Perempuan dewasa (kamu) yang tengah duduk di beranda rumahnya disertai wangi linden yang sedang mengulum senyum itu selalu menarik perhatianku. Selalu sendiri. Tidak mencari
tawaran. Tidak menerima tawaran. Selalu tenang dengan kesendirianmu. Entah takut atau hanya enggan dan tak tertarik. Aku tak tahu betul.
Aku
ingat sekali hari-hari awal pertemuan kita, kamu yang selalu membawa aroma
riang dan kebahagiaan—saat itu usiamu masih belasan akhir—membuat kesenangan
tersendiri setiap bertemu, tidak ada kesan lain. Beberapa kali pertemuan
semuanya sama. Kamu perempuan muda yang kuat dan penuh semangat, tak tahu
bagaimana hatimu. Kamu tak canggung berbicara dengan lawan jenis. Rasanya biasa
saja sampai membuatku selalu lupa waktu tiap bertemu. Makin hari makin ingin
bertemu. Seminggu saja tidak bertemu rasanya bagai peluh yang terus mengalir, minta
diusap. Aku mulai menyadari bahwa aku
menyukaimu. Aku tak tahu apa yang membuatku menyukaimu. Banyak perempuan seusiaku
di sekeliling pergerakan ragawi ini yang punya kelebihan menakjubkan, tapi
kamu, yang menarik perhatianku. Perempuan muda yang jauh disana, apa adanya.
Tak
tahu sejak kapan! Aku mulai mencari-cari alasan untuk bertemu. Karena aku tahu
kamu sendiri, dan selalu sendiri, aku yakin kamu akan menyanggupi untuk
bertemu. Ya, kamu datang. Dengan berani melangkah, menyapaku, dengan senyum
merekah, sendiri. Dengan gaya frankly yang jarang dimiliki perempuan muda di
usiamu—aku suka caramu berpakaian, aku suka cara kamu memakai kain penutup
kepalamu. Aku sungguh tertarik. Tiap kali aku memberi komentar, hanya dengusan
yang kamu berikan. Saat aku memuji kamu menganggap itu bukan pujian. Aku mulai
meragukan zona antara kita. Aku mencemaskan adanya perbedaan zona antara kita. Apakah
kamu tidak meragukan zona antara kita? Bukankah perempuan selalu menginginkan
kepastian. Tidak hanya perempuan. Laki-laki sepertiku juga mencari kepastian.
Apakah kamu bukan perempuan kebanyakan?
Kamu
begitu baik, selalu memberi perhatian kepada orang lain. Sampai aku salah
mengartikan kebaikanmu. Yang hanya formalitas hidup. Karena kamu ingin selalu
sendiri. Aku ingin tahu alasan dari alasanmu itu. Alasan dari keinginanmu untuk
selalu sendiri. Akhirnya aku mencoba memastikannya malam itu, benarkah zona
kita berbeda? Dan benarkah aku satu-satunya yang salah paham? Tapi kamu selalu
mencari topik lain saat aku mencari kepastian tentang kita. Kamu selalu
berpura-pura tak mengerti dengan apa yang aku katakana padamu. Kamu itu
perempuan muda yang seperti apa? Aku ingin tahu. Atau kamu lugu sungguhan? Aku
tak tahu betul. Kamu cukup cerdas untuk lari.
Pagi
itu aku bergegas dengan mataku yang perih. Semalaman tak bisa tidur karenamu.
Aku menyalahkanmu. Hingga aku mencari-cari kesimpulan sendiri. Aku kehilangan
konsentrasi. Kamu menghilang. Satu bulan tak ada kabar. Kemana? Apakah kamu
menghindariku? Pikirku lancang saat itu. Aku pun berpikir untuk melupakanmu.
Berusaha menghapus perasaanku yang masih panas dan mendidih. Atau kamu suka
yang hangat-hangat saja? Atau kamu tidak suka didesak? Bunga tasbih tak akan mekar tanpa putik dan benang
sari. Benang Sari bukanlah apa-apa tanpa putik. Benang Sari Januari yang
kesepian. Bunga Tasbih yang kasihan. Benarkah kamu tak mengijinkan kupu-kupu untuk menyatukan kita?
Tapi
hari ini, aku melihatmu (lagi) setelah sekian lama. Satu windu terlewati dengan
dalih ingin melupakanmu. Tapi apa? Aku justru makin tertarik kepadamu. Apakah
kamu masih sendiri? Apakah jika aku menyapamu kamu akan balik menyapaku atau
justru kamu berlari meninggalkanku mengingat pernyataanku delapan tahun lalu
saat meminta kejelasan dan aku tahu saat itu kamu hanya berpura-pura lugu? Aku
masih disini. Berdegup melihatmu tersenyum pada senja yang akan segera berakhir.
Astaga aku lupa. Apakah kamu masih ingin sendiri? Atau jangan-jangan kamu sudah
memiliki pelengkap putik? Dan kamu bangkit dari dudukmu. Meninggalkan beranda
dan menutup pintumu. Menyalakan lampu kamar. Dan menutup jendela dengan tirai
abu-abu itu.