Senyuman
Semua
terjadi tanpa disengaja. Semacam sinyal kuat yang tertangkap oleh perangkat
dalam tubuhku. Seolah aliran darahku tidak berjalan lancar sehingga menghambat
kepalaku untuk berpikir secara normal.
Sebelumnya,
aku tidak melihatnya sama sekali. Dia menyapa. Aku berlaku sebaliknya. Membalas
sapaannya. Dia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Sudah. Hanya sebatas itu.
Sekarang,
entah mengapa aku mencari-cari alasan untuk bertemu dengannya. Meski hanya
berjumpa di timeline media sosial.
Sengaja menyukai status buatannya. Hal-hal norak seperti itu justru kerap
kulakukan.
Dia adalah
teman kampusku dulu. Hingga satu waktu di semester terakhir, aku mulai
menyadari sesuatu yang aneh dalam diriku tentang dirinya. Namun aku butuh
kepastian dari diriku sendiri.
Setahun
berlangsung sebentar. Dia dengan dirinya dan aku dengan diriku.
Kita
bertemu di kelas bahasa Belanda. Kebetulan kita di kelas yang sama.
Titik balik
itu semua adalah karena seringnya aku bertemu dengannya. Saat aku pertama kali
terpesona dengan ucapannya.
“Banyak manusia yang kuat. Banyak pula dari
mereka yang pura-pura kuat. Jangan bohongi dirimu. Sebagai teman, aku bisa jadi
‘tempat sampah’ yang baik.”
Sejak saat
itu, aku melihat sosok lain yang ada pada dirinya. Yang selama ini hanya melihatnya
sebagai gadis tomboy yang tidak mengerti tentang perasaan. Seorang gadis yang
abai dengan sekitarnya.
Hanya
anggapan.
“Hari ini
sepertinya mau hujan deh.” Ucapan sok tahu yang pada dasarnya hanya basa basi
untuk memulai perbincangan dengannya.
Dia yang
sedang asyik dengan laptopnya menoleh kearahku. Lamat-lamat dia memandang
kearah langit kemudian beralih padaku, tersenyum. Rasanya aku ingin pingsan
saat mendapatinya seperti itu. Tolong jelaskan apa yang terjadi padaku?
“Begitukah?
Kupikir angin akan membawanya pergi segera.” Mendung. Aku tahu apa yang akan
dibawa angin pergi, ya itu adalah awan kelabu yang menggantung diatas sana.
Aku sukses
mencari topik yang membuat dia menutup laptopnya perlahan. Kemudian kita
berbincang tidak tahu menuju kemana.
“Kamu tidak
suka hujan?” Aku juga menutup halaman pencarian di ponsel, mengalihkan
perhatianku hanya pada perbincangan yang kuharap akan panjang.
“Oh ya,
kamu tidak ikut kelas tambahan hari ini?” Dia kini yang mengalihkan topik. Aku
mendengus dalam hati.
“Tidak,”
Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Kamu belum menjawab, apa kamu tidak
suka hujan?” Aku mencoba setenang mungkin.
Meski pada
dasarnya aku adalah cowok cuek yang tidak peduli apa yang dikatakan orang.
Tidak peka dengan sekelilingku. Tapi sejak saat itu, ada beberapa hal yang
berubah. Kini dihadapannya aku menjadi serba salah tingkah. Tidak bisa menahan
tubuhku untuk menjadi panas setiap kali memikirkannya.
Tuhan, maaf
kusuka dia.
Tuhan, maaf
ku seperti ini dengan berlebihannya.
“Banyak
persembunyian, Ram.” Aku suka saat dia memanggilku Ram—Rama Harisy namaku.
Meski aku tak paham dengan persembunyian yang dia maksud. Akhirnya aku
memiringkan kepalaku bertanya.
“Hujan itu
seperti alasan dalam hidup.” Dia menundukkan kepalanya. Aku tahu dia tidak akan
menatap lawan jenis begitu lama. Bukan mahram, katanya. Menghindari dosa. Aku
iyakan saja. Kemudian melanjutkan kalimat indahnya.
“Mengapa
harus berteduh jika hujan? Mengapa harus bertemankan secangkir sesuatu yang
hangat saat hujan? Mengapa harus menatap rintik hujan yang membasahi kaca
jendela kamarmu? Mengapa temaram harus tampak indah setelah hujan datang?
Adakah sisa keromantisan selain hujan?”
“Hujan
tetap tenang meski diperlakukan demikian.” Aku membela mereka yang memanfaatkan
hujan sepertiku.
“Perasaan
tak selamanya tenang meski telah diguyur hujan. Air mata tetap air mata meski
bercampur dengan air hujan.” Aku seolah tertampar dengan ucapannya.
Pernah
sekali aku sengaja menengadahkan wajahku yang berurai air mata di tengah hujan.
Aku diselamatkan hujan. Aku memanfaatkan hujan. Aku bersembunyi dibalik hujan.
Seringkali
aku berlari menjauhi hujan. Menghindari hujan. Mengapa aku menarik ulur hujan.
Apa salahnya?
“Maksud
hujan tak selamanya hujan, Ram.” Dia kembali tersenyum hangat. Hatiku rasanya
sedang dihujami batu es yang menggelitik.
“He he he,
terimakasih sudah mau belajar makna tersembunyi dari hujan.” Aku masih
mendapatinya menunduk. Dia lebih sering menunduk, sehingga membuatku leluasa
untuk memandang puncak kepalanya yang tertutup kain cantik warna abu-abu
kesukaannya.
Tuhan, maaf
ku tak kuasa menahan perasaanku.
Tuhan, maaf
kusuka dia.
“Bagaimana
kabar anjingmu?” Dia menanyakan kabar anjingku. Lalu kabarku? Hmmm~
“Kabar
baik. Coco apa kabar, La?” Coco adalah ikan peliharaannya.
“Dia mati
seminggu lalu. Eh, aku minggu depan sudah gak ikut kelas lagi.” Hah? Apa? Dia
gak ikut kelas lagi? Kenapa?
Kemudian
dia mengatakan bahwa dia tidak akan mengikuti kelas lagi. Lalu, berapa lama
lagi aku harus berdiam menyimpan semuanya sendiri.
“Kuharap
kamu tidak sedih berlarut.” Aku tahu dia gadis yang kuat. Semoga aku juga kuat
untuk tidak lagi bertemu dengannya.
“Aku akan
membeli ikan baru ha ha ha. Aku bukan tipe cewek setia.” Dia memang seperti
itu. Berbicara dengan siapapun, Rala akan selalu menekankan bahwa dia tidak
ingin menjalin hubungan dengan siapapun.
“Kamu
kenapa tidak datang ke kelas lagi?” Kuberanikan diriku untuk bertanya.
“Sejak
kapan seorang Rama Harisy jadi kepo begini?”
“Ah kamu
La, kan kamu tahu sendiri di kelas aku kayak kambing ompong. Tak ada kamu
artinya aku makin ompong.”
“Mulai deh
merendahnya. Aku mau bersemedi satu tahun di salah satu taman baca di tempat
yang lebih tenang.” Kemudian dia tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya
yang sama sekali tidak membuatku tenang.
“Setahun
banget ya La? Bolah tidak aku mengunjungi temanku nantinya?” Kali ini
senyumannya penuh arti. Aku yakin dia pasti memikirkan sesuatu.
“Bagaimana
jika aku tidak mengijinkanmu kembali?” Aku tahu dia sedang bercanda. Tapi aku
membalas candaannya.
“Dengan
senang hati aku akan tinggal.” Kulihat senyumnya sekali lagi. Matanya menjadi
ciut dan terlihat begitu menggemaskan.
Tidak
terasa kita sudah duduk berhadapan selama lebih dari setengah jam. Rasanya aku
ingin lebih lama lagi mengamatinya. Memandang senyumnya. Melihat kepala yang
lebih sering menunduk daripada memandang wajahku yang rasanya sudah seperti
udang rebus.
Entah
mengapa setiap kali aku bertemu dengannya, mendadak aku menjadi tidak keren dan
salah tingkah. Aku menjadi ingin tahu lebih tentangnya.
Hening
beberapa menit. Hingga dia meminta ijin untuk pulang. Rasanya aku ingin
memborgol tangannya. Agar dia tidak pergi. Ya, tapi kepalaku masih bisa
digunakan berpikir. Yang ada jika aku memborgol, bisa saja dia meronta ingin
dilepaskan. Jadi aku membiarkannya pergi. Kulambaikan tanganku pelan.
Tuhan, maaf
nafsuku seharusnya tak begitu.
Tuhan, maaf
kusuka dia.
“Keep in
touch ya, La.” Dia mengangguk dan melihat kearahku lebih lama tiga detik
dibandingkan sebelumnya, tidak lupa senyumannya.
Aku akan menunggu
lebih lama untuk melihat senyumannya secara langsung. Kuharap dia akan
sering-sering mengupdate status atau mengganti foto profilnya agar aku tahu
apakah dia baik-baik saja atau sedang merindukanku.
Punggungnya
menghilang.
Sampai
jumpa lain waktu wahai pemilik senyum yang memabukkan.
“Hati itu
seperti otot. Semakin dia terlatih, semakin dia kuat dan keras.”