Panggil dia, Bel.
Kali ini aku ingin bercerita tentang sahabat baikku yang sudah
lama tidak kujumpai. Dia kukenal sekitar lima tahun yang lalu. Di penghujung
musim hujan yang hangat.
Waktu itu dia sedang mengantri obat di salah satu tempat praktik
dokter internis dekat rumahku sedangkan aku baru datang dan mengambil nomor
antrian. Sungguh padat. Kursi yang tersisa adalah di depan kasir apotek, tepat
disebelahnya. Kemudian aku duduk.
Perbincangan awal yang amat basa-basi. Ternyata kita di dokter
yang sama. Kemudian kita gosipin
dokternya. Mulai dari situ kita menjadi teman. Hanya sekedar teman gosipan.
Hari itu, Aku iseng
mengiriminya pesan pendek.
---
Hai, Bel. Apa kabarmu?
---
---
Astaga Daaaaf, kamu masih hidup? I’m super duper in a good mood.
But I’m not in a good health. *sad
---
---
What’s wrong? Is it the old
one?
---
---
No. This is actually new! Hep-B.
---
---
OMG!
---
---
Maafin ya buat kamu khawatir. Habis, aku tidak berani cerita ke
orang tua. Aku takut membuat mereka sedih.
---
---
Kamu takut membuat mereka
sedih atau akan membuat mereka kecewa terhadap diri mereka seumur hidup jika
baru mengetahuinya nanti setelah kamu pergi tiba-tiba dari hidup mereka?
---
---
Ini berat. Aku tidak berani.
---
---
Siapa yang mau sakit? Tidak
ada, Bel. Health is super expensive. Even you can’t buy it with money, no
matter how much it is.
---
.
Selalu. Jika berbincang dengannya. Isinya adalah kesakitan yang
tiada henti.
Dia tidak mengeluh. Dengan dia merasakan semua kesakitan itu,
semakin dia menghargai hari-hari yang dilaluinya. Tak seharipun dilewatkannya
untuk bersyukur. Memuja karunia Tuhan. Nikmat dan Rahmat yang diberikan padanya.
Dzat yang maha segalanya.
Terkadang seseorang perlu jatuh untuk merasakan sakit. Kadang
mereka mesti diberi tahu bagaimana rasa sakit agar bersyukur betapa berharganya
kata sehat. Terkadang harus terlanjur basah terlebih dahulu untuk meloncat ke
dalam kolam. Terkadang harus dikejar agar segan berlari.
*nb: nama dan aku bukanlah aku yang sebenarnya*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar