Left
“You
don’t choose your family. They are God’s gift to you, as you are them”
Thanks to You, the
guardian Desmond Tutu. This quote filled up my whole days recently. You
want to be a doctor, but your dad was wanted you to follow his footsteps to
teaching. God’s blessing is parents bless. Thanks Tutu’s Family.
Family means no one
gets left behind or forgotten. When someone who you think as a part of your
family, and they left you so far behind, means they don’t think the same. Poor
You. But still, you could free to feel they are your family. Ah, blood
relation? Not always keep it up whit blood.
Sama halnya seperti
yang dialami Tutu pada masa mudanya di Johannesberg. Dimana Tutu mendapatkan
perlakuan yang berbeda karena warna kulitnya. Tapi berkat jasa seorang kepala
sekolah dasar disana—Ayahnya. Tutu menjalani hidup terjalnya dengan bimbingan
tangan Tuhan.
“Kak, dik Narsih mau
cerita.” Dia mulai mengangkat kepalanya, setelah 15 menit 72 detik menundukkan
kepala di kursi sebelahku. Aku mengangguk menjawab kalimatnya.
“Dik Narsih anak
Tunggal. Dik Narsih bahagia akhirnya punya kakak yang pintar dan baik padaku.” Aku
mulai mengeryitkan alis tak mengerti. Baru saja dia mengatakan dirinya anak
tunggal. Bagaimana caranya dia kembali masuk ke rahim ibunya, dan ibunya
melahirkan kakak untuknya, kemudian dia lahir setelahnya. Otakku mulai mengenyal.
Dik Narsih menanggapi kebingunganku dengan senyum manis penuh olesan empedu,
pahit.
“Iya. Dik Narsih
bertemu seorang kakak laki-laki baik hati yang tidak keberatan kupanggil
demikian. Dua tahun lalu. Aku banyak bertanya. Memang menyebalkan. Aku banyak
meminta pendapatnya. Karena sudah kuanggap seperti kakak sendiri.” Aku ikut
tenang melihat gaya berceritanya yang diselingi dengan senyum yang menampakkan
deretan gigi cantiknya.
“Tapi. . .” Dia
menghentikan ceritanya di kata pertama ‘Tapi’. Aku semakin bingung karena dia
berhenti cukup lama. Hampir 3 menit. “Tapi sekarang tidak lagi. Tidak lagi
banyak bertanya. Tidak lagi meminta pendapatnya. Tidak lagi merecokinya. Aku
tidak punya kakak (lagi)”. Aku menyeret kursiku mendekat padanya. Mengelus
punggungnya. Menenangkan. Karena wajahnya seketika menjadi sendu dan
menyedihkan.
“Dik Narsih salah
apa? Kenapa dik Narsih tidak diberi tahu kesalahan dik Narsih oleh kakak itu?
Kenapa tiba-tiba menjauh? Memperlakukan dik Narsih dengan berbeda? Dik Narsih diabaikan. Saat dik Narsih menyapa dan temannya menyapa, maka dia akan memilih menyapa temannya daripada dik Narsih”. I was there like I’m with my pet. Just pat her for a few minutes.
Dia mulai
melanjutkan ceritanya. Aku kembali menjadi pendengar. Oh ya, aku perlu memberi
tahu hal yang baik kepada kalian. Aku pendengar yang baik. Kata beberapa teman
yang pernah bercerita padaku. Mereka mengatakan aku akan menceritakan kembali
cerita mereka disini dengan ribuan sayang dariku. Bagaimana perasaan mereka
jika aku berbohong pada tulisan-tulisan disini?
Oke kembali pada
cerita dik Narsih.
“Mereka (teman) yang
tidak menerimaku apa adanya, satu per satu akan menjauh dan lenyap dari
lingkaran hidupku. Dik Narsih sudah tidak bisa menahannya lagi. Dik tidak mengundang
mereka, mereka datang sendiri. Dik berterimakasih kepada mereka yang sampai
sekarang berada dalam lingkaran hidupku dan memberi semangat kebahagiaan. Tapi
tetap saja dik tidak terima mengapa dik tak dianggap oleh kakak itu? Apa karena dik bukan gadis pintar yang bisa memahami kalimat-kalimat tersiratnya? Dik
Narsih minta maaf sudah buat telinga kakak menguap. He he he” Aku menggelengkan
kepalaku keras-keras. Dia hanya tersenyum. Tersenyum pahit.
Dia memandangku
beberapa detik. Kemudian bangkit dari duduknya. Dan pergi. Menyisakan cerita
yang mengiang di kepalaku. Membuatku teringat perkataan Tutu tentang keluarga.
Family isn’t an important thing, family is everything. I’m thankful to God for
having a family that’s been there for me and cheer me up. It’s worth more than
words could ever describe. That is one of the ways I’ve been able to stay
grounded is thanks to family and God. Even you left behind.
Hingga ratusan malam berikutnya aku menyadari bahwa pintu rumahku tidak pernah terbuka lagi setelah itu. Setelah Dik Narsih bercerita panjang lebar tantang pelafalannya pada istila keluarga. Pintuku tidak lagi terhubung dengan bukan darah yang seenak hati mengetuk dan seenak hati meninggalkan seperti Dik Narsih yang meninggalkanku sendiri di ruang tamu dengan cangkir teh panas yang masih penuh tak tersentuh—malam itu.
Ditinggalkan terkadang membuat seseorang akan merangkak. Perlahan melupakan dengan sisa-sisa luka. Kesalahpahaman hadir di setiap kalimat-kalimat yang tersirat. Harusnya Dik Narsih belajar dari itu. Semoga Dik Narsih membaca ini. Aku masih menjadi pendengar yang baik. Dan terimakasih sudah meninggalkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar