabtu Pagi, semangat pagi bagi jiwa-jiwa yang selalu diberi keriangan. Semoga
berkah Tuhan selalu menyertaimu. Amin
Aku
selalu suka pergi ke tempat pemberhetian. Tempat berlabuh. Tempat mendarat.
Tempat tujuan. Aku suka Terminal, Stasiun, Pelabuhan (meski hanya dua kali di
pelabuhan), Bandara, TPA sekaligus. Kalian tahu kenapa? Karena disana lah
jiwa-jiwa merindu akan dipertemukan. Perasaan campur aduk akan tersampaikan.
Rasa penasaran akan terjawab. Jiwa-jiwa yang bersama akan terpisahkan. Ada yang
meninggalkan dan ditinggalkan. Ada yang sengaja dibuang di tempat pembuangan.
Tak diinginkan. Di tempat itulah semua perasaan ada.
Aku
menjumpai berbagai macam raut wajah di tempat-tempat tersebut. Karena seorang
bijak jauh disana menyebutkan jika, belajar tidak hanya di bangku sekolah, tapi
semua tempat yang membuat kamu membuka mulut dan mulai berdiskusi. Perjalanan
disebut sebagai pengalaman yang paling berharga, banyak pelajaran yang akan
diperoleh.
Pagi
ini aku pergi ke Stasiun kota. Aku mau pergi kemana? Tidak ada. Hanya pergi
kesana. Mendengar pengumuman keberangkatan dan kedatangan adalah kenikmatan
yang membuat hatiku berdegup. Juga suara bel Stasiun yang dibunyikan tanya
Kereta akan segera berangkat. Suara bel Kereta yang mampu membuat bulu kuduk
berdiri terkaget-kaget. Lantang dan penuh keyakinan. Duduk di bangku kayu
panjang berwarna cokelat tua. Dingin terkena AC yang semalaman tidak dimatikan
bahkan tidak dinaikkan suhunya, 21 derajat. Dengan kopi dan roti hangat yang dibeli di kedai penganan disamping loket
pembelian tiket. Menampilkan wajah bodoh yang sok penting gak punya tujuan.
Siapa bilang? Tujuan kedatanganku untuk menenangkan jiwaku yang tegang. Kepala
yang panas. Ampuh. Silahkan dicoba.
Belum
habis kopi di gelas kertas yang sedang kupegang. Seorang wanita 40 tahunan—dari
keriput di wajah dan dandanan sederhananya—duduk tepat disamping kiriku. Dengan
tas kecil yang dikalungkan di pundak. Memakai kacamata a la Clark Kent dan wajah yang cantik bersih mirip wanita Arab
dengan jilbab bunga-bunga. Berasa wajahku kotor pakai banget. Sesaat wanita itu
menghela nafas panjang dengan suara hembusan yang besar. Aku tak sengaja
menoleh karena terkejut. Wanita itu tersenyum.
“Mau kemana
nak?” Aku membalasnya dengan tersenyum dan menggeleng. Segera menelan kunyahan
rotiku dan menjawab pertanyaannya. Aku bahagia tidak dipanggil ‘buk’ dengan
wajah boros dan badan lebih mirip timbunan puluhan kilo lemak yang memakai
batik coklat dan rok panjang dengan slippers
10 ribuan.
“Hanya
melihat kereta. Ibu mau kemana?”
“Mau ke
Jogja. . . .yah menghibur diri sendiri.”
‘gilak
nih ibuk-ibuk gaul abis, mana liburannya mbolang gini’ Dalam hati iri gitu sama
ibu-ibu yang kece badai gini. Aku yang masih abege (16 tahun) ini aja hanya
ngendon gak jelas di Stasiun. Ya mungkin Ibu itu—sebut saja namanya Bu Deni—sedang
menikmati hidup yang memang hanya sekali ini.
“Sendirian
aja bu?” Bu Deni mengangguk singkat. Dan terlihat wajahnya sendu.
“Saya
tahu kereta saya bakal datang jam 1 tapi sengaja pergi jam 10 biar gak
lama-lama di rumah.” Aku mulai merasa Bu Deni memiliki masalah (besar) di
rumah. Semacam perjalanannya kali ini adalah untuk melarikan diri. Bukankah
masalah harusnya dihadapi dan diselesaikan, tidak lari darinya? Mungkin ada
banyak pertimbangan yang telah didiskusikan dengan keluarga.
“Ibu
yang kuat ya. Mungkin balik dari Jogja jadi lebih fresh abis makan gudeg.” Ha
ha ha, Bu Deni tertawa meski sedikit ditahan. Ada kesakitan luar biasa di dalam
sana yang tidak bisa dikatakan. Aku merasa tidak enak dan kembali makan roti
dan menegak kopi samapi habis. Baru sadar roti masih separo, gak kebayang nanti
kalau keselek minum apa? Oke ada air toilet. Lanjut.
“Saya
punya anak 3. Yang pertama usianya se-kamu. Tapi dia tidak bisa makan senikmat
kamu, mengunyah roti dan meminum kopi sebebas kamu.” Jleb. Apa ada yang salah
dengan cara makanku? Ah aku mengutuk cara makanku yang mirip babi kelaparan.
“Saya
suka kamu makan. Jadi ikut kenyang.” Huh? Telingaku masih sehat kan? Oke aku
dipuji. Karena cara makanku yang mirip babi kelaparan.
“Anak
saya menderita osidi”
“Apa
itu osidi?”
“Obsessive
Compulsive Disorder” Ahhh aku baru sadar maksud Bu Deni adalah OCD. Aku
kebayang bagaimana ribet dan susahnya hidup Bu Deni harus menyesuaikan anak
pertamanya yang akan berperilaku sedikit tidak umum. Akan mengurutkan makanan
di meja makan sesuai warna dan ukurannya. Ah itu tidak nikmat. Meski diketahui
sang penderita akan merasa puas dengan melakukan hal tersebut.
“Ah
kalau begitu Ibu sudah sangat kuat selama ini.” Bu Deni mengangguk.
“Dia
juga punya sakit lain yang mengharuskannya EKG tiap dua bulan sekali.” Aku
hanya menoleh bingung. Tidak tahu lagi harus berkomentar seperti apa lagi. EKG
(elektrokardiogram) adalah kasus serius dalam dunia medis. Bahkan aku yang
pandai omong kosong sudah kehabisan kalimat basa-basi. Huft
“Anak
saya yang kedua punya anemia. Anak ketiga saya daya imunnya sangat lemah. Anak
usia 10 tahun yang bisa mimisan kapan saja dimana saja. Ibu mana yang tega
melihat anak-anaknya selalu kesakitan?” Bu Deni terlihat meneteskan air mata
dan kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku
terkejut-kejut bingung harus bereaksi seperti apa. Akhirnya aku memutuskan
untuk membelikannya air putih. Barangkali bisa (sedikit) menenangkan.
“Ini
buat Bu Deni. Minumlah.” Tanpa diminta aku mengelus punggungnya yang masih
sesenggukkan.
Aku
sekarang mengerti. Sekuat apapun seorang ibu, paling tidak bisa melihat anaknya
kesakitan. Kuat. Menahan air mata di hadapan ketiga anaknya yang well seperti drama saja. Tapi memang
kenyataannya seperti itu. Bahkan aku yang baru saja ditemuinya, tak sungkan
menceritakan kisah hidupnya. Kekuatan ada batasnya. Menumpahkan semuanya bahkan
pada orang yang dikenalnya—aku. Menangis sejadinya. Dia butuh pegangan. Dia
tidak mungkin mengadu pada suaminya. Suaminya tentu saja merasakan hal yang
sama. Mengadu pada Tuhan. Ya, tentu saja. Jangan bercanda. Tanpa lelah meminta
kesembuhan. Butuh tempat bersandar. Mungkin dengan pelariannya beberapa jam di
Jogja akan membuatnya sedikit tenang. Lari dari kenyataan.
Seperti
lewat jembatan berdarah. Jika tidak melewatinya maka tidak akan sampai. Terjun
ke dalam bahaya, menyerahkan diri pun dilakukan jika memang itu satu-satunya
jalan. Seperti itu kasih cinta seorang ibu. Kekuatannya tidak bisa dibandingkan
lagi. Selalu bangun lebih awal. Membuatkan sarapan (dengan klasifikasi OCD yang
diderita anak pertamanya). Membersihkan pecahan piring yang sengaja dibuang
karena tidak sesuai dengan warna di meja makan. Mengantarkan ke rumah sakit.
Menahan mual karena aroma obat-obatan yang menusuk indera. Membersihkan
darah-darah bekas mimisan. Itu bukanlah hal yang mudah. Kurang kuat apalagi?
Jika beban di hati terus-menerus hanya dipendam sendiri. Lama-lama botol arak
yang tartutup rapat akan meledak. Air akan tumpah dari bak mandi yang penuh.
Selalu
mengatakan tidak cemas tiap kali mengantarkan check up. Bagaimana mungkin meminta pejuang untuk tidak cemas saat
akan berangkat perang?
Aku
tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini banyak orang-orang asing yang tanpa
diduga menumpahkan isi hatinya padaku? Apa wajahku seperti kantong besar tempat
keluh kesah? Apa wajahku lebih mirip tempat berlabuh? Tapi ada satu yang harus
kalian tahu. Ahli omong kosong sepertiku justru bisa jadi boomerang. I’m feeling it.
I was. And I will. Terimakasih sudah mempercayaiku sebagai penampung
cerita dan pendengar teriakan hati kalian.
Salam
omong kosong.
Diterima deh <3 nya :3
BalasHapus