Hai, apa kabar?
Kabarku baik dan aku masih seseksi sebelum menulis ini.
Hari ini aku ingin bercerita lagi tentang renternir keikhlasan
dan kawanku yang sering kutemui belakangan ini. Mungkin karena kita sedang
libur kuliah, jadi banyak waktu senggang untuk bertemu.
Beberapa hari ini, aroma basah selalu mampir. Memang sedang
musim hujan. Membawa angin hujan yang mendatangkan rindu. Begitu pula rinduku
padanya. Sore itu aku mengiriminya pesan pendek.
To: Bee
Nanti aku lab. Ketemu yuk.
Kujemput sih di rumahmu. How?
Tak lama dia membalas pesanku.
From: Bee
Lab apa lagi? Perasaan
minggu lalu abis lab deh? Hobi banget ngabisin duit. Boleh lah, sekalian aku
mau beli obat di apotek samping rs.
Aku tertawa membaca pesannya. Hobi anak gaul dimana-mana liburan
main kesana kemari. Lhah aku? Nyasar mulu di lab tiap liburan. Oke bukan anak
gaul.
To: Bee
Sial! Sip! See you. 20
minutes more aku caw.
Empat puluh tujuh menit kemudian aku sampai di depan pagar
rumahnya. Kukeluarkan ponselku dan menelpon Bee.
“Eh aku didepan. Buruan ya, mendungnya agak manis-manis manja nih.”
“Okay bro!”
Kumatikan ponselku dan memutar motorku kearah sebaliknya,
kemudian Bee membuka pagarnya dengan wajah yang membuatku terkejut. Ditutupnya
kembali pagar besi tua itu.
“Wajahmu kenapa bengkak begitu?” Sambil memasang helm, dia naik
keatas motorku.
“Alergian kumat nih. Gih jalan keburu ujan entar.”
Aku mengendari motor tidak secepat biasanya. Karena sangat
jarang pagi-pagi mendung adem seperti beberapa hari ini.
“Alergi obat don’t say?”
“Enggak ih, mama abis beli udang dan kepiting.”
“Lhah, mamamu pan sudah tau ente alergian, masi aja dibeliin
seafood.”
“Yaelah kaya gatau mama aja deh.”
10 menit kemudian…
“Kamu ke apotek, aku lab, sama-sama antre kan?”
“Gak deh, aku temenin kamu lab. Nanti sekalian nunggu hasil,
kita ke apotek.” Kebiasaannya menaruh helm di spion kanan jadi aku harus
meletakkan helmku di spion sebelah kiri.
“Okay.”
Setelah bayar parker dua ribu rupiah tanpa karcis, kita masuk
rumah sakit dan menelusuri lorong-lorong rumah sakit, melewati lorong bersalin.
Ngeri bos! Sampailah kita di ujung
lorong, tertulis di pintu berwarna hijau itu tulisan “Laboratorium”, kemudian
kita masuk.
Didalam ada dua perawat atau entah apalah aku menyebutnya yang
jelas aku memanggil mereka “mbak”—tujuan sebenarnya adalah sok kenal—keduanya menggunakan masker dengan menggunakan baju warna
pastel yang lembut. Lumer-lumer pengen dijilat. (Don’t take it seriously pals)
“Bee, ngapain ke lab?”
“Looh tante? Nganter temen nih.” Ya Illahi, yang jaga lab tantenya si Bee, yang sering ke lab Bee dan
temennya Bee (red:aku).
Memang benar jika terkadang dikatakan “dunia ini sempit”. Tapi
jujur masih jauh lebih (lebih lagi) lebar daripada daun kelor.
Kemudian kita keluar dari lab setelah diambil darah dan urin.
“Jantungku selalu berdebar setiap abis dari lab.” Ucapku
“Kenapa? Kayak baru sekali dua kali aja ah~”
“Artinya setelah kita dari lab, maka yang selanjutnya dilakukan
adalah?”
“Nunggu hasil selama satu jam.”
“Salah!” Ucapku dengan tatapan a la pemain ftv.
“Terus?”
“Bayar biaya lab di kasir.” Ucapku sambil menyipitkan mata penuh
drama.
“Oh sh*t kamu benar. Harga tidak naik kok, asal surat pengantar
doktermu isinya gak macam-macam.”
“Aha. Kita sudah sampai renternir keikhlasan.” Setelah sampai di
depan kasir, aku menyerahkan sejumlah uang kepada penjaga renternir keikhlasan
disertai tertawa dari Bee.
“Sebutan yang bagus. Karena kamu dengan ikhlas akan menyerahkan
uangmu kepada rumah sakit ini.” Bee dengan pengertian menjelaskan maksud
sebutanku. “Yuk sekarang ke apotek.” Aku mengangguk mengikutinya.
Ternyata apotek kebetulan sedang sepi. Jadi kita tak harus
menunggu lama. Menyerahkan resep, setelah itu kita duduk menunggu panggilan
pertama. Panggilan pertama berarti kita harus membayar resep.
“Berapa?” Tanyaku pada Bee setelah membayar di kasir apotek.
“528.” Dengan wajah MEH
dia duduk di bangku panjang tepat disampingku.
“Omo! Aku kemarin 435.”
“Ya, beda sangat tipis. Inilah alasanku selalu pengen kerja pas
libur kuliah. Tapi nihil.”
“Sama banget. Liburan kali ini aku paling parah. Sebulan sudah 6
kali bolak-balik rs ini. More than 5 jeti sudah ludes tertelan renternir
keikhlasan. Kemarin nambah vitamin aja 128, kan emang agak cucok gitu kita.”
Sambil mendesah aku mengelus tas kecil yang sedang kubawa.
“Artinya demi kesehatan kita harus ikhlas menyerahkan berapapun.
Semacam ditagih renternir gitu.”
“Semoga kita diberi panjang umur deh ya buat balas perjuangan
orang tua biayain renternir buat idup kita.”
“Yoi bro. Semoga mereka selalu dimudahkan. Disehatkan selalu—”
Belum juga Bee menyelesaikan kalimatnya penjaga apotek memanggil namanya.
Panggilan nama kedua artinya obat sudah bisa dibawa pulang.
Setelah mengantongi obat dari apotek, kita kembali ke rumah
sakit untuk menunggu hasil lab.
“Sedih sih kadang kalau harus datang kesini. Kalau dibikin
cerita udah jadi buku sekuel kali ya.” Bee mengeluarkan sesuatu dari dalam
tasnya,
“Mau permen?” Aku menggeleng.
“Eh liatin mbak-mbak renternir keihklasan deh,” Kemudian kita
memperhatikan mimik wajah para penjaga kasir rumah sakit ini.
Beberapa penjamin usai membayar tagihan mukanya terlihat letih
atau semacam gundah. Beberapa juga terlihat kelegaan. Tapi mbak-mbak renternir
wajahnya selalu cerah ceria seperti mentari di pagi hari.
Secara bersamaan kita tertawa dan membuat beberapa yang menunggu
di depan kasir menatap aneh kearah kami.
Cukup sudah tulisan ini menelanjangi rentenir keikhlasan dengan
segala keterbatasannya. Semoga para penjamin di kasir rumah sakit senantiasa
diberi kelapangan hati serta keikhlasan untuk kesembuhan karena ridho sang
pemberi kesehatan.
Sekian, terimakasih.
Tertanda,
Korban jarahan rentenir keikhlasan.
LOL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar