5/13/2015

Pelajaran di Perjalanan

“Sejauh apapun perjalanan yang kamu lakukan, maka disanalah kamu merindukan rumah. Dan memilih untuk pulang. Meski tak menampik kamu akan mengulanginya lagi, lain waktu.”


Pelajaran di Perjalanan

Saat kamu memutuskan untuk bepergian dengan seorang sahabat, akan ada dua kemungkinan, semakin dekat dan menjaga jarak. Begitu pula dengan aku yang memutuskan untuk bepergian jauh bersama sahabatku. Panggil saja aku, Faid.

Pada bulan November 2014, kurang lebih tanggal 27 lah ya, aku dan sahabatku—namanya Mayka—melakukan transaksi pembayaran tiket (promo) pesawat dari maskapai AA yang menawarkan harga 200rb untuk tujuan Lombok. Absolutely we directly took it. What a badass price ever. Setelah mengisi data pembelian tiket pulang-pergi dengan pretelan harga yang mencapai 650rb per kepala. Kita nekat buat berangkat pada tanggal 10 Januari 2015. Dengan kantong pas-pasan.

Jeng jeng jeng...hari keberangkatan tiba. And you guys know what? Kita ketinggalan pesawat. KETINGGALAN. Salah lihat jadwal keberangkatan, yang harusnya jam 09.00, kita mengiranya jam 11.00. Salah kaprah. Dan baru sadar, jam sudah menunjukkan 09.00 kurang 15 menit, saat itulah baru sadar jika kita salah liat jadwal. Taksi (kuda putih) yang kita naiki seketika menjelma menjadi naga dengan super-speed. Well setelah berlari seperti cacing bunting yang nyari bidan buat bantu lahiran ke loket check in.

‘Tererenggggg, check in sudah closed! How cute this trip wanna be.’ Pikirku saat itu.

 Setelah berdiskusi dalam waktu kurang lebih satu menit (singkat) kita memutuskan menaiki bis DAMRI bandara Juanda ke terminal Purabaya, Surabaya. Kita sudah naik bis! Ke Bali! Iya, BALI! Setelah sampai di Bali, Terminal Mengwi, kita memutuskan untuk tidak singgah melainkan langsung menaiki APV sampai terminal Ubung (Denpasar) dengan harga 15rb per kepala, dan APV dinaiki oleh 15 orang. Jika kalian ingin merasakan kram kaki dan kesemutan pangkat 300 maka nikmatilah kemewahan APV yang disediakan Terminal Mengwi. Setelah sampai di terminal Ubung, kita duduk di ruang tunggu penumpang. Kemudian menaiki angkutan umum menuju pelabuhan Padang Bai untuk menaiki kapal yang kedua dalam perjalanan untuk sampai ke pelabuhan Lembar, Lombok.

Beberapa menit sebelum kapal menepi, salah seorang awak kapal menawari kita untuk memfoto ruang navigasi kapal yang diketahui peluncurannya pada tahun 1984. Wush! Patut diabadikan, selang beberapa lama, sang kapten keluar dari persembunyiannya. Pembicaraan dimulai dari bertanya asalnya, sekolah dimana, ngapain ke Lombok? Apakah ada saudara? Diskusi destinasi wisata dan transportasi yang bisa digunakan. Sampai pada titik dimana Mayka dan aku terhening dan heran karena tanpa alasan apapun sang Kapten mengatakan ingin memberikan tumpangan ke Senggigi—salah satu daerah yang terkenal dengan pantai Senggigi yang wajib didatangi saat pergi ke Lombok. Meskipun sudah banyak perubahan. Tapi keindahan ombaknya masih layak diperhitungkan, katanya.

Kata-kata setahta apapun tidak bisa menggambarkan perasaan kita. Dan demi apapun kita diberi tumpangan motor gratis ke Senggigi.

Memang benar, dimana ada pertemuan disitulah perpisahan akan datang dan pasti datang. Kapten harus kembali ke pelabuhan Lembar untuk beristirahat dan mencharge energi untuk berlayar keesokan pagi. Aku berkaca-kaca mengucapkan rasa terimakasih kepada beliau. Sungguh tak tahu bagaimana membalasnya. Melambaikan tangan, bye Cap. See you when we see you, Pak Mulyono.

Lombok bersahabat dengan kita. Dengan uang pas-pasan, kita tinggal di homestay murah meriah. Mengistirahatkan badan, hingga keesokan harinya kita memutuskan untuk pergi ke pelabuhan Bangsal menaiki motor, dengan sewa seharga 50rb sehari. Terbayar betapa cantiknya pulau yang dikelilingi semburat langit yang menyatu dengan laut. Kita kemana-mana berdua. Aku yang biasanya melakukan perjalanan seorang diri, lewat perjalanan kali ini, disadarkan. Betapa berartinya sosok seorang sahabat yang selalu ada disebelah kita. Berjalan beriringan dengan kita. Menikmati kuasa Tuhan, dibawah bentang langit, bangun di fajar dan menikmati keindahan senja bersama. Sungguh Lombok tak akan berkhianat pada persahabatan kita.

“Karena selalu ada pelajaran di setiap perjalanan.” Celetuk Mayka di perjalanan ke Bandara Internasional Lombok pagi itu.

“Ya. Tujuan perjalanan setiap orang berbeda. Tapi kita yang berbeda ini disatukan oleh perjalanan panjang yang tak luput dari pengorbanan di Lombok. Let’s come here again someday yah, Mayk.”

Sure.

Meskipun dari awal kita sudah diberi pilihan, untuk tidak berangkat atau berangkat. Kita memutuskan untuk berangkat dan menepis rasa kecewa karena ketinggalan pesawat. Kita mengestimasi biaya bersama selama di perjalanan. Kita makan a la kadarnya asal sampai di tujuan dengan pelajaran di setiap detiknya. Kita perlahan memahami satu sama lain. Menguar biasa saja. Perasaan sebagai seorang sahabat.


Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis

2 komentar:

  1. waaaaaa kalian kereeeeenn
    aku ngga pernah bonek begitu, masa mudaku.....ah sudahlah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maklumi kami ya, ma. Kami kelaparan untuk liburan. Meski biasanya kemana-mana sendiri, ternyata liburan dengan teman itu bisa dicoba lain waktu. Yuk pergi bareng yuk, papuma?

      Hapus