Transportasi
Pelajaran
Setelah
seharian kabur dari Surabaya, rasanya ingin mimpi saja balik ke Surabaya. Tapi
tidak, Surabaya bukanlah tempat semengerikan itu. Meski panas menyengat, macet
tak berkesudahan. Membuat kuku para pejalan kaki, trotoar yang ew. But that’s the challenge of Surabaya. Enjoy
Surabaya. Selain pengendara yang kurang toleran (khususnya pada pejalan
kaki), Surabaya juga menawarkan sisi lain kok. Terlebih transportasi umum yang
suka seenak djidat berhenti dan mendahului. Ha ha ha, damai deh Surabaya. Kamu
udah kasih eike (sedikit) kenyamanan dan sisi lain dari gelapmu.
Transportasi
umum. Ya, manusia normal identik dengan alat transportasi. Ya kalau sudah bisa
teleportasi gak butuh lagi sama yang namanya alat transportasi. Apa aja? Mulai
dari kaki sendiri sampai jet pribadi. Seperti halnya Surabaya. Kurasa manusia
di Surabaya normal. Mereka menggunakan alat transportasi. Saya (anak rantau)
ikut merasakan sensasi transportasi umum—sebut saja angkot—di Surabaya. Alat
transportasi yang cocok bagi kantong jobless
macam saya. Jika kalian ingin mendapatkan sisi lain dari Surabaya, buat apa pergi
ke mall? cukup gunakan angkutan umum.
Saya
suka perjalanan, baik jalan kaki atau naik karpet terbang. Kemarin secara tidak
sengaja saya bertemu dengan seorang ibu (yang tak sempat bertanya namanya)
bersama dua orang anak laki-lakinya yang menaiki angkot sama. Saya kategori
manusia yang gatel mulutnya kalau diam. Saya dengan enteng bertanya ke Ibu tersebut.
“Adek
kelas berapa buk?” Tanya saya pada salah satu anaknya si Ibu. Adeknya diam dan
memandang saya seolah takjub.
Ibu
tersebut menggeleng dan tersenyum. Yang mana berarti anak yang saya tunjuk
belum bersekolah.
“Kalau
adek?” Saya bertanya anaknya yang lain.
“Kelas
lima.” Jawabnya pelan. Ibu tersebut tersenyum.
Karena
tinggi kedua anaknya tidak jauh berbeda, kenapa perbedaan tingkat pendidikan
mereka jauh? Saya mulai curiga ada yang tidak beres dengan anaknya yang belum
bersekolah—dan saya tercengang ketika tahu umurnya sudah delapan. Ternyata
benar dugaan saya, anak si Ibu yang namanya Syelwi (laki-laki) dengan wajah
tampan dan polos, kulit putih dan bulu mata lentik.
“Anak
saya autis. Dia belum bisa sekolah, padahal kalau di rumah bisa ngaji, baca bismillah
lengkap. Bisa berhitung. Tapi pas di tes di sekolah ABK, dia diam tidak jawab
sepatah kata pun. Hanya menatap wajah si penanya. Tahan tanpa berkedip.” Cerita
sang Ibu dengan panjang lebar. Saya terhenyak di kursi penumpang yang
berhadap-hadapan dengan beliau. Setelah saya rasa bisa mengatasi hati saya yang
mendadak sakit mendengar cerita si Ibu.
“Sudah
pernah terapi kan bu, tapi?” Pertanyaan bodoh. Tentu saja sudah. Saya hanya
bingung mau melanjutkan perbincangan ini dengan kalimat apa.
“Dulu,
saya terapi dia (si anak) di Menur (nama salah satu rumah sakit di Surabaya).
Tapi karena keterbatasan biaya dan jarak dari rumah yang jauh saya memutuskan
berhenti. Kasian anaknya sebenarnya. Tapi mau gimana lagi? Udah nggak ada
bapak, saya kerja di rumah penghasilan cukup pas-pas an, biayai anak yang
satunya sekolah. Alhamdulillah masih bisa makan…” Saya mengangguk-angguk
menunggu si Ibu melanjutkan kalimatnya yang menggantung.
“Tiap
bulan, 600 ribu, saya dagang gorengan di rumah, disambi jagain Syelwi, udah
capek mbak dia lari-larian. Kalau ngajak ngomong gak dijawab dia kadang suka marah.
Tapi tiap ketemu orang baru, dia diam. Ya dapat dari mana saya 600 ribu tiap bulan, kalau hutang orang saya gak bisa bayar.”
‘Ya
Tuhan, betapa kuatnya ibu ini dengan keistimewaan yang dimiliki anaknya,
bekerja keras seorang diri, mengharapkan keajaibanmu. Beri Ibu ini selalu berkahmu.’ teriak saya dalam hati.
Saya mendadak teringat salah satu sindrom
dimana orang tersebut akan merasa ciut bertemu dengan orang baru.
“Syelwi
ada sindrom asperger gak buk?” Ibu tersebut menggeleng kurang tahu.
“Ya
mungkin nanti kalau adik Syelwi sudah siap juga bisa sekolah seperti yang lain.”
Ibu itu menggangguk.
“Makasih
mbak, ya kan gak ada kata terlambat.” Skakmat. Fix banget nih ibu bikin saya
terharu.
“Alhamdulillah,
sekarang Syelwi masih rutin terapi pijat di puskesmas dekat rumah. Ya kalau ada
rejeki saya terapikan dia. 20 ribu mbak, kadang juga pikir-pikir.” Mendengar
penjelasan si Ibu, rasanya saya ingin menguliti diri sendiri, menyobek pakaian
yang saya kenakan.
Bagaimana
bisa saya menghabiskan uang lebih dari dua puluh ribu hanya untuk makan siang
atau hanya untuk naik taksi. Sementara didekat saya begitu banyak mereka yang
kekuarangan. Rasanya saya malu sama Allah. Semoga saya diberi pengampunan.
Ya
Allah, betapa tegarnya si Ibu, menghidupi dua orang anaknya dan dirinya sendiri
dengan hanya mengandalkan dagang gorengan di rumah yang kadang suka tidak
habis. Betapa sangat bersyukurnya beliau dengan selalu beribadah dengan
senyumnya. Bahkan saat bertemu orang baru macam saya, muka slengekan dan gaya amburadeul. Beliau kemarin mau berangkat ke
tempat pengajian. Karena tidak ada yang menjaga anaknya di rumah, beliau
mengajak serta kedua anaknya. Saya merasa begitu tidak bersyukurnya dengan
kehidupan yang baik kepada saya. Ampunkanlah.
Saya
mengambil banyak pelajaran dari setiap perjalanan. Perbincangan dengan orang
baru. Saya sedang berusaha menjadi pendengar yang baik. Angkot juga tak kalah
hebatnya selalu memberikan kejutannya bagi saya. Terimakasih Surabaya tidak
menakuti saya hari itu. Semoga saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan
ibunya Syelwi—sepertinya rumahnya dekat jalan semarang stasiun pasar turi Surabaya.
Ijinkan
saya menangisi kejahatan yang saya lakukan pada diri saya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar