11/04/2016

Bunga Liar


Bahkan musim sudah berganti. Sampai bunga liar saja sudah berlarian menebar aroma kehidupan. Sementara aku masih terkurung masa lalu. Masa ketika kamu memilih untuk pergi, meninggalkan aku dan keragu-raguanku.

“Waktu akan membuatmu lupa!” Katanya.

Yang benar saja. Kalau hati masih saja bergumam macam-macam, maka selama apapun itu tidak akan bertemu keikhlasan. Waktu tidak membuat lupa, aku lah yang seharusnya berusaha seiring berjalannya waktu.

***

“Sepertinya saya harus benar-benar pergi, sekarang.”

Aku akhirnya mengangkat kepalaku yang dari dua menit lalu tertunduk tak berani memandang wajahmu.

“Kenapa?” Ingin sekali menanyakan itu padamu tapi itu hanya tertahan di batas antara alam sadar dan alam bawah sadar.

“Karena kamu masih belum bisa menjawabnya, mungkin ini waktu yang tepat untuk saya.” Kamu mengucapkan kalimat keduamu dengan hati yang teriris. Aku bisa merasakan itu.

“Untuk apa? Pergi? Apa begitu melelahkan?” Lagi, pertanyaanku untukmu tak pernah benar-benar kutanyakan padamu.

“Mungkin ini waktu yang tepat buat saya untuk pergi. Biar kamu gak terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Supaya kamu gak terbebani.” Senyumanmu diakhir kalimat semakin menegaskan kalau kamu dengan berat hati memilih untuk berhenti. Aku tahu kamu pasti sangat lelah.

“Maaf.” Justru satu kata pendek itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Bukan itu yang ingin saya dengar.” Kamu memandangku lamat-lamat.

Dengan pandangan matamu yang sendu, kamu menggenggam tanganku. Telapak tangan yang dingin. Kuharap hatimu selalu hangat. Seperti sejak pertama kali kita berjumpa.

“Kamu harus jaga kesehatan. Sempatkanlah tidur, meski hanya 3 jam. Jangan minum soda dan makan pedas terus. Saya tidak ingin kamu sakit.” Kamu masih menggenggam tanganku dengan telapak tangan dinginmu sementara aku dari tadi tak ingin mengalihkan pandanganku selain padamu.

“Maaf.” Lagi, satu kata pedih itu yang keluar dari mulutku.

“Sungguh bukan itu yang ingin saya dengar dari kamu. Saya tahu ada banyak yang ingin kamu sampaikan, tapi kamu masih ragu.”

“Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik. Daripada seonggok keragu-raguan yang bahkan tidak bisa menjawab pertanyaanmu.”

“Meski yang saya inginkan adalah kamu?” Kamu tersenyum. “Tidak usah dipikirkan lagi pertanyaan saya. Dia tidak harus selalu dijawab.” Kamu melepas genggaman tanganmu. “Saya pergi ya?”

“Boleh saya peluk kamu?” Aku tak tahu kenapa aku melakukan itu padamu.
Kamu mengangguk.

Itu adalah pelukan pertamaku sekaligus terakhirku untukmu. Karena kamu kemudian pergi. Begitu jauh. Membawa kotak cincin yang tak pernah sampai padaku.

***

Kini aku merindukanmu. Kamu yang sejujurnya sudah tidak bisa dirindukan olehku. Maka aku akan terus diam bersama keragu-raguanku. Dan berharap bunga liar bersedia menghampiriku untuk berlarian dan menari bersamanya. Aku berharap aku akan bersemi lagi. Menepikan keraguan.

Terimakasih, untuk kamu yang tidak ingin aku sakit.

10/28/2016

10:19 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar