Dear,
Mommy—
“Begitu banyak orang pintar,
tapi jarang diantara mereka yang mau mengerti. Banyak orang sukses, jarang
diantara mereka yang mau belajar bersyukur dari kecil.” Mommy
Selamat Milad ya, duhai Ibu yang selalu selamanya aku cintai.
Tak terasa sudah 20 tahun bersamaku.
“Rasanya kamu kemarin masih sekecil ini” Katanya menunjuk kursi
disamping kami.
Umurmu begitu muda saat memutuskan untuk menikahi laki-laki
pertama yang membuatku jatuh cinta. Hingga lima tahun kemudian aku lahir. Anak pertamamu.
Ibu bercerita tentang aku kecil yang nakal. Tentang aku yang
suka membuat anak tetangga menangis. Tentang aku yang suka sakit, karena daya
imunku yang rendah. Tentang aku yang selalu membuatmu tersenyum. Kumohon lain
kali ceritalah tentang Ibu. Tentang masa kecilmu. Kuharap kita punya masa kecil
yang cukup bahagia.
Ibu, kamu adalah wanita tercantik. Kamu adalah panutanku. Kesabaranmu,
kebahagiaanmu, rasa syukur yang selalu Ibu lafadzkan dengan indah setiap saat.
Aku rindu.
Di hari berkurangnya umur, aku malah tidak disampingmu mengecup
pipi cekungmu. Hidungmu yang tinggi menjulang.
Ah, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih. Telah membesarkan
aku dengan cerita-cerita kehidupan. Menunjukkan padaku bagaimana roda berputar.
Mengajarkan aku bagaimana merawat dan bersepakat dengan isi dompet. Hanya saja,
kita tidak banyak bercerita. Aku tidak ingin menceritakan tentang aku. Aku ingin
mendengarkan cerita Ibu. Ibu bilang, aku belum cukup baik untuk menjadi
pendengar. Lain kali, mari habiskan lebih banyak waktu bersama. Bersama
suamimu, bersama aku, bersama dua adik lelakiku. Mari kita kabur sejenak.
“Kamu harus jadi lebih dewasa. Kamu sudah dua puluh. Kamu harus
lebih sabar. Dunia itu ganas.” Pesanmu.
“Pulanglah jika ingin pulang. Jangan minta ijin. Aku tidak
pernah menawarkan ijin untukmu. Itu hak patenmu untuk pulang.” Kuharap Ibu
menyelesaikan buku yang ditulis segera. Mari realisasikan itu.
Ibu begitu suka membaca buku. Segala macam buku yang kubeli
dibaca. Ya, meski buku yang kubeli terkadang isinya kurang ajar vulgarnya. Tapi
Ibu hanya memandangku dengan alis yang terangkat sebelah. Aku iri tidak bisa
mengangkat separuh alisku sepertimu.
“Tidak berarti setinggi tinggi pendidikanmu jika tidak mau
memandang sekitarmu.” Ibu selalu mewanti-wantiku.
Ibu, lain waktu kita bicarakan lagi rencana bisnis keluarga yang
selalu terputus di tengah jalan. Mari bicarakan lagi masa depan keluarga kita,
keluarga kita. Bukan keluarga orang lain. Kumohon.
Ibu, jaga kesehatan. Makan pisang. Ha ha ha
Ibu, semoga istiqomah belajar alquran dan hadits meski di umur
yang sekarang.
Ibu, terimakasih sudah mengajariku untuk senantiasa bersyukur.
Terimakasih sudah berkanan menikah dengan laki-laki hebat yang
menjadi my super one.
Terimakasih sudah melahirkan aku, merawat, sabar menghadapiku.
Your Strong Daughter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar