1/01/2015

Tanya Sang Benang Sari

Perempuan dewasa (kamu) yang tengah duduk di beranda rumahnya disertai wangi linden yang sedang mengulum senyum itu selalu menarik perhatianku. Selalu sendiri. Tidak mencari tawaran. Tidak menerima tawaran. Selalu tenang dengan kesendirianmu. Entah takut atau hanya enggan dan tak tertarik. Aku tak tahu betul.

Aku ingat sekali hari-hari awal pertemuan kita, kamu yang selalu membawa aroma riang dan kebahagiaan—saat itu usiamu masih belasan akhir—membuat kesenangan tersendiri setiap bertemu, tidak ada kesan lain. Beberapa kali pertemuan semuanya sama. Kamu perempuan muda yang kuat dan penuh semangat, tak tahu bagaimana hatimu. Kamu tak canggung berbicara dengan lawan jenis. Rasanya biasa saja sampai membuatku selalu lupa waktu tiap bertemu. Makin hari makin ingin bertemu. Seminggu saja tidak bertemu rasanya bagai peluh yang terus mengalir, minta diusap. Aku mulai menyadari bahwa aku menyukaimu. Aku tak tahu apa yang membuatku menyukaimu. Banyak perempuan seusiaku di sekeliling pergerakan ragawi ini yang punya kelebihan menakjubkan, tapi kamu, yang menarik perhatianku. Perempuan muda yang jauh disana, apa adanya.

Tak tahu sejak kapan! Aku mulai mencari-cari alasan untuk bertemu. Karena aku tahu kamu sendiri, dan selalu sendiri, aku yakin kamu akan menyanggupi untuk bertemu. Ya, kamu datang. Dengan berani melangkah, menyapaku, dengan senyum merekah, sendiri. Dengan gaya frankly yang jarang dimiliki perempuan muda di usiamu—aku suka caramu berpakaian, aku suka cara kamu memakai kain penutup kepalamu. Aku sungguh tertarik. Tiap kali aku memberi komentar, hanya dengusan yang kamu berikan. Saat aku memuji kamu menganggap itu bukan pujian. Aku mulai meragukan zona antara kita. Aku mencemaskan adanya perbedaan zona antara kita. Apakah kamu tidak meragukan zona antara kita? Bukankah perempuan selalu menginginkan kepastian. Tidak hanya perempuan. Laki-laki sepertiku juga mencari kepastian. Apakah kamu bukan perempuan kebanyakan?

Kamu begitu baik, selalu memberi perhatian kepada orang lain. Sampai aku salah mengartikan kebaikanmu. Yang hanya formalitas hidup. Karena kamu ingin selalu sendiri. Aku ingin tahu alasan dari alasanmu itu. Alasan dari keinginanmu untuk selalu sendiri. Akhirnya aku mencoba memastikannya malam itu, benarkah zona kita berbeda? Dan benarkah aku satu-satunya yang salah paham? Tapi kamu selalu mencari topik lain saat aku mencari kepastian tentang kita. Kamu selalu berpura-pura tak mengerti dengan apa yang aku katakana padamu. Kamu itu perempuan muda yang seperti apa? Aku ingin tahu. Atau kamu lugu sungguhan? Aku tak tahu betul. Kamu cukup cerdas untuk lari.

Pagi itu aku bergegas dengan mataku yang perih. Semalaman tak bisa tidur karenamu. Aku menyalahkanmu. Hingga aku mencari-cari kesimpulan sendiri. Aku kehilangan konsentrasi. Kamu menghilang. Satu bulan tak ada kabar. Kemana? Apakah kamu menghindariku? Pikirku lancang saat itu. Aku pun berpikir untuk melupakanmu. Berusaha menghapus perasaanku yang masih panas dan mendidih. Atau kamu suka yang hangat-hangat saja? Atau kamu tidak suka didesak? Bunga tasbih tak akan mekar tanpa putik dan benang sari. Benang Sari bukanlah apa-apa tanpa putik. Benang Sari Januari yang kesepian. Bunga Tasbih yang kasihan. Benarkah kamu tak mengijinkan kupu-kupu untuk menyatukan kita? 

Tapi hari ini, aku melihatmu (lagi) setelah sekian lama. Satu windu terlewati dengan dalih ingin melupakanmu. Tapi apa? Aku justru makin tertarik kepadamu. Apakah kamu masih sendiri? Apakah jika aku menyapamu kamu akan balik menyapaku atau justru kamu berlari meninggalkanku mengingat pernyataanku delapan tahun lalu saat meminta kejelasan dan aku tahu saat itu kamu hanya berpura-pura lugu? Aku masih disini. Berdegup melihatmu tersenyum pada senja yang akan segera berakhir. Astaga aku lupa. Apakah kamu masih ingin sendiri? Atau jangan-jangan kamu sudah memiliki pelengkap putik? Dan kamu bangkit dari dudukmu. Meninggalkan beranda dan menutup pintumu. Menyalakan lampu kamar. Dan menutup jendela dengan tirai abu-abu itu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar