“Ada
bukan untuk menyandur. Ada bukan untuk menyalahkan. Ada bukan untuk memihak.
Melainkan untuk berdiri dengan anggun memegang nilai dari nurani tanpa dipaksa.”
Daun yang
jelas bagian dari pohon, melekat di ranting, bisa jatuh. Terbawa angin,
terhempas tanpa bisa menolak meski memohon dan merengek, tapi ampun apa? Tidak
ada. Semua berjalan. Meski kau memeluk, menciumi bumi yang kau agungkan, apalah
dayamu atas akhir. Tidak berartilah kuasamu menahan menandingi sang pemilik
kuasa. Bangun.
Sang
penerima titipan menyeret kaki membawa beban. Sang beban hanya berlagak tidak
sadar, berlagak melebihi beban kapas. Sementara bunda berusaha tegar,
menguatkan. Sang Ayah memeluk dengan segenap hati melapangkan meski perih penuh
tusukan—entah dari mana datangnya.
“Hei kau,
Aing lari lompat-lompat ambil surga.” Teriak sang pandai besi pada salah
seorang pemeluk keyakinan nurani.
“Aing? Aku
saja lompat dapat.” Timpalnya sambil tetap menyulam ketenangan jiwa.
“Ah surga
kau memang istimewa. Kau syukurilah.” Hardik sang pandai besi.
Andai tuan
segala tuan yang maha segala-galanya mengijinkan sang penerima titipan yang
sudah dengan putih tulus kasihnya mendapatkan surganya. Ah beban yang dia bawa
tak kan pernah ditinggalkan. Meski beban masa bodoh. Dasar. Sang Ayah berdesir
jiwa memohon, dalam hati semoga saja ada tempat kosong. Semoga saja masih ada
sisa waktu untuk memudarkan kegelapan.
Waktu tidak
pernah memihak. Berpihaklah pada waktu. Dia tidak memahami, maka pahamilah. Dia
hanya berjalan, jika kau diam, dia tidak akan mengajakmu—maka kejarlah,
ikutlah. Bukan sekedar ikut, hanyut-gontai-piawai (tanpa saringan)saja apalah
arti selai ditengah biskuit.
Bergulirnya
waktu ternyata membukakan pintu emas. Sang penjelajah waktu mensyukuri
permadani yang menutupi kepalanya. Gaun sutera dengan panjang menutupi lengan
dan punggung kaki. Serta cahaya dalam jiwa yang dimohon untuk tetap berpendar.
Berbagilah. Berbahagialah.
Penuai
syukur menunduk menatap sajadah yang telah lama ia tinggalkan. Merintihlah dia
terharu, bahagia berusaha merekatkan kaca yang retak. Bergetar raga tanpa
alasan dan sembab didapati keesokannya. Sepertiga malam yang membuatnya satir
pada masa lalu. Selalu ada makna di balik cerita. Selalu ada rahasia dibalik
sejarah. Selalu ada yang hilang dibalik yang ditemukan.
Minta
ampunlah padaNya, ampunkanlah Mama atas ulahku. Atas aku. Aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar