“Sejauh apapun perjalanan yang kamu lakukan,
maka disanalah kamu merindukan rumah. Dan memilih untuk pulang. Meski tak
menampik kamu akan mengulanginya lagi, lain waktu.”
Pelajaran di Perjalanan
Saat
kamu memutuskan untuk bepergian dengan seorang sahabat, akan ada dua
kemungkinan, semakin dekat dan menjaga jarak. Begitu pula dengan aku yang
memutuskan untuk bepergian jauh bersama sahabatku. Panggil saja aku, Faid.
Pada bulan
November 2014, kurang lebih tanggal 27 lah ya, aku dan sahabatku—namanya Mayka—melakukan
transaksi pembayaran tiket (promo) pesawat dari maskapai AA yang menawarkan
harga 200rb untuk tujuan Lombok. Absolutely
we directly took it. What a badass price ever. Setelah mengisi data
pembelian tiket pulang-pergi dengan pretelan
harga yang mencapai 650rb per kepala. Kita nekat buat berangkat pada tanggal 10
Januari 2015. Dengan kantong pas-pasan.
Jeng
jeng jeng...hari keberangkatan tiba. And
you guys know what? Kita ketinggalan pesawat. KETINGGALAN. Salah lihat
jadwal keberangkatan, yang harusnya jam 09.00, kita mengiranya jam 11.00. Salah
kaprah. Dan baru sadar, jam sudah menunjukkan 09.00 kurang 15 menit, saat
itulah baru sadar jika kita salah liat jadwal. Taksi (kuda putih) yang kita
naiki seketika menjelma menjadi naga dengan super-speed.
Well setelah berlari seperti cacing
bunting yang nyari bidan buat bantu lahiran ke loket check in.
‘Tererenggggg,
check in sudah closed! How cute this trip
wanna be.’ Pikirku saat itu.
Setelah berdiskusi dalam waktu kurang lebih
satu menit (singkat) kita memutuskan menaiki bis DAMRI bandara Juanda ke
terminal Purabaya, Surabaya. Kita sudah naik bis! Ke Bali! Iya, BALI! Setelah
sampai di Bali, Terminal Mengwi, kita memutuskan untuk tidak singgah melainkan langsung
menaiki APV sampai terminal Ubung (Denpasar) dengan harga 15rb per kepala, dan
APV dinaiki oleh 15 orang. Jika kalian ingin merasakan kram kaki dan kesemutan
pangkat 300 maka nikmatilah kemewahan APV yang disediakan Terminal Mengwi. Setelah
sampai di terminal Ubung, kita duduk di ruang tunggu penumpang. Kemudian
menaiki angkutan umum menuju pelabuhan Padang Bai untuk menaiki kapal yang
kedua dalam perjalanan untuk sampai ke pelabuhan Lembar, Lombok.
Beberapa
menit sebelum kapal menepi, salah seorang awak kapal menawari kita untuk
memfoto ruang navigasi kapal yang diketahui peluncurannya pada tahun 1984. Wush!
Patut diabadikan, selang beberapa lama, sang kapten keluar dari
persembunyiannya. Pembicaraan dimulai dari bertanya asalnya, sekolah dimana,
ngapain ke Lombok? Apakah ada saudara? Diskusi destinasi wisata dan transportasi
yang bisa digunakan. Sampai pada titik dimana Mayka dan aku terhening dan heran
karena tanpa alasan apapun sang Kapten mengatakan ingin memberikan tumpangan ke
Senggigi—salah satu daerah yang terkenal dengan pantai Senggigi yang wajib
didatangi saat pergi ke Lombok. Meskipun sudah banyak perubahan. Tapi keindahan
ombaknya masih layak diperhitungkan, katanya.
Kata-kata
setahta apapun tidak bisa menggambarkan perasaan kita. Dan demi apapun kita
diberi tumpangan motor gratis ke Senggigi.
Memang
benar, dimana ada pertemuan disitulah perpisahan akan datang dan pasti datang.
Kapten harus kembali ke pelabuhan Lembar untuk beristirahat dan mencharge energi untuk berlayar keesokan
pagi. Aku berkaca-kaca mengucapkan rasa terimakasih kepada beliau. Sungguh tak
tahu bagaimana membalasnya. Melambaikan tangan, bye Cap. See you when we see you, Pak Mulyono.
Lombok
bersahabat dengan kita. Dengan uang pas-pasan,
kita tinggal di homestay murah meriah. Mengistirahatkan badan, hingga keesokan
harinya kita memutuskan untuk pergi ke pelabuhan Bangsal menaiki motor, dengan
sewa seharga 50rb sehari. Terbayar betapa cantiknya pulau yang dikelilingi
semburat langit yang menyatu dengan laut. Kita kemana-mana berdua. Aku yang
biasanya melakukan perjalanan seorang diri, lewat perjalanan kali ini,
disadarkan. Betapa berartinya sosok seorang sahabat yang selalu ada disebelah
kita. Berjalan beriringan dengan kita. Menikmati kuasa Tuhan, dibawah bentang
langit, bangun di fajar dan menikmati keindahan senja bersama. Sungguh Lombok
tak akan berkhianat pada persahabatan kita.
“Karena
selalu ada pelajaran di setiap perjalanan.” Celetuk Mayka di perjalanan ke
Bandara Internasional Lombok pagi itu.
“Ya.
Tujuan perjalanan setiap orang berbeda. Tapi kita yang berbeda ini disatukan
oleh perjalanan panjang yang tak luput dari pengorbanan di Lombok. Let’s come here again someday yah, Mayk.”
“Sure.”
Meskipun
dari awal kita sudah diberi pilihan, untuk tidak berangkat atau berangkat. Kita
memutuskan untuk berangkat dan menepis rasa kecewa karena ketinggalan pesawat.
Kita mengestimasi biaya bersama selama di perjalanan. Kita makan a la kadarnya asal sampai di tujuan
dengan pelajaran di setiap detiknya. Kita perlahan memahami satu sama lain.
Menguar biasa saja. Perasaan sebagai seorang sahabat.
Cerpen
ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis
waaaaaa kalian kereeeeenn
BalasHapusaku ngga pernah bonek begitu, masa mudaku.....ah sudahlah..
Maklumi kami ya, ma. Kami kelaparan untuk liburan. Meski biasanya kemana-mana sendiri, ternyata liburan dengan teman itu bisa dicoba lain waktu. Yuk pergi bareng yuk, papuma?
Hapus