12/27/2014

.

Kekuatan


Selamat Sabtu Pagi, semangat pagi bagi jiwa-jiwa yang selalu diberi keriangan. Semoga berkah Tuhan selalu menyertaimu. Amin

Aku selalu suka pergi ke tempat pemberhetian. Tempat berlabuh. Tempat mendarat. Tempat tujuan. Aku suka Terminal, Stasiun, Pelabuhan (meski hanya dua kali di pelabuhan), Bandara, TPA sekaligus. Kalian tahu kenapa? Karena disana lah jiwa-jiwa merindu akan dipertemukan. Perasaan campur aduk akan tersampaikan. Rasa penasaran akan terjawab. Jiwa-jiwa yang bersama akan terpisahkan. Ada yang meninggalkan dan ditinggalkan. Ada yang sengaja dibuang di tempat pembuangan. Tak diinginkan. Di tempat itulah semua perasaan ada.

Aku menjumpai berbagai macam raut wajah di tempat-tempat tersebut. Karena seorang bijak jauh disana menyebutkan jika, belajar tidak hanya di bangku sekolah, tapi semua tempat yang membuat kamu membuka mulut dan mulai berdiskusi. Perjalanan disebut sebagai pengalaman yang paling berharga, banyak pelajaran yang akan diperoleh.

Pagi ini aku pergi ke Stasiun kota. Aku mau pergi kemana? Tidak ada. Hanya pergi kesana. Mendengar pengumuman keberangkatan dan kedatangan adalah kenikmatan yang membuat hatiku berdegup. Juga suara bel Stasiun yang dibunyikan tanya Kereta akan segera berangkat. Suara bel Kereta yang mampu membuat bulu kuduk berdiri terkaget-kaget. Lantang dan penuh keyakinan. Duduk di bangku kayu panjang berwarna cokelat tua. Dingin terkena AC yang semalaman tidak dimatikan bahkan tidak dinaikkan suhunya, 21 derajat. Dengan kopi dan roti hangat  yang dibeli di kedai penganan disamping loket pembelian tiket. Menampilkan wajah bodoh yang sok penting gak punya tujuan. Siapa bilang? Tujuan kedatanganku untuk menenangkan jiwaku yang tegang. Kepala yang panas. Ampuh. Silahkan dicoba.

Belum habis kopi di gelas kertas yang sedang kupegang. Seorang wanita 40 tahunan—dari keriput di wajah dan dandanan sederhananya—duduk tepat disamping kiriku. Dengan tas kecil yang dikalungkan di pundak. Memakai kacamata a la Clark Kent dan wajah yang cantik bersih mirip wanita Arab dengan jilbab bunga-bunga. Berasa wajahku kotor pakai banget. Sesaat wanita itu menghela nafas panjang dengan suara hembusan yang besar. Aku tak sengaja menoleh karena terkejut. Wanita itu tersenyum.

“Mau kemana nak?” Aku membalasnya dengan tersenyum dan menggeleng. Segera menelan kunyahan rotiku dan menjawab pertanyaannya. Aku bahagia tidak dipanggil ‘buk’ dengan wajah boros dan badan lebih mirip timbunan puluhan kilo lemak yang memakai batik coklat dan rok panjang dengan slippers 10 ribuan.

“Hanya melihat kereta. Ibu mau kemana?”

“Mau ke Jogja. . . .yah menghibur diri sendiri.”

‘gilak nih ibuk-ibuk gaul abis, mana liburannya mbolang gini’ Dalam hati iri gitu sama ibu-ibu yang kece badai gini. Aku yang masih abege (16 tahun) ini aja hanya ngendon gak jelas di Stasiun. Ya mungkin Ibu itu—sebut saja namanya Bu Deni—sedang menikmati hidup yang memang hanya sekali ini.

“Sendirian aja bu?” Bu Deni mengangguk singkat. Dan terlihat wajahnya sendu.

“Saya tahu kereta saya bakal datang jam 1 tapi sengaja pergi jam 10 biar gak lama-lama di rumah.” Aku mulai merasa Bu Deni memiliki masalah (besar) di rumah. Semacam perjalanannya kali ini adalah untuk melarikan diri. Bukankah masalah harusnya dihadapi dan diselesaikan, tidak lari darinya? Mungkin ada banyak pertimbangan yang telah didiskusikan dengan keluarga.

“Ibu yang kuat ya. Mungkin balik dari Jogja jadi lebih fresh abis makan gudeg.” Ha ha ha, Bu Deni tertawa meski sedikit ditahan. Ada kesakitan luar biasa di dalam sana yang tidak bisa dikatakan. Aku merasa tidak enak dan kembali makan roti dan menegak kopi samapi habis. Baru sadar roti masih separo, gak kebayang nanti kalau keselek minum apa? Oke ada air toilet. Lanjut.

“Saya punya anak 3. Yang pertama usianya se-kamu. Tapi dia tidak bisa makan senikmat kamu, mengunyah roti dan meminum kopi sebebas kamu.” Jleb. Apa ada yang salah dengan cara makanku? Ah aku mengutuk cara makanku yang mirip babi kelaparan.

“Saya suka kamu makan. Jadi ikut kenyang.” Huh? Telingaku masih sehat kan? Oke aku dipuji. Karena cara makanku yang mirip babi kelaparan.

“Anak saya menderita osidi”

“Apa itu osidi?”

Obsessive Compulsive Disorder” Ahhh aku baru sadar maksud Bu Deni adalah OCD. Aku kebayang bagaimana ribet dan susahnya hidup Bu Deni harus menyesuaikan anak pertamanya yang akan berperilaku sedikit tidak umum. Akan mengurutkan makanan di meja makan sesuai warna dan ukurannya. Ah itu tidak nikmat. Meski diketahui sang penderita akan merasa puas dengan melakukan hal tersebut.

“Ah kalau begitu Ibu sudah sangat kuat selama ini.” Bu Deni mengangguk.

“Dia juga punya sakit lain yang mengharuskannya EKG tiap dua bulan sekali.” Aku hanya menoleh bingung. Tidak tahu lagi harus berkomentar seperti apa lagi. EKG (elektrokardiogram) adalah kasus serius dalam dunia medis. Bahkan aku yang pandai omong kosong sudah kehabisan kalimat basa-basi. Huft

“Anak saya yang kedua punya anemia. Anak ketiga saya daya imunnya sangat lemah. Anak usia 10 tahun yang bisa mimisan kapan saja dimana saja. Ibu mana yang tega melihat anak-anaknya selalu kesakitan?” Bu Deni terlihat meneteskan air mata dan kemudian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku terkejut-kejut bingung harus bereaksi seperti apa. Akhirnya aku memutuskan untuk membelikannya air putih. Barangkali bisa (sedikit) menenangkan.

“Ini buat Bu Deni. Minumlah.” Tanpa diminta aku mengelus punggungnya yang masih sesenggukkan.

Aku sekarang mengerti. Sekuat apapun seorang ibu, paling tidak bisa melihat anaknya kesakitan. Kuat. Menahan air mata di hadapan ketiga anaknya yang well seperti drama saja. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Bahkan aku yang baru saja ditemuinya, tak sungkan menceritakan kisah hidupnya. Kekuatan ada batasnya. Menumpahkan semuanya bahkan pada orang yang dikenalnya—aku. Menangis sejadinya. Dia butuh pegangan. Dia tidak mungkin mengadu pada suaminya. Suaminya tentu saja merasakan hal yang sama. Mengadu pada Tuhan. Ya, tentu saja. Jangan bercanda. Tanpa lelah meminta kesembuhan. Butuh tempat bersandar. Mungkin dengan pelariannya beberapa jam di Jogja akan membuatnya sedikit tenang. Lari dari kenyataan.

Seperti lewat jembatan berdarah. Jika tidak melewatinya maka tidak akan sampai. Terjun ke dalam bahaya, menyerahkan diri pun dilakukan jika memang itu satu-satunya jalan. Seperti itu kasih cinta seorang ibu. Kekuatannya tidak bisa dibandingkan lagi. Selalu bangun lebih awal. Membuatkan sarapan (dengan klasifikasi OCD yang diderita anak pertamanya). Membersihkan pecahan piring yang sengaja dibuang karena tidak sesuai dengan warna di meja makan. Mengantarkan ke rumah sakit. Menahan mual karena aroma obat-obatan yang menusuk indera. Membersihkan darah-darah bekas mimisan. Itu bukanlah hal yang mudah. Kurang kuat apalagi? Jika beban di hati terus-menerus hanya dipendam sendiri. Lama-lama botol arak yang tartutup rapat akan meledak. Air akan tumpah dari bak mandi yang penuh.

Selalu mengatakan tidak cemas tiap kali mengantarkan check up. Bagaimana mungkin meminta pejuang untuk tidak cemas saat akan berangkat perang?

Aku tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini banyak orang-orang asing yang tanpa diduga menumpahkan isi hatinya padaku? Apa wajahku seperti kantong besar tempat keluh kesah? Apa wajahku lebih mirip tempat berlabuh? Tapi ada satu yang harus kalian tahu. Ahli omong kosong sepertiku justru bisa jadi boomerang. I’m feeling it. I was. And I will. Terimakasih sudah mempercayaiku sebagai penampung cerita dan pendengar teriakan hati kalian.


Salam omong kosong.

1 komentar: