BJN, 01-09-2016
Calling You
Hari ini aku tidak seperti biasanya. Biasanya kamu akan
menjemputku ke kantor. Karena kita bekerja di kantor yang sama. Sekarang aku
harus berangkat sendiri, tidak peduli memakai baju apa yang penting rapi. Tidak
perlu memasak makanan kesukaanmu untuk bekal makan siang. Aku tidak perlu
berjalan ke depan apartemen. Aku tinggal turun ke basement mengambil mobil dan
berangkat ke kantor. Seperti saja. Tapi tidak seperti biasa.
Aku berangkat tanpamu.
Sejujurnya, kantor tempatku bekerja hanya 200 meter dari
apartemenku. Hanya saja aku akan pergi sepulang kerja. Akhir pekan adalah hari
yang tepat untuk mengasingkan diri.
Dan aku pergi tanpamu.
Sudah satu minggu kamu mengambil cuti. Cuti pernikahan.
Sebenarnya perusahaan hanya memberikan cuti 3 hari, tapi aku meminta kepada
papaku untukmu, hadiah cuti dariku 4 hari lagi. Kamu berterimakasih lewat
telepon panjang pagi itu.
Ya, aku bekerja di perusahaan papaku. Perusahaan retail moderen
yang dewasa ini sedang digemari kalangan menengah keatas. Aku bekerja bukan
atas dasar nepotisme, aku melakukan prosedur yang sama dengan pegawai lain.
Hanya saja aku tidak pernah takut tidak diterima, jika tidak diterima aku akan
bekerja di perusahaan mama, dan papa tidak ingin itu. Jadi aku pasti diterima.
Sudah dua tahun aku bekerja disana. Meskipun masih ada kamu,
tapi tidak lagi sama. Sekarang kamu sudah ada yang memiliki.
Sahabat yang tidak lagi sama.
Kamu adalah satu-satunya sahabat laki-laki yang kupunya. Lainnya
hanya teman kerja dan teman virtual.
“Ale,” Aku memanggilmu di basement
kantor dan kamu menoleh kearahku.
Aku terkejut melihatmu pagi itu. Kamu datang ke kantor. Dan
lebih terkejut lagi karena kita memakai kemeja denim warna biru muda.
Ya, baju yang kita beli satu tahun lalu di salah satu pusat
perbelanjaan.
“Ya Tuhan, Cube. Sudah lama sekali rasanya kita tidak bertemu.”
Kamu merangkul pundakku. Mencubit pipiku. Kubalas kamu dengan pukulan yang
tidak keras karena mencubitku.
Kita kembali menjadi sahabat. Tapi rasanya tidak lagi sama. Aku
sekarang telah menyadari perasaan yang selama ini kusembunyikan. Begitu pula
sekarang. Dan kamu tidak pernah tahu. Rasanya sama sekali tidak enak.
“Baru seminngu, Ale. Dasar lebay.”
“Tapi rasanya lama sekali.”
“Sekali lagi selamat ya. Akhirnya sahabatku yang tidak laku ini
punya istri.” Bercandaanku dibalas cubitan keduanya pada pipiku yang kini
memerah.
“Kamu kapan?. . . Tapi kita masih sahabatan kan? Aku tidak yakin
bisa menginap di apartemenmu.”
Aku tidak menjawab pertanyaanmu.
“Don’t be silly, please. Ngapain juga kamu main ke apartemenku.
There is an angel in your home.”
“Mm-hm.”
“Bagaimana kabar Sassy?” Aku basa-basi menanyakan kabar istrimu.
Kuharap kalian selalu bahagia.
“Oh sungguh. Dia lucu sekali.” Mendengar jawaban itu aku
melepaskan tanganmu dari pundakku.
“Aku sudah tahu kalau itu.” Kemudian aku pura-pura membenarkan
tali sepatuku. Agar kamu tidak curiga kenapa aku melepas rangkulanmu.
“Tumben sekali pakai sepatu itu, biasanya ngangkrak di rak.” Kamu
bertanya alasan mengapa?
‘Karena kamu sekarang sudah menikah.’ Tapi jawaban itu hanya ada
dalam hatiku.
“Aku mau pergi nanti sepulang kantor.” Kita sudah memasuki lobi,
kemudian sedikit berlari masuk ke lift yang hampir tertutup. Dan sepatu ajaibku
berhasil menghalanginya.
Kemudian perbincangan kita terputus. Tidak pernah berlanjut.
Berdesak-desakan di dalam lift selalu membuat kita sibuk memiringkan badan.
Kita selalu diam saat di dalam lift. Entah berdua atau berdesak-desakkan.
Saat pintu lift terbuka, kita berpisah. Kamu ke divisimu, begitu
juga aku.
“Cube, see you at lunch.” Aku mengangguk dan melambai padanya.
Ternyata kebiasaan yang kita lakukan masih sama. Tapi semua
tidak lagi terasa sama. Atau hanya aku yang merasa seperti itu?
Aku ingin menghindarimu. Tapi rasanya tidak mungkin kulakukan.
Rasanya aku benar-benar tersiksa.
Aku hanya bisa memanggilmu. Memanggil namamu. Hanya itu.
“Ale,” Panggilku di ruanganmu. Kamu sudah duduk di sofa
ruanganmu yang tidak kalah empuk dari kursiku.
“What’s yours?” Tanyamu sambil menyuruhku duduk disampingmu.
“Just sandwich. But it is big enough.” Aku membuka kotak makanku
setelah duduk di sebelahmu. Aku tidak duduk sedekat biasanya. Semoga kamu tidak
menyadarinya.
Tapi kamu mengeryitkan dahi mendengar aku hanya membawa
sandwich.
“Why it is only sandwich? I’m with rock chicken try some.” Aku
mengangguk dan tidak menjawab pertanyaanmu.
Aku mencicipi masakan istrimu, rasanya enak.
“Cute. I’d like it.” Kamu tersenyum dan mulai makan bekalmu.
“I miss your shrimp sauce.” Ucapmu di sela-sela diam kita saat
memakan bekal.
“I miss it too. Lol. I’m being lazy now.”
“Jatuh cintalah.”
“Meh!” Aku tidak memedulikan ucapanmu. Aku mengahabiskan
sandwichku.
“I miss your meh, pal.” Kamu menyambung kalimatku setelah
meminum kopimu.
“Ale, please. It is just the same.”
“It is not, cube.” Deng! Akhirnya pembicaraan ini datang juga.
“Hmmm?” Sekarang aku yang mengeryitkan dahi.
“You look different.”
“Aku? Aku masih sama.”
“Kamu tidak lagi membuka pesanku di email.”
“You sent me? I didn’t open it for real, sorry.”
“You are not telling me anything.”
“I don’t have anything to tell, Ale. What’s wrong with you?”
“I don’t have you anymore.”
“Ale listen to me, I’ve never been yours. We are just the same.
I’m just Cube. And you’re just Ale.”
“But we’re not the same.”
“Of course. Ale, you’ve married. You belong to your wife.” Aku
sedikit menekan kalimatku agar kamu mengerti perubahannya.
“Mm-hm. Sorry.”
“Nope.” Aku menepuk pundakmu, mencoba menenangkanmu.
Bukan hanya aku yang takut kehilangan sahabat terbaikku. Tapi
kamu juga. Kuharap aku bisa segera menghilangkan perasaanku padamu. Agar tidak
ada yang kusembunyikan darimu.
Yang bisa kulakukan sekarang hanya memanggilmu.
Memanggil namamu.
Daf.
"Ale," ale ale alejandro~~ *tiba2 muncul lady gaga dr dlm rak sepatu* LOLOLOLOL
BalasHapuslama ga baca tulisanmu, produktif sekali yha ternyata, DAF :)
Looooh mbak, kamu suka baca tulisanku ternyata. Kekeke ditunggu kelanjutannya ya. Doakan novelnya segera selesai dan rilia.
Hapus