Konon
tanggal 21 April adalah gerbang dibukanya peluang bagi para perempuan untuk
mendapatkan hak yang sama besarnya dengan laki-laki. Konon berkat tanggal itu,
emansipasi bagi perempuan diperjuangkan. Konon perbaikan harta dan tahta pada
perempuan juga. Semoga perbaikan pula pada agama dan etikanya.
Terimakasih
pada tokoh emansipasi, R. A. Kartini yang memperjuangkan keberadaan perempuan,
menjunjung keseteraan bagi kaumnya. Diharapkan tidak ada yang namanya gender bias yang selama ini selalu
menekankan poin mana untuk laki-laki dan poin mana khusus untuk perempuan.
Arena ini untuk laki-laki dan arena itu untuk perempuan.
Tapi
apakah sang perempuan yang diperjuangkan haknya, semua sadar? Tidak semua
sadar, jika butuh jawaban. Banyak diantaranya menyuarakan emansipasi wanita
dengan mengumbar slogan “No Boy No Cry”, Hellowwwwwww, apakah hanya laki-laki
yang membuat wanita menangis? Bangun sis. Ini jaman keterbukaan, kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki, bukan jaman radikal dimana perempuan
memperlakukan laki-laki seolah mereka kaum lainnya yang tak dapat disandingkan.
Ingat kalian lahir dari laki-laki. Perempuan adalah sosok indah yang selalu
diperjuangkan. Bukan objek patriarki. Makanya jumlah perempuan berprestasi yang
makin banyak tak menutup jumlah perempuan yang kian
terpuruk—pula.
Bagai
pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin bertiup. Oleh karena
itu, perempuan harus senantiasa menjaga harkat martabatnya. It’s okay for women
run well to gain the prosperity and the equality but remember not to forget
about the nature of woman itself.
Masih banyak
perempuan di luar sana—entah dimanapun—memperlakukan dirinya seolah dirinya
butiran debu yang tak bisa apa-apa lagi setelah patah hati. Plis, itu lebay.
Banyak diluar sana yang mengagung-agungkan cinta, banyak kontak fisik dengan
laki-laki yang sama sekali tidak menjamin masa depan—mungkin hanya janji—dan
menyesal pada akhirnya jika ternyata janji itu hanya janji dusta. Dimana
emansipasinya? Ah maaf, konon dalam agama perempuan tak boleh disalahkan.
Ayolah
perempuan, kalian sudah diberi porsi yang sama, tapi apa? Kalian tidak
memercayakannya pada kaum kalian sendiri? Mengapa? Karena kodrat perempuan
demikian? Kalian memberi kepercayaan, tapi terluka jika kepercayaannya dinodai.
Mereka ingin dilindungi, tapi bukan berarti mereka tidak bisa melindungi.
Kalian—perempuan—mampu berlari sama halnya dengan laki-laki, sejajar itu bukan
mengungguli dan tidak pula ada yang diungguli, maka alangkah tentramnya jika
demikian adanya. Kalian tidak boleh mengalami degradasi, sayangkan perjuangan
Kartini.
Ah
gagasan Kartini memang luar biasa terkenal, tidak seperti kedua adiknya,
Kardinah dan Rukmini, mereka juga aktif dalam bidang pendidikan. RSU Kardinah
di Tegal, Kardinah lah yang mendirikan.
Semalam
berbincang-bincang dengan kawan yang aktif voluntourism, anak pariwisata salah
satu universitas negeri yang cukup terkenal di Jogja, doi bilang perempuan
modern sekarang tidak bisa didikte seperti dulu, mereka sekarang sudah berani,
berani menolak, menentang apa yang merugikan dan merendahkan mereka. Perempuan
sekarang cerdas, hanya saja dunia yang serba maskulin ini mengkaver semua. Masih ada beberapa penakut yang masih diam
terpojok dan tidak tersentuh nilai-nilai emansipasi. Mereka tidak bisa menolak,
mereka dilahirkan di keluarga yang serba radikal, baik agama atau etika, adanya
patriarki dalam keluarga antara perempuan dan laki-laki. Ada pula yang salah
pergaulan dan mengatasnamakan kebebasan sebagai apresiasi dirinya, justru
dengan begitu terkadang harkat perempuan direndahkan. Menjadikan dirinya objek.
Ya, itu
pendapat. Setiap orang bebas berpendapat kan ya. Cukup seru perbincangan
semalam.
Ingin
mengucapkan, terimakasih mama untuk melahirkan anak perempuan seperti saya.
Terimakasih sudah sabar merawat anak perempuan yang tidak feminin ini. Doi
bilang saya maskulin, tapi tidak macho. Well, itu freak.