5/05/2015

Tuan segala Tuan, Mama (Ampunkanlah) atas Aku

“Ada bukan untuk menyandur. Ada bukan untuk menyalahkan. Ada bukan untuk memihak. Melainkan untuk berdiri dengan anggun memegang nilai dari nurani tanpa dipaksa.”

Daun yang jelas bagian dari pohon, melekat di ranting, bisa jatuh. Terbawa angin, terhempas tanpa bisa menolak meski memohon dan merengek, tapi ampun apa? Tidak ada. Semua berjalan. Meski kau memeluk, menciumi bumi yang kau agungkan, apalah dayamu atas akhir. Tidak berartilah kuasamu menahan menandingi sang pemilik kuasa. Bangun.

Sang penerima titipan menyeret kaki membawa beban. Sang beban hanya berlagak tidak sadar, berlagak melebihi beban kapas. Sementara bunda berusaha tegar, menguatkan. Sang Ayah memeluk dengan segenap hati melapangkan meski perih penuh tusukan—entah dari mana datangnya.

“Hei kau, Aing lari lompat-lompat ambil surga.” Teriak sang pandai besi pada salah seorang pemeluk keyakinan nurani.

“Aing? Aku saja lompat dapat.” Timpalnya sambil tetap menyulam ketenangan jiwa.

“Ah surga kau memang istimewa. Kau syukurilah.” Hardik sang pandai besi.

Andai tuan segala tuan yang maha segala-galanya mengijinkan sang penerima titipan yang sudah dengan putih tulus kasihnya mendapatkan surganya. Ah beban yang dia bawa tak kan pernah ditinggalkan. Meski beban masa bodoh. Dasar. Sang Ayah berdesir jiwa memohon, dalam hati semoga saja ada tempat kosong. Semoga saja masih ada sisa waktu untuk memudarkan kegelapan.

Waktu tidak pernah memihak. Berpihaklah pada waktu. Dia tidak memahami, maka pahamilah. Dia hanya berjalan, jika kau diam, dia tidak akan mengajakmu—maka kejarlah, ikutlah. Bukan sekedar ikut, hanyut-gontai-piawai (tanpa saringan)saja apalah arti selai ditengah biskuit.

Bergulirnya waktu ternyata membukakan pintu emas. Sang penjelajah waktu mensyukuri permadani yang menutupi kepalanya. Gaun sutera dengan panjang menutupi lengan dan punggung kaki. Serta cahaya dalam jiwa yang dimohon untuk tetap berpendar. Berbagilah. Berbahagialah.

Penuai syukur menunduk menatap sajadah yang telah lama ia tinggalkan. Merintihlah dia terharu, bahagia berusaha merekatkan kaca yang retak. Bergetar raga tanpa alasan dan sembab didapati keesokannya. Sepertiga malam yang membuatnya satir pada masa lalu. Selalu ada makna di balik cerita. Selalu ada rahasia dibalik sejarah. Selalu ada yang hilang dibalik yang ditemukan.

Minta ampunlah padaNya, ampunkanlah Mama atas ulahku. Atas aku. Aku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar