Payung
Pagi ini, matahari tak secerah biasanya. Ada mendung bergelayut
diatas sana. Menghalangi biasan cahaya matahari. Tak lama terlihat mendung
semakin pekat dan makin menggelembung. Sudah siap menumpahkan isinya.
Aku kebetulan sedang berjalan-jalan di kota tua, mencari kesenangan
sebelum kembali berkutat di kantor baru. Pagi tetiba menjadi semakin gelap dan
perlahan percikan air membasahi tubuhku. Aku segera mengeluarkan payung dari
ransel.
Kudengan bunyi rintik diatasku. Duk duk duk. Seperti
tusukan-tusukan yang mengenai seluruh permukaan payung. Angin menyusul setelah
beberapa menit hujan. Aku mempererat pegangan pada gagang payung. Agar tidak
terbawa angin.
Tak kudengar dia mengaduh. Tidak pula mengeluh. Meski sepanjang
hujan jatuh menimpanya, dia hanya menelungkupiku begitu teduh. Aku membisu
dibawahnya. Menggendong ransel warna cerah yang kuletakkan di dada. Aku takut
barang didalamnya basah. Aku menyingsingkan lengan bajuku sebagian. Melipat
celanaku agak tinggi. Tidak peduli sepatuku sudah basah.
Betapa berharganya payung. Betapa berartinya dia disaat seperti
itu. Aku sengaja tidak berteduh. Aku menyukai suasana dibawah payung. Aku
menyukai suara yang dibuatnya. Aku suka memegang erat gagangnya saat ditempa
angin. Kuhidu aroma hujan dibawahnya. Semuanya serba romantis.
Seperti halnya tubuh. Dia sudah semestinya dijaga. Sudah
semestinya dia menjadi payung organ-organ vital didalam sana. Sekali benda
asing masuk, menyerang, mati-matian organ melawan. Mencari perlindungan. Payung
memberinya perlindungan. Apalah arti payung (tubuh) jika sang pemilik tidak
ikut menjaganya? Habis sudah organ-organ di dalam sana.
Jika tidak kupakai payung hari itu, basah semua berkas dalam
ranselku. Jika tidak kusingsingkan lengan bajuku, basah sudah. Sementara aku
tak membawa baju ganti, tak mungkin aku sengaja berendam agar masuk angin.
Jika tubuh disia-siakan? Apalah arti uang? Mau beli payung (tubuh)
baru? Milik siapa? Tuhan memberi. Sudah selayaknya kita menjaga. Jika sudah
tidak utuh, maka jagalah dengan baik sisanya.
Kemudian sampailah aku di salah satu rumah kayu kota tua. Kulipat payungku, kusandarkan dia di dinding kayu. Kutinggalkan dia disana. Masuklah aku ke ruangan yang berlantaikan kayu.
Terimakasih hujan, untuk selalu mengingatkanku tentang payung.
Tentang dia yang selalu meneduhkanku. Tentang Kau sang pemberi segala. Tentang
Engkau sang pemberi hidup.
Daf, 19-01-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar