1/19/2016

(Payung)

Payung



Pagi ini, matahari tak secerah biasanya. Ada mendung bergelayut diatas sana. Menghalangi biasan cahaya matahari. Tak lama terlihat mendung semakin pekat dan makin menggelembung. Sudah siap menumpahkan isinya.

Aku kebetulan sedang berjalan-jalan di kota tua, mencari kesenangan sebelum kembali berkutat di kantor baru. Pagi tetiba menjadi semakin gelap dan perlahan percikan air membasahi tubuhku. Aku segera mengeluarkan payung dari ransel.

Kudengan bunyi rintik diatasku. Duk duk duk. Seperti tusukan-tusukan yang mengenai seluruh permukaan payung. Angin menyusul setelah beberapa menit hujan. Aku mempererat pegangan pada gagang payung. Agar tidak terbawa angin.

Tak kudengar dia mengaduh. Tidak pula mengeluh. Meski sepanjang hujan jatuh menimpanya, dia hanya menelungkupiku begitu teduh. Aku membisu dibawahnya. Menggendong ransel warna cerah yang kuletakkan di dada. Aku takut barang didalamnya basah. Aku menyingsingkan lengan bajuku sebagian. Melipat celanaku agak tinggi. Tidak peduli sepatuku sudah basah.

Betapa berharganya payung. Betapa berartinya dia disaat seperti itu. Aku sengaja tidak berteduh. Aku menyukai suasana dibawah payung. Aku menyukai suara yang dibuatnya. Aku suka memegang erat gagangnya saat ditempa angin. Kuhidu aroma hujan dibawahnya. Semuanya serba romantis.

Seperti halnya tubuh. Dia sudah semestinya dijaga. Sudah semestinya dia menjadi payung organ-organ vital didalam sana. Sekali benda asing masuk, menyerang, mati-matian organ melawan. Mencari perlindungan. Payung memberinya perlindungan. Apalah arti payung (tubuh) jika sang pemilik tidak ikut menjaganya? Habis sudah organ-organ di dalam sana.

Jika tidak kupakai payung hari itu, basah semua berkas dalam ranselku. Jika tidak kusingsingkan lengan bajuku, basah sudah. Sementara aku tak membawa baju ganti, tak mungkin aku sengaja berendam agar masuk angin.

Jika tubuh disia-siakan? Apalah arti uang? Mau beli payung (tubuh) baru? Milik siapa? Tuhan memberi. Sudah selayaknya kita menjaga. Jika sudah tidak utuh, maka jagalah dengan baik sisanya.

Kemudian sampailah aku di salah satu rumah kayu kota tua. Kulipat payungku, kusandarkan dia di dinding kayu. Kutinggalkan dia disana. Masuklah aku ke ruangan yang berlantaikan kayu.

Terimakasih hujan, untuk selalu mengingatkanku tentang payung. Tentang dia yang selalu meneduhkanku. Tentang Kau sang pemberi segala. Tentang Engkau sang pemberi hidup.


Daf, 19-01-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar