9/08/2014

KEBAHAGIAAN


Aku telah bersalah kepada yang terhormat mereka yang pernah membaca tulisanku. Karena seharusnya aku tidak menulis sesuatu yang buruk, sesuatu yang membuat sedih, sesuatu yang menyesakkan, ataupun yang mengecewakan sekaligus membuat hati para terhormat marah. Sungguh aku minta maaf. Aku minta maaf karena tidak menepati janjiku…

“Promise Yourself
To be so strong that nothing
can disturb your peace of mind.
To talk health, happiness, and prosperity
to every person you meet.
To make all your friends feel
that there is something in them
To look at the sunny side of everything
and make your optimism come true.”
-Christian D. Larson-

 Bukan, itu bukan janjiku. Aku hanya menyimpan perkataan seorang yang mulia bijaksana itu di salah satu laci meja belajarku—yang sesungguhnya tak pernah kumiliki—dan sesekali membacanya dalam diam.

Maaf kepada sahabat yang harus membagi kekhawatiran karenaku. Maaf kepada sahabat yang marah karena khawatir denganku. Maaf kepada sahabat yang lelah memberitahuku. Maaf seribu maaf belum pernah membahagiakanmu. Maaf karena aku telah membagi ketidakbahagiaanku kepada sahabat yang membahagiakanku. Betapa buruknya ini. Ah lagi-lagi aku menulis sesuatu yang akan membuat yang pembaca terhormat merasa iba. Kata maaf sebaiknya tidak terucap oleh mereka yang sudah berniat buruk untuk mengucapkannya lagi lain kali saat melakukan kesalahan yang sama. Ah dasar kehidupan.

Tetapi jangan mengucilkan maaf. Kata itu adalah bentuk kebahagiaan (bagi sebagian orang). Tentu saja ribuan bakan jutaan bentuk kebahagiaan yang dimiliki masing-masing manusia. Atau bahkan ciptaan Tuhan yang lain. Bahagia tidak harus tertawa? Bahagia tidak harus pamer deretan gigi rapi? Bahagia tidak harus melengkungkan senyum khas lelaki? Ironis. Sungguh semua itu terserah mau seperti apa bahagiamu. Tapi kumohon. Pahamilah, bahwa menangis juga bahagia. Diam pun. All money can buy? Not for happiness. But you’ll be happy with money.

Kebahagiaan setiap hamba berbeda. Bisa saja seorang merasa bahagia saat mendapatkan tugas untuk melakukan spionase ke salah satu perusahaan musuh. Bisa saja seorang wanita kaya raya merasa bahagia saat kucing kesayangannya memiliki anak, bayi kucing. Bisa saja seorang kakek sebatangkara merasa bahagia saat selang infus, kateter, merasuk ke dalam tubuhnya, karena yakin dengan begitu maka dengan segera ia akan menemui istri tercinta yang pergi terlebih dahulu. Bisa saja seorang gadis setengah matang merasa bahagia saat hemoglobinnya cukup untuk dapat mendonorkan darah yang dinantinya selama beberapa tahun karena obat terkutuk. Bisa saja seorang sahabat merasa bahagia saat nasihatnya didengarkan. Bahkan bisa saja pada saat mereka menikmati waktu dengan percuma meskipun hanya dengan percuma, maka belum tentu semua orang bisa mengatakan itu membuang waktu. Karena mereka menikmati, maka kenikmatan itu adalah salah satu bentuk kebahagiaan. Well happiness isn’t only what you want to get ambitiously then you running well on it.

“Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.” Mahatma Gandhi

Bentuk kebahagiaan tidak dibentuk secara massal. Tapi diberikan secara cuma-cuma. Jika menyadari. Jika peka.




9/05/2014

PENGAKUAN


Sudah terlalu jauh. Jaraknya.

Sudah susah menggapai. Keberadaannya.

Bohong jika dia tak ingin menyentuhnya. Tapi tak sanggup.

Bunga yang tak bernama ini malu menyapa bunga Anggrek yang dikelilingi ribuan anggrek yang lain.
Bunga tak bernama ini salah. Dia yang pertama menjauh. Memberi jarak.

Bukan tanpa alasan, karena sudah banyak anggrek yang lain disana. Bunga tak bernama ini merasa tak nyaman.

Hingga akhirnya jarak yang dia berikan menjadi semakin lebar. Dia terhenyak. Membiarkan.
Bukan tak mau berusaha. Bunga tak bernama ini sudah berusaha menyapa.

Bunga tak bernama ini sudah menahan malu. Tapi memang sudah tak sama.

Jika memang tidak bisa, maka dia tidak memaksa.

Jika memang tidak mau maka tidak usah dipaksakan.

Dia mengaku menyesal. Menyesal akan rasa tak nyamannya. Dulu.

Sesama bunga bahkan tak bisa bersama.

Tuhan sengaja menciptakan perbedaan agar mereka bersama. Memberikan tampilan warna yang berbeda. Agar tidak bosan. Tapi rasanya sudah terlambat. Bunga tak bernama ini sudah terlalu nyaman dalam sokongnya.

Pengakuan tak tertulis dinyatakannya padaku. Aku diam. Tak berkomentar. Dia menangis. Mengaku dalam tangis. Bunga tak bernama yang malang. Dia mentragisi dirinya sendiri. Dasar kehidupan.



9/02/2014

Tidak Sadar

Manusia terkadang tak sadar atau bahkan sengaja dengan perkataan yang keluar dari mulut manisnya. Mungkin sudah menjadi kebiasaan? Seperti halnya senyuman. Tersenyum bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan secara spontan tetapi sudah tertanam. Entahlah siapa yang mengatakan itu. Begitu pula diriku yang tak mudah tersenyum kepada orang lain, karena pada dasarnya nggak suka tersenyum. Mungkin karena itu pula jadi wajahnya ikutan boros daripada umurnya. *tsah*


Tak menyadari atau terlambat menyadari memang sedikit menjengkelkan, salah sendiri tidak hati-hati. Sesumbar. Sering kali terlambat menyadari kalimat yang sepuluh menit tadi, sehari yang lalu, satu tahun yang lalu, adalah kalimat-kalimat sesumbar. Dan sesumbar bagi sebagian orang dikatakan menjadi motivasi untuk bergerak. Tapi bagi sebagian lagi, sesumbar menjadi langkah mati, saklek, habis solar. Sudah koar-koar kanan dan kiri, sudang pasang toa penggembira, ternyata semuanya gagal, ternyata semuanya tak sesuai. Mending sih menyadari, daripada keterusan. Yah ini mengingatkan diri saya sendiri untuk tidak terbiasa sesumbar dan menjaga kalimat yang akan diucapkan untuk dicena baik-baik terlebih dahulu sebelum tercetus indah, terbawa angin pula. Yakali angin kebahagiaan oke-oke aja, kalau yang lain—naudzubillah. Semoga kita hamba yang berjalan ijtihad di jalan rasul selalu mendapat syafaat dari Tuhan saat melakukan khilaf. Astaghfirullahaladzim.

Begitu banyak ketidaksadaran lain yang terkadang membuat manusia lupa, kemudian menjadi bibit, bakal dendam di hati orang lain, yang justru itu membuat ketidakbahagiaan kerap datang tanpa dinyana. Sesungguhnya tidak baik dan tidak pernah baik menyimpan dendam, karena hati akan menjadi keras dan meluluhkan kasih sayang seorang hamba. Maka wahai hamba maafkanlah salah hamba yang disengaja maupun tidak, baik lisan, sms, telfon, perbuatan atau apapun yang mengganggu ketenangan hati wahai anda, mohon dimaafkan. Meski tak santun memohon kepada yang lain sedang tak pernah memohon ampun pada Sang Maha Memberi ampunan dan maaf, Tuhan semesta alam, Allah SWT. Bersama saling mengingakan, bersama saling belajar, bersama saling berjajar beriringan dalam tauhid. 

Masa Lalu (belum tentu) Tegak Lurus dengan Masa Depan

Dini hari, tepat pukul 3 pagi aku terbangun. Kemudian mulai melakukan ini dan itu. Entah mengapa aku menyempatkan untuk menulis ini setelah melakukan ini dan itu tadi. Dan ternyata aku punya janji untuk bercerita tentang sosok-sosok hebat yang kutemui sekitar dua minggu yang lalu di Nganget.

Berlanjut pada cerita kedua. Tentang seorang pria yang berusia lebih dari setengah abad yaitu, Mbah Mu’in. Mbah Mu’in berusia 67 tahun. Hanya karena jari tangan dan kakinya sudah tak lengkap maka selesai berkarya, JANGAN. Mbah Mu’in memiliki usaha sendiri yang begitu mengesankan. Usaha kecil-kecilan katanya, mebel. Tinggal dirumah sederhana dan bahagia. Beliau bertemu dengan istrinya di rumah sakit tempatnya dirawat—sama-sama dirawat di rumah sakit yang sama.

Ada nilai kehidupan yang bisa diambil dari cerita yang disampaikan beliau. Yaitu tidak ada batas kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Begitu juga pada beliau, dulunya merupakan peminum kelas berat, penjudi kelas atas. Mbah Mu’in bercerita bahkan kerap keluar-masuk penjara. Masa mudanya sungguh kelam, dan jika mengingatnya, bergunung-gunung rasa sesal tak akan mengembalikan masa lalu. Semua itu hanya kenangan dan tinggal cerita. Tidak harus tenggelam dalam kubangan kelam. Agar tidak terus merasa bersalah dan menyesal pada masa lalu diri sendiri. Masih ada dan akan tetap ada kesempatan untuk berubah. Karena masa lalu belum tentu tegak lurus dengan masa depan. Begitu pula dengan mbah Mu’in, beliau sekarang berubah, karena Tuhan dengan bahagianya memberikan kesempatan kepada hamba yang meminta. Hamba meminta, Tuhan memberi. Mbah Mu’in sekarang adalah ahli shalat, rajin ibadah, semata-mata bukan karena pujian sesama hamba, melainkan beriman kepada sang pemilik kehidupan.


Tapi alangkah indahnya jika berjalan lurus, dengan tauhid, dengan kepercayaan pada Tuhan. Dengan senyum merekah di masa lalu dan bahagia selalu di masa depan. Selalu. Dan tidak perlu Tuhan mengingatkan dengan ujian, dengan cobaan, dan rintangan besar yang memberatkan. Karena dari awal sudah tertulis dalam kitab suci bagaimana balasan yang akan dinobatkan.

9/01/2014

Kesempatan Itu (selalu) Ada


Aku ingin berterima kasih kepada Komunitas Peduli Kusta Universitas Indonesia (Leprosy Care Community). Bingung harus berterimakasih dengan cara apa? Akhirnya aku memutuskan untuk menuliskannya. Semoga dapat menyampaikan rasa terimakasihku. Thanks for this precious opportunity 5th International Work Camp.

 Aku ingin bercerita satu per satu sosok hebat yang mengajarkanku nilai-nilai kecil kehidupan. Sosok-sosok hebat yang kutemui di perjalanan singkatku bersama beberapa campers Indonesia dan campers Jepang. Yang pertama adalah mbah Usrek, beliau berusia 60 something. Yah sebuah prediksi yang beliau sendiri tidak mengetahui berapa usianya sebenarnya. Jaman dulu kan nggak penting gitu ya nyatet tanggal beserta tahun lahir. Sebenarnya siapa sih mbah Usrek? Namanya beneran mbah Usrek? Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan nama itu? Nggak juga sih, hanya saja ‘Usrek’ dalam bahasa jawa artinya banyak tingkah. Sedangkan aku belum sempat menanyakan arti nama beliau sebenarnya, belum sempat. Bisa saja arti namanya adalah kejayaan kota tunggal di jaman Romawi dulu. Who knows? But her name just too unique so my heart caught by her.

Mbah Usrek adalah sosok ceria pertama yang aku jumpai di Nganget (5th IWC). Meskipun usianya sudah segitu, namun kondisi beliau masuk dalam kategori sehat. Dengan masih bisa berjalan mengambil makan ke panti untuk sarapan dan makan siang. Walaupun terkadang beliau dibantu dengan sebilah kayu sederhana untuk berjalan—menguatkan sendi kaki yang sering linu-linu. Yah kata beliau itu penyakit orang tua. Bisa saja bercandanya. Memang tidak dapat dipungkiri sendi-sendi tua disertai dengan penyakit seperti asam urat, pegal linu, dan lainnya.

“Mbah….dari mana?” Panggilan mbah adalah panggilan sayang kepada setiap warga yang usianya more than fifty. Sore itu aku dan salah seorang temanku bertemu beliau di dekat panti.

“Nyari kayu, nduk.” Kemudian kami bersalaman.

“Coba tebak aku ini siapa mbah?”

“Yo nggak inget. Sudah tua, susah ingat-ingat.” Dengan nada ceria jawaban beliau membuatku tertawa kecil.

“Kopi mbah. Inget ya, Pait. Jadi mbahe biar gampang ingetin nama saya.”

“Oh iya pait.”

Yah percakapan-percakapan enteng seperti itu yang justru terus teringat. Lawakan garingku justru yang paling nempel di hati. Lagi-lagi mendapat kesempatan berharga, dengan berbagi kebahagiaan. Kata beberapa warga sih, kedatangan kita menjadi obat rindu mereka kepada keluarga jauh yang jarang menjenguk atau bahkan nggak pernah (lagi) menjenguk. Kesempatan itu selalu ada, apalagi kesempatan untuk berbuat kebaikan, tidak akan pernah ada batasnya. Juga mbah Usrek yang tak bosan-bosannya memberikan wejangan-nasihat kepada kami untuk tidak semena-mena dengan hidup. Untuk selalu menghargai hidup sebagaimana hidup yang tidak pernah menyia-nyiakan sang pemilik kehidupan. Selagi muda, selagi masih hidup, maka itulah kesempatanmu untuk memperbaiki yang salah, memperbaiki yang tidak benar. Kesempatan itu selalu ada.