Sepasang Ikan Koi
Setelah empat tahun.
Sepasang ikan koi pemberianmu sudah beranak pinak. Sudah ada
beberapa yang mati. Kukuburkan di halaman belakang rumahku.
Aku hanya tahu, kamu memberi sepasang ikan itu agar aku tidak
lupa padamu saat kamu pergi. Jadi aku merawatnya seperti layaknya ikan koi.
Yang tak pernah lelah meski hanya berenang. Yang kutahu hanya itu.
Setelah empat tahun.
Sepasang ikan koi pemberianmu sudah beranak pinak. Saat itu aku
baru tahu maksudmu. Maksud pemberian sepasang ikan koi padaku. Maksudmu yang
tersimpan dalam akuarium peranakan ikan koi pemberianmu.
Baru setelah empat tahun.
Teman kerjaku yang setengah darahnya keturunan Jepang
mengatakan,
“Kamu suka ikan koi?” Temanku bertanya padaku.
Aku menggeleng pelan “Sahabatku memberiku sepasang, empat tahun
lalu. Sampai beranak-pinak.”
“Laki-laki?”
“Bagaimana kamu tahu? Kamu bisa baca masa lalu?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, teman kerjaku itu justru
terpingkal-pingkal.
“Kamu kuno! Bagaimana bisa aku hanya menebak sang pemberi ikan
koi saja kamu bilang bisa baca masa lalu. Yang benar saja.”
“Ya kan siapa tahu.”
“Kalian hanya bersahabat?”
“Dia sudah bertunangan dengan orang lain.”
“Apakah sebelumnya dia tidak pernah mengatakan apapun padamu
tentang ikan koi ini?”
“Sepenting itukah ikan koi?”
“Huh?”
“Dia juga selalu menanyakan kabar ikan koi ini, bukan kabarku?
Kamu juga tanya-tanya tentang ikan koi ini.”
“Jadi dia tidak bilang apa-apa?”
“Memangnya ada yang salah dengan ikan koi di akuariumku? Apakah
ada roh jahat.”
“Apaan sih, bukan itu! Kata mamaku, dia wanita jepang, mama
menyatakan cintanya pada papaku pakai ikan koi. Di Jepang, ikan koi itu
melambangkan cinta dan ketulusan.”
“Tapi sahabatku bukan keturunan jepang setahuku.”
“Huh? Kamu benar-benar tidak tahu maksud ikan koi ini? Ini bukan
perkara keturunan jepang atau bukan. Lama-lama aku masuk akuarium juga deh
ini.”
Setelah empat tahun.
Aku tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. Karena dia
sekarang sudah bertunangan dengan orang lain. Aku hanya memendam perasaan yang
baru kusadari seminggu sebelum dia bertunangan masih bergemuruh setelah dua
bulan berlalu. Aku hanya ingin memastikannya.
Aku akhirnya bertemu dengannya (lagi) setelah dua bulan memilih
untuk menjauh. Karena aku akan pergi. Aku mengajaknya bertemu di dekat bandara.
Aku tahu disana ada kafe langganannya.
“Hai bagaimana kabarmu? Kenapa gak pakai ponsel lagi?” Dia
meminum kopi yang selalu dipesannya setiap bertemu denganku. Sejak tujuh tahun
lalu. Kopi yang sama. Kopi kesukaannya.
“Serius aku baik-baik saja. Tapi telepon kantor sudah sangat
membantuku.” Aku memandangi minumanku yang juga berwarna gelap pekat. Tanpa
menyentuhnya. Tidak juga berani memandangnya yang duduk didepanku terlalu
takzim.
“Iya. Tapi aku kesusahan kalau ingin mengajakmu jalan.” Dia
menyilangkan kaki.
“Ini kita ketemu. Sekarang kan gak perlu sering ketemu.” Aku
melihatnya sedang menatapku dengan pandangan menyidik.
“Kenapa? Karena aku sudah bertunangan? Itu klise sekali.” Dia
tersenyum tipis di akhir kalimatnya.
“Aku ingin tanya tentang ikan koi empat tahun lalu.” Bibirnya
yang belum usai tersenyum datar seketika.
“Hmm?” Dia menurunkan kakinya yang disilangkan dua menit lalu.
“Iya ikan koi sepasang darimu, empat tahun lalu. Apakah aku
masih bisa merawatnya meski kamu sudah bertunangan?”
“Apa maksudnya? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Aku diterima kerja di Farmsville.”
“Apakah akan sangat lama?”
“Mungkin ada pada titik aku akan merindukan ikan koi di rumah
nanti. Apakah tidak apa aku merindukan ikan koi di rumah? Aku hanya tidak ingin
mengganggu hubungan orang lain.”
“Apa maksudmu? Apakah kamu tahu makna ikan koi pemberianku?”
“Kenapa kamu tidak pernah bilang?” Mataku sudah mulai
berkaca-kaca.
“Kenapa baru sekarang kamu tahu?”
“Kenapa kamu tidak bilang empat tahun lalu?” Aku menahan
teriakanku.
“Aku takut akan terjadi hal seperti ini. Persahabatan kita.”
“Kamu tahu bagaimana aku menahan perasaanku padamu? Aku seperti
orang paling bodoh.” Air mataku sudah menggantung di pelupuk.
“Apa maksudmu? Bukankah kamu dengan Billy?”
“Billy? Dia sudah menyerah setelah kuabaikan selama dua tahun.”
“Kenapa kamu tidak bilang tentang itu padaku?” Dia tidak kalah
terkejutnya denganku.
“Kamu tidak pernah bertanya.”
Kita berdua terdiam. Entah berapa lama.
Aku mengusap pipi yang sudah basah.
“Kita tidak salah. Ini jalan terbaik buat kita. Sekarang aku
harus ke Bandara.”
“Kamu ke Farmsville sekarang?”
Aku mengangguk.
“Aku akan mengantarmu.”
“Taksiku masih menunggu di depan kafe.”
“Kamu gila? Persetan dengan taksi. Aku yang akan mengantarmu.”
Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Dia masih sahabatku.
Sahabat baikku.
Dia mengambil koperku dari bagasi taksi dan memindahkannya ke
mobil navy miliknya. Dia juga
membayar argo taksi. Aku berterimakasih atas itu.
“Naiklah. Aku akan mengantarmu ke bandara.”
Tanpa menjawab aku masuk dan duduk disamping kemudi.
Kita kembali diam sampai tiba di bandara. Dia memarkir mobilnya.
Menurunkan bagasi. Dan membukakan pintu untukku. Aku terharu masih memiliki
sahabat sepertinya.
Dia mengantarku check-in.
Dengan sukarela dia menjadi kuli koperku.
Tepat setelah check-in
aku langsung ke tembat boarding
penumpang.
“Aku minta maaf.” Dia mengatakan kalimat itu dengan nada yang
menyakitkan sebelum aku naik ke eskalator.
Aku menggeleng “Tidak ada yang salah. Kamu jangan merasa
bersalah.”
“Kamu boleh merindukan ikan koi itu. Kamu boleh merindukanku.”
“Terimakasih. Sekarang aku pergi. Kamu harus selalu bahagia.”
Dia mengangguk “Bolehkah aku memelukmu sekali sebelum pergi
jauh?”
Aku mengangguk.
Kita berpelukan cukup lama.
“Apakah seperti ini caramu membuang sahabat sepertiku?”
“Hmm.” Ucapku di tengah pelukannya.
“Aku juga akan merindukanmu.”
Kemudian kita saling bertatapan. Dia mendekatkan bibirnya pada
bibirku. Aku menunduk. Aku tidak bisa melakukannya sekarang.
Aku melepas pelukannya.
“Aku pergi.” Aku menaiki eskalator. Tidak berani menoleh (lagi)
ke belakang.
Pertanyaanku pada ikan koi sudah terjawab. Sekarang aku hanya
bisa merindukannya. Tanpa mencintainya.
Oktober, 15-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar