3/08/2015

Transportasi Pelajaran

Transportasi Pelajaran

Setelah seharian kabur dari Surabaya, rasanya ingin mimpi saja balik ke Surabaya. Tapi tidak, Surabaya bukanlah tempat semengerikan itu. Meski panas menyengat, macet tak berkesudahan. Membuat kuku para pejalan kaki, trotoar yang ew. But that’s the challenge of Surabaya. Enjoy Surabaya. Selain pengendara yang kurang toleran (khususnya pada pejalan kaki), Surabaya juga menawarkan sisi lain kok. Terlebih transportasi umum yang suka seenak djidat berhenti dan mendahului. Ha ha ha, damai deh Surabaya. Kamu udah kasih eike (sedikit) kenyamanan dan sisi lain dari gelapmu.

Transportasi umum. Ya, manusia normal identik dengan alat transportasi. Ya kalau sudah bisa teleportasi gak butuh lagi sama yang namanya alat transportasi. Apa aja? Mulai dari kaki sendiri sampai jet pribadi. Seperti halnya Surabaya. Kurasa manusia di Surabaya normal. Mereka menggunakan alat transportasi. Saya (anak rantau) ikut merasakan sensasi transportasi umum—sebut saja angkot—di Surabaya. Alat transportasi yang cocok bagi kantong jobless macam saya. Jika kalian ingin mendapatkan sisi lain dari Surabaya, buat apa pergi ke mall? cukup gunakan angkutan umum.

Saya suka perjalanan, baik jalan kaki atau naik karpet terbang. Kemarin secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang ibu (yang tak sempat bertanya namanya) bersama dua orang anak laki-lakinya yang menaiki angkot sama. Saya kategori manusia yang gatel mulutnya kalau diam. Saya dengan enteng bertanya ke Ibu tersebut.

“Adek kelas berapa buk?” Tanya saya pada salah satu anaknya si Ibu. Adeknya diam dan memandang saya seolah takjub.

Ibu tersebut menggeleng dan tersenyum. Yang mana berarti anak yang saya tunjuk belum bersekolah.

“Kalau adek?” Saya bertanya anaknya yang lain.

“Kelas lima.” Jawabnya pelan. Ibu tersebut tersenyum.

Karena tinggi kedua anaknya tidak jauh berbeda, kenapa perbedaan tingkat pendidikan mereka jauh? Saya mulai curiga ada yang tidak beres dengan anaknya yang belum bersekolah—dan saya tercengang ketika tahu umurnya sudah delapan. Ternyata benar dugaan saya, anak si Ibu yang namanya Syelwi (laki-laki) dengan wajah tampan dan polos, kulit putih dan bulu mata lentik.

“Anak saya autis. Dia belum bisa sekolah, padahal kalau di rumah bisa ngaji, baca bismillah lengkap. Bisa berhitung. Tapi pas di tes di sekolah ABK, dia diam tidak jawab sepatah kata pun. Hanya menatap wajah si penanya. Tahan tanpa berkedip.” Cerita sang Ibu dengan panjang lebar. Saya terhenyak di kursi penumpang yang berhadap-hadapan dengan beliau. Setelah saya rasa bisa mengatasi hati saya yang mendadak sakit mendengar cerita si Ibu.

“Sudah pernah terapi kan bu, tapi?” Pertanyaan bodoh. Tentu saja sudah. Saya hanya bingung mau melanjutkan perbincangan ini dengan kalimat apa.

“Dulu, saya terapi dia (si anak) di Menur (nama salah satu rumah sakit di Surabaya). Tapi karena keterbatasan biaya dan jarak dari rumah yang jauh saya memutuskan berhenti. Kasian anaknya sebenarnya. Tapi mau gimana lagi? Udah nggak ada bapak, saya kerja di rumah penghasilan cukup pas-pas an, biayai anak yang satunya sekolah. Alhamdulillah masih bisa makan…” Saya mengangguk-angguk menunggu si Ibu melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

“Tiap bulan, 600 ribu, saya dagang gorengan di rumah, disambi jagain Syelwi, udah capek mbak dia lari-larian. Kalau ngajak ngomong gak dijawab dia kadang suka marah. Tapi tiap ketemu orang baru, dia diam. Ya dapat dari mana saya 600 ribu tiap bulan, kalau hutang orang saya gak bisa bayar.”

‘Ya Tuhan, betapa kuatnya ibu ini dengan keistimewaan yang dimiliki anaknya, bekerja keras seorang diri, mengharapkan keajaibanmu. Beri Ibu ini selalu berkahmu.’ teriak saya dalam hati.

Saya mendadak teringat salah satu sindrom dimana orang tersebut akan merasa ciut bertemu dengan orang baru.

“Syelwi ada sindrom asperger gak buk?” Ibu tersebut menggeleng kurang tahu.

“Ya mungkin nanti kalau adik Syelwi sudah siap juga bisa sekolah seperti yang lain.” Ibu itu menggangguk.

“Makasih mbak, ya kan gak ada kata terlambat.” Skakmat. Fix banget nih ibu bikin saya terharu.

“Alhamdulillah, sekarang Syelwi masih rutin terapi pijat di puskesmas dekat rumah. Ya kalau ada rejeki saya terapikan dia. 20 ribu mbak, kadang juga pikir-pikir.” Mendengar penjelasan si Ibu, rasanya saya ingin menguliti diri sendiri, menyobek pakaian yang saya kenakan.

Bagaimana bisa saya menghabiskan uang lebih dari dua puluh ribu hanya untuk makan siang atau hanya untuk naik taksi. Sementara didekat saya begitu banyak mereka yang kekuarangan. Rasanya saya malu sama Allah. Semoga saya diberi pengampunan.

Ya Allah, betapa tegarnya si Ibu, menghidupi dua orang anaknya dan dirinya sendiri dengan hanya mengandalkan dagang gorengan di rumah yang kadang suka tidak habis. Betapa sangat bersyukurnya beliau dengan selalu beribadah dengan senyumnya. Bahkan saat bertemu orang baru macam saya, muka slengekan dan gaya amburadeul. Beliau kemarin mau berangkat ke tempat pengajian. Karena tidak ada yang menjaga anaknya di rumah, beliau mengajak serta kedua anaknya. Saya merasa begitu tidak bersyukurnya dengan kehidupan yang baik kepada saya. Ampunkanlah.

Saya mengambil banyak pelajaran dari setiap perjalanan. Perbincangan dengan orang baru. Saya sedang berusaha menjadi pendengar yang baik. Angkot juga tak kalah hebatnya selalu memberikan kejutannya bagi saya. Terimakasih Surabaya tidak menakuti saya hari itu. Semoga saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya Syelwi—sepertinya rumahnya dekat jalan semarang stasiun pasar turi Surabaya.


Ijinkan saya menangisi kejahatan yang saya lakukan pada diri saya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar