Bahkan musim sudah berganti. Sampai bunga liar saja sudah
berlarian menebar aroma kehidupan. Sementara aku masih terkurung masa lalu. Masa
ketika kamu memilih untuk pergi, meninggalkan aku dan keragu-raguanku.
“Waktu akan membuatmu lupa!” Katanya.
Yang benar saja. Kalau hati masih saja bergumam macam-macam,
maka selama apapun itu tidak akan bertemu keikhlasan. Waktu tidak membuat lupa,
aku lah yang seharusnya berusaha seiring berjalannya waktu.
***
“Sepertinya saya harus benar-benar pergi, sekarang.”
Aku akhirnya mengangkat kepalaku yang dari dua menit lalu
tertunduk tak berani memandang wajahmu.
“Kenapa?” Ingin sekali menanyakan itu padamu tapi itu hanya
tertahan di batas antara alam sadar dan alam bawah sadar.
“Karena kamu masih belum bisa menjawabnya, mungkin ini waktu
yang tepat untuk saya.” Kamu mengucapkan kalimat keduamu dengan hati yang
teriris. Aku bisa merasakan itu.
“Untuk apa? Pergi? Apa begitu melelahkan?” Lagi, pertanyaanku
untukmu tak pernah benar-benar kutanyakan padamu.
“Mungkin ini waktu yang tepat buat saya untuk pergi. Biar kamu
gak terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Supaya kamu gak terbebani.”
Senyumanmu diakhir kalimat semakin menegaskan kalau kamu dengan berat hati
memilih untuk berhenti. Aku tahu kamu pasti sangat lelah.
“Maaf.” Justru satu kata pendek itu yang bisa keluar dari
mulutku.
“Bukan itu yang ingin saya dengar.” Kamu memandangku
lamat-lamat.
Dengan pandangan matamu yang sendu, kamu menggenggam tanganku.
Telapak tangan yang dingin. Kuharap hatimu selalu hangat. Seperti sejak pertama
kali kita berjumpa.
“Kamu harus jaga kesehatan. Sempatkanlah tidur, meski hanya 3
jam. Jangan minum soda dan makan pedas terus. Saya tidak ingin kamu sakit.”
Kamu masih menggenggam tanganku dengan telapak tangan dinginmu sementara aku
dari tadi tak ingin mengalihkan pandanganku selain padamu.
“Maaf.” Lagi, satu kata pedih itu yang keluar dari mulutku.
“Sungguh bukan itu yang ingin saya dengar dari kamu. Saya tahu
ada banyak yang ingin kamu sampaikan, tapi kamu masih ragu.”
“Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik. Daripada seonggok
keragu-raguan yang bahkan tidak bisa menjawab pertanyaanmu.”
“Meski yang saya inginkan adalah kamu?” Kamu tersenyum. “Tidak
usah dipikirkan lagi pertanyaan saya. Dia tidak harus selalu dijawab.” Kamu
melepas genggaman tanganmu. “Saya pergi ya?”
“Boleh saya peluk kamu?” Aku tak tahu kenapa aku melakukan itu
padamu.
Kamu mengangguk.
Itu adalah pelukan pertamaku sekaligus terakhirku untukmu.
Karena kamu kemudian pergi. Begitu jauh. Membawa kotak cincin yang tak pernah
sampai padaku.
***
Kini aku merindukanmu. Kamu yang sejujurnya sudah tidak bisa
dirindukan olehku. Maka aku akan terus diam bersama keragu-raguanku. Dan
berharap bunga liar bersedia menghampiriku untuk berlarian dan menari
bersamanya. Aku berharap aku akan bersemi lagi. Menepikan keraguan.
Terimakasih, untuk kamu yang tidak ingin aku sakit.
10/28/2016
10:19 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar