Saat
kepastian harus ditunggu, maka perempuanlah yang paling antusias. Antusias
untuk menunggu. Perempuan tak keberatan. Meski terkadang penantian itu melebihi
batas normal. Yang lain sedang mengetuk pintu, justru Perempuan tak kunjung
membukakan, malah menunggu yang tak pasti datangnya.
Wahai
Perempuan, sadarkah tatkalah kau sedang menunggu, Ayahmu adalah satu yang
paling sibuk. Sibuk untuk menyiapkan hati. Sibuk gugup tak kalah denganmu.
Sibuk mengomentari siapa yang sedang kau tunggu. Apakah dia lebih gagah dari
Ayahmu? Yang jelas Ayahmu akan sibuk diam menatapmu, mengamati anak
perempuannya yang sebentar atau lama akan berada dibawah tanggung jawab
laki-laki lain. Kesibukan yang tidak bisa dikalkulasi bebannya. Estafet dari
hari hari kesibukan itu makin berat jika kau, wahai Perempuan, sudah
benar-benar mendapat kepastian. Menjadi yang istimewa. Menjadi yang bukan
pilihan.
Tapi
Perempuan itu sekarang sedang menunggu. Tanpa ada yang ditunggu. Tanpa ada yang
memberinya harapan kepastian. Dia tidak sedang menunggu kepastian. Perempuan
itu masih menunggu. Menunggu dia yang juga menunggunya datang. Kau, Perempuan
yang sedang menunggu, kapan kau datang padanya? Jika kau hanya meyakini dia di
lauful mahfuz.
Hubungan
apa yang sebenarnya diharapkan Perempuan yang sedang menunggu? Jika memang yang
ditunggu ada diatas sana. Yang jelas Perempuan itu sama saja sedang menunggu.
Mengapa Perempuan kerap membicarakan sebuah hubungan? Apakah kata itu
menjanjikan bagi Perempuan? Apa asyiknya membicarakan itu jika ada hal-hal
asyik lainnya yang jarang diperbincangkan. Mungkin rumah yang akan dibangunkan
Allah kepada manusia yang berdosa di neraka sana? Atau piring cantik yang
membawa buah-buahan cantik dan segar di Surga? Masih banyak wahai Perempuan.
Daripada hanya sibuk membicarakan hubungan. Illahinnas? Wahai Perempuan,
jawabannya ada di kamu. Daripada hanya sibuk menunggu.
(NB:
Judul terinspirasi dari Kumpulan Puisi W.S. Rendra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar