3/29/2015

Dia (masih) Takut

Dia (masih) Takut
Perkenalkan namaku Adi.

Aku sedang iri pada bunga. Beruntungnya putik yang bertemu benang sari di tangkai bunga yang sama. Tidak usah khawatir dan bertanya-tanya siapa jodohnya. Tapi aku, justru dengan angkuhnya tidak bisa menjaga hatiku dan terlalu berharap. Mohon Allah, ampunkanlah.

Mungkin karena aku terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan padaku kepedihan dari sebuah pengharapan. Karena Allah mencemburuiku yang berharap selain Dia (Allah). Agar aku kembali berharap dan berdoa pada-Nya.

Aku berusaha sebaik mungkin untuk menjaga hati agar aku menjaga nafsuku untuk memilikinya. Karena dia (masih) takut dengan hubungan dengan penuh komitmen. Dia belum pernah berkomitmen sebelumnya. Aku lelaki, aku tidak akan membiarkannya diberi status pacar, kekasih, atau semacamnya, karena aku hanya ingin memberinya status sebagai istri. Aku dapat untung dari perasaannya yang (masih) takut itu, mungkin itu juga kesempatanku untuk memantaskan diri, waktu untukku menambah bekal, menambah kemapanan, dan tidak memberinya keraguan.

Aku terus berdoa dan memohon, semoga diberikan keberuntungan dari Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa ummat yang segan berdoa pada-Nya. Sebaliknya Allah benar-benar tidak menyukai mereka yang angkuh tidak berdoa sedangkan mereka marah saat sesuatu yang dicintai diambil oleh Allah. Apakah itu naluri manusia sebenarnya? Sombong dan suka mengeluh? Sombong dan tidak tahu terimakasih?

Ya, harusnya aku tidak boleh mengeluh, hanya karena aku selalu bertemu dengannya di tempat kerja. Mungkin dengan keadaan itu aku bisa dengan segenap kekuatan menjaga hati untuk tidak lancang dan tetap konsentrasi. Lalu mengapa aku begitu yakin? Karena aku akan berusaha untuk meyakinkannya. Meski aku belum mengungkapkan perasaanku. Aku akan mendatangi orang tuanya, dan mengatur harinya, kemudian setelah halal, aku akan mengatakan aku mencintainya dan akan selalu membimbingnya.

Aku percaya. Jika Allah menghendaki maka terjadilah, jika tidak maka aku tidak akan marah. Toh semua dibagi-bagi. Ibarat zakat, maka yang berhak menerima akan mendapat jatahnya. Begitu pula dengan dia, jika dia untuk aku maka akan terjadi. Aku tidak akan mendispersi perasaanku hanya karena nafsu. Aku berusaha atas ijin Allah.

Denok, bismillah, semoga hariku dan harimu selalu baik. Sebaik hatimu yang tetap menjaga hati untuk seseorang—entah siapa. Sebaik hati ummat yang segan berdoa dan memohon pada Allah. Denok, tunggu aku datang menemui orang tuamu, kumohon jangan lari.

Note: Kak Adi, lo kenapa nyuruh cewek--anggap gue cewek--nulis ginian? Gue keringet dingin nulis ini 20 menit. Sialan lo. Udah nih. Langsung ke rumah doi aja deh kak mendingan lo. Curhat mulu. Gak capek apa tuh perasaan?





3/24/2015

Dongeng Patah Hati

Dongeng Patah Hati

“I was blind and heart-broken and didn't want to do anything and Gus burst into my room and shouted, "I have wonderful news!" And I was like, "I don't really want to hear wonderful news right now," and Gus said, "This is wonderful news you want to hear," and I asked him, "Fine, what is it?" and he said, "You are going to live a good and long life filled with great and terrible moments that you cannot even imagine yet!”

Kutipan diatas adalah perbincangan Augustus dengan Issac dalam buku karangan John Green, The Fault in Our Stars, saat Issac putus cinta. Patah hati karena dia akan buta dan tidak bisa mengatakan “forever” kepada pacarnya, dan pacarnya memilih untuk mengakhiri hubungan “(un)forever” itu.

Ya, memang tidak mudah mengatakan “goodbye” dan tidak mudah pula mengatakan “hello”. Tapi mereka adalah orang-orang pilihan yang berani mengambil resiko dengan mengucapkan “goodbye”, karena mereka akan mendapatkan hadiah “hello” yang baru.

Perasaan yang hadir enam tahun ini akhirnya kandas, luruh, runtuh, tak tersisa. Terimakasih untuk berita terkutuk itu yang sudah membangunkanku dari mimpi. Meski sebelumnya (3 tahun lalu) pernah bangun, tapi jatuh dan mimpi lagi. Tapi sekarang kurasa waktu yang paling akhir untuk bangun. Aku tidak akan menoleh padamu, ingin tahu tentangmu, atau mengenai berita apapun tentangmu. Maniak sepertiku tak ingin berterimakasih padamu, karena enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Karena toh semuanya akan berakhir, akan selalu ada akhir. Semua adalah kesalahanku, karena mempercayai perkataan tipu-tipu yang keluar dari mulutmu. Meski bukan waktu yang singkat, aku sangat yakin, tidak ada rasa yang tertinggal di benakku.

“Love isn’t about existence. Love is when you can freely loving what you love. And I don’t believe that kind of love” –Anon, 2015-

“It isn’t about time. It’s all about your bluffing all this time in front of people who really love you no matter what. But you broke it at the very right time. It was broken.” –Anon, 2015-

Kita semua mengharapkan masing-masing kalian bahagia. Tapi bukan menjilati ludah sendiri sepertimu. Cukup tahu saja kamu tidak cukup baik untuk nya. Kamu tidak cukup pintar untuk sarjana Filsafat sepertinya. Dia berhak mendapatkan yang lebih baik, pintar, dan bertanggung jawab, ketimbang kamu. Yang berbicara dusta di media, hidup dalam drama, menyiksa perasaan, bersikukuh ingin membodohi waktu, tolonglah kamu segera bicara jika bukan pengecut. Sudah jelas semuanya, yang kamu katakan selama beberapa tahun ini hanya untuk kebaikan pamormu.

Ya, kita memang bermimpi, berharap. Karena memang mimpi memberi harapan, bukan kepastian. Dan kita terlukai oleh mimpi, luka hadir untuk dirasakan. And we need healer. We’ll recovery very soon. Our new live is beginning. Our new sheet is coming. Brand new us.

“Daf, semangat ya.”

“Thanks kak. Aku bersyukur bertemu keluarga baru yang selalu mendukung satu sama lain saat sedang terpuruk seperti ini.”

“Mereka mempertemukan kita, daf. Menyatukan kita. Mengijinkan air mata kita menetes. Mengijinkan senyum kita merekah. Dia mengakhiri semua. Kita tidak akan berakhir. Hanya mimpi bodoh itu saja yang kita akhiri.”

“Iya kak. Dia ternyata cukup ahli untuk hidup dalam dramanya. Tidak cukup berani untuk bicara. Tidak cukup lantang untuk mengiayakan. Ingat sebelumnya?”

“Mm-Hm. Ramadhan yang pilu bukan?”

“Hmm. I just want to laugh out loud. He isn’t interesting and catchy anymore.”

“Ha ha ha, pathetic. Just forget about him. Life is must go on, dear. Cheerful, and see you. I miss you. Let’s spend holiday someday.”

“Sure, we will.”

Ya rasanya sakit. Kalian yang sudah pernah merasakan patah hati, pasti mengerti apa yang sedang kurasakan. Saat tanpa sengaja mengingat sesuatu tentangnya, spontan air mata tumpah. Itu tidak diperintah. Hati bergemuruh. Keringat dingin membuat kesal. Hari-hari rasanya sesak dan membosankan. Tapi, bukan orang bijak yang terjebak dalam patah hati. Bangkitlah ambil dompet dan belilah kitab suci. Baca, rasanya itu lebih indah daripada larut dalam kesedihan yang tidak penting. Toh dengan patah hati, aku bisa lebih menghargai hatiku untuk tidak serta merta dengan mudahnya masuk ke mulut kadal bunting. Ingatlah bahwa nafas yang selalu kalian hirup adalah dari Tuhan. Patah hati karena manusia aja sakit, bagaimana jika patah hati karena jauh dari Tuhan. Pikirkan baik-baik.


Dongeng patah hati untuk yang tersakiti. Selalu ada makna dibalik peristiwa.

3/14/2015

Hati ini Lelah dengan yang Lalu. Tak bisakah Kau Carikan Aku yang Baru?

"No one ever gets tired of loving. They just get tired of waiting, assuming, hearing lies, saying sorry and hurting" -Frank Ocean-
Sudah satu windu setelah hari itu. Hari yang sangat tidak luar biasa. Kuharap aku bisa melupakan hari yang tidak bersejarah itu. Hari yang tidak memberiku manfaat apapun. Tapi apa? Aku justru terus mengingat dan hapal setiap menit atau bahkan detik segala hal yang terjadi pada hari itu. Masa lalu. Akhir hubunganku dengannya.

Sekarang. Terkadang aku berpikir untuk tahu bagaimana masa depan. Ah perempuan memang suka naïf. Di masa sekarang dimana aku sudah setengah hati melupakan perasaan yang dulu pernah ada (sepertinya sekarang juga—sisanya), dia datang. Untuk apa? Entahlah. Mungkin aku terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepalaku. Andaikan perasaan itu seperti siklus hidrolistik. Sayangnya tidak.

“Seli. . .” Aku menatap matanya yang sayu dan penuh rasa bersalah.

“Ya?” Aku memberikan senyum terbaikku meski aku jarang melakukannya.

“Maafkan aku yang melukaimu. Mungkin aku tidak bisa mempertahankan hubungan kita.” Dia mengatakan kalimat yang meyakinkan itu dalam keraguan. Pikirku naïf.

“Apa Ram?” Aku mencoba memastikan bahwa Ramdan tidak sedang mabuk. Ya, dia tidak minum minuman keras. Kuharap pada saat itu dia sedang tidak kerasukan. Tidak. Itu siang bolong. Kuharap pada saat itu aku tidak berada disana.

“Maafkan aku, Sel. Aku berharap kita tetap bisa jadi teman baik nantinya?” Apa telingaku tidak salah dengar dia mengatakan itu?

‘That was a fuck kitty shitty holy shit words ever.’ Teman baik katanya.

Setelah hari itu, aku mengabaikan hari-hariku tanpanya. Hatiku masih sakit. Sakit? Entahlah perasaan yang tidak biasa. Seperti dikhianati perasaan yang dikatakan jatuh cinta? Perasaan yang katanya fitrah itu tidak toh selalu berakhir manis. Permen saja rasanya macam-macam. Yakali perasaan juga punya. Aku merasa bersalah pada hari-hariku.

Setelah mencoba berdamai dengan sakit hatiku. Aku berusaha berpura-pura  menjalani hari-hariku dengan baik. Bahkan hingga lupa aku hidup dalam kepura-puraan atau keikhlasan. Aku sudah membaik dibandingkan awal akhir itu. Sekarang, aku sudah sangat baik. Aku sempat berpikir untuk menutup rapat hatiku. Tapi aku tahu itu bukan pilihan yang tepat karena aku selalu penasaran dan membuka kecil celah di lapisan luarnya. Mencoba menerima tawaran, bahkan sempat mencari.

Aku lelah terbayang masa lalu. Aku bohong jika mengatakan aku sudah melupakannya. Meski aku bersikukuh aku sudah memalingkan wajahku, tapi dengan tanpa bersalahnya dia datang (lagi), kemudian pergi, dan kembali. Ya, aku sudah memaafkannya. Maksudku mencoba memaafkan dan tidak menganggap dia bersalah. Lalu siapa yang salah? Tidak ada perasaan cinta, sayang, suka, yang sesungguhnya jika mereka menghakimi. Karena perasaan tidak bisa dipaksa. Jika aku memaksa untuk merasa baik-baik saja, maka aku perlu kekuatan lebih dan waktu lebih. Seperti halnya jika aku memaksa diriku untuk menemukan yang baru dan. Hanya saja, aku berharap dia tidak datang-datang lagi. Datang dan pergi sesuka hati. Mungkin karena aku juga yang membukakan pintu.

Tidak semudah itu kata maaf menyelesaikan masalah. Ada banyak maksud dibalik kata. Begitu pula dengan gambar. Ada begitu banyak makna didalamnya. Seperti halnya simbol. Ada begitu banyak cerita dibalik sejarah yang belum terungkap. Itulah perasaan manusia. Perempuan. Yang suka menyembunyikan perasaan.

Baiklah. Hatiku lelah. Carikan aku yang baru. Yang menerima aku apa adanya. Yang rela menungguku saat bersiap untuk jamuan makan. Yang meluangkan waktunya untuk mendengarkan ceritaku, bukan yang hanya ingin berbagi cerita padaku. Yang menuntunku berkalung iman dan kebahagiaan. Yang ikhlas mencintaiku. Yang sudah dituliskan-Nya untukku.

Aku bukan tempat sampah. Jangan jadikan aku tempatmu mengumbar isi hatimu. Aku juga punya perasaan. Ya.




3/08/2015

Transportasi Pelajaran

Transportasi Pelajaran

Setelah seharian kabur dari Surabaya, rasanya ingin mimpi saja balik ke Surabaya. Tapi tidak, Surabaya bukanlah tempat semengerikan itu. Meski panas menyengat, macet tak berkesudahan. Membuat kuku para pejalan kaki, trotoar yang ew. But that’s the challenge of Surabaya. Enjoy Surabaya. Selain pengendara yang kurang toleran (khususnya pada pejalan kaki), Surabaya juga menawarkan sisi lain kok. Terlebih transportasi umum yang suka seenak djidat berhenti dan mendahului. Ha ha ha, damai deh Surabaya. Kamu udah kasih eike (sedikit) kenyamanan dan sisi lain dari gelapmu.

Transportasi umum. Ya, manusia normal identik dengan alat transportasi. Ya kalau sudah bisa teleportasi gak butuh lagi sama yang namanya alat transportasi. Apa aja? Mulai dari kaki sendiri sampai jet pribadi. Seperti halnya Surabaya. Kurasa manusia di Surabaya normal. Mereka menggunakan alat transportasi. Saya (anak rantau) ikut merasakan sensasi transportasi umum—sebut saja angkot—di Surabaya. Alat transportasi yang cocok bagi kantong jobless macam saya. Jika kalian ingin mendapatkan sisi lain dari Surabaya, buat apa pergi ke mall? cukup gunakan angkutan umum.

Saya suka perjalanan, baik jalan kaki atau naik karpet terbang. Kemarin secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang ibu (yang tak sempat bertanya namanya) bersama dua orang anak laki-lakinya yang menaiki angkot sama. Saya kategori manusia yang gatel mulutnya kalau diam. Saya dengan enteng bertanya ke Ibu tersebut.

“Adek kelas berapa buk?” Tanya saya pada salah satu anaknya si Ibu. Adeknya diam dan memandang saya seolah takjub.

Ibu tersebut menggeleng dan tersenyum. Yang mana berarti anak yang saya tunjuk belum bersekolah.

“Kalau adek?” Saya bertanya anaknya yang lain.

“Kelas lima.” Jawabnya pelan. Ibu tersebut tersenyum.

Karena tinggi kedua anaknya tidak jauh berbeda, kenapa perbedaan tingkat pendidikan mereka jauh? Saya mulai curiga ada yang tidak beres dengan anaknya yang belum bersekolah—dan saya tercengang ketika tahu umurnya sudah delapan. Ternyata benar dugaan saya, anak si Ibu yang namanya Syelwi (laki-laki) dengan wajah tampan dan polos, kulit putih dan bulu mata lentik.

“Anak saya autis. Dia belum bisa sekolah, padahal kalau di rumah bisa ngaji, baca bismillah lengkap. Bisa berhitung. Tapi pas di tes di sekolah ABK, dia diam tidak jawab sepatah kata pun. Hanya menatap wajah si penanya. Tahan tanpa berkedip.” Cerita sang Ibu dengan panjang lebar. Saya terhenyak di kursi penumpang yang berhadap-hadapan dengan beliau. Setelah saya rasa bisa mengatasi hati saya yang mendadak sakit mendengar cerita si Ibu.

“Sudah pernah terapi kan bu, tapi?” Pertanyaan bodoh. Tentu saja sudah. Saya hanya bingung mau melanjutkan perbincangan ini dengan kalimat apa.

“Dulu, saya terapi dia (si anak) di Menur (nama salah satu rumah sakit di Surabaya). Tapi karena keterbatasan biaya dan jarak dari rumah yang jauh saya memutuskan berhenti. Kasian anaknya sebenarnya. Tapi mau gimana lagi? Udah nggak ada bapak, saya kerja di rumah penghasilan cukup pas-pas an, biayai anak yang satunya sekolah. Alhamdulillah masih bisa makan…” Saya mengangguk-angguk menunggu si Ibu melanjutkan kalimatnya yang menggantung.

“Tiap bulan, 600 ribu, saya dagang gorengan di rumah, disambi jagain Syelwi, udah capek mbak dia lari-larian. Kalau ngajak ngomong gak dijawab dia kadang suka marah. Tapi tiap ketemu orang baru, dia diam. Ya dapat dari mana saya 600 ribu tiap bulan, kalau hutang orang saya gak bisa bayar.”

‘Ya Tuhan, betapa kuatnya ibu ini dengan keistimewaan yang dimiliki anaknya, bekerja keras seorang diri, mengharapkan keajaibanmu. Beri Ibu ini selalu berkahmu.’ teriak saya dalam hati.

Saya mendadak teringat salah satu sindrom dimana orang tersebut akan merasa ciut bertemu dengan orang baru.

“Syelwi ada sindrom asperger gak buk?” Ibu tersebut menggeleng kurang tahu.

“Ya mungkin nanti kalau adik Syelwi sudah siap juga bisa sekolah seperti yang lain.” Ibu itu menggangguk.

“Makasih mbak, ya kan gak ada kata terlambat.” Skakmat. Fix banget nih ibu bikin saya terharu.

“Alhamdulillah, sekarang Syelwi masih rutin terapi pijat di puskesmas dekat rumah. Ya kalau ada rejeki saya terapikan dia. 20 ribu mbak, kadang juga pikir-pikir.” Mendengar penjelasan si Ibu, rasanya saya ingin menguliti diri sendiri, menyobek pakaian yang saya kenakan.

Bagaimana bisa saya menghabiskan uang lebih dari dua puluh ribu hanya untuk makan siang atau hanya untuk naik taksi. Sementara didekat saya begitu banyak mereka yang kekuarangan. Rasanya saya malu sama Allah. Semoga saya diberi pengampunan.

Ya Allah, betapa tegarnya si Ibu, menghidupi dua orang anaknya dan dirinya sendiri dengan hanya mengandalkan dagang gorengan di rumah yang kadang suka tidak habis. Betapa sangat bersyukurnya beliau dengan selalu beribadah dengan senyumnya. Bahkan saat bertemu orang baru macam saya, muka slengekan dan gaya amburadeul. Beliau kemarin mau berangkat ke tempat pengajian. Karena tidak ada yang menjaga anaknya di rumah, beliau mengajak serta kedua anaknya. Saya merasa begitu tidak bersyukurnya dengan kehidupan yang baik kepada saya. Ampunkanlah.

Saya mengambil banyak pelajaran dari setiap perjalanan. Perbincangan dengan orang baru. Saya sedang berusaha menjadi pendengar yang baik. Angkot juga tak kalah hebatnya selalu memberikan kejutannya bagi saya. Terimakasih Surabaya tidak menakuti saya hari itu. Semoga saya diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya Syelwi—sepertinya rumahnya dekat jalan semarang stasiun pasar turi Surabaya.


Ijinkan saya menangisi kejahatan yang saya lakukan pada diri saya sendiri.

Perjalanan Pendekatan

Selalu ada pelajaran baru di setiap perjalanan. Selalu ada hal baru yang membuat para penjajah ruang dan waktu tidak bosan berjalan. Menyisir dari hulu ke hilir, dari bukit ke lembah.

Menempuh perjalanan dengan teman baru adalah salah satu cara yang tepat untuk lebih bisa mengenal satu sama lain. Ada beberapa alasan yang menjadikan perjalanan sebagai alternatif pendekatan (PDKT) dengan partner baru a la daf.

1.      Kalian Berbicara lebih Internsif
Saat kalian berpergian dan ada di tempat yang baru maka masing-masing dari kelian akan asyik bertanya satu sama lain, meski kalian mengandalkan browsing, tapi dengan begitu kalian berbagi informasi yang membuat kalian terlibat dalam pembicaraan panjang. Maka tanpa sadar pembicaraan kalian makin intensif dan tidak lagi canggung satu sama lain.

2.     Kalian Terlihat Bodoh
Pasti ada waktu dimana keheningan menghampiri kalian, makan salah stau dari kalian akan tertawa dan disusul tawa yang lain. Lalu kalian akan mengisi keheningan dengan bahan candaan yang garing dan tolol atau pertanyaan serius yang justru menjadikannya suasana semakin mengerikan. Terlihat bodoh bukan secara literally tapi tingkah kalian akan apa adanya.

3.     Saling Mengingatkan
Selama perjalanan berlangsung, secara tidak langsung kalian akan mengetahui kebiasaan-kebiasaan partner perjalanan kalian. Misal saja dia suka malas mandi, maka kamu bisa mengingatkannya. Misal kamu malas makan, mungkin kamu bisa menerima ajakannya untuk makan bareng.

4.     Suka Duka Bareng
Tentu saja di setiap perjalanan ada unsur itu. Di tempat baru tidak lah mustahil kalian akan mendapatkan ketidaknyamanan. Misal saja jarak tempuh tempat tujuan kalian jauh dari dimana transportasi publik menurunkan kalian. Maka kalian punya pilihan, menggunakan ojek, sewa motor atau jalan kaki. Jika kalian punya banyak waktu dan yakin tidak kecewa sekaligus sanggup dengan stamina, maka jalan kaki bukan pilihan buruk. Kalian akan berbagi makanan di perjalanan, banyak bicara, banyak bercerita tentang hal-hal apapun randomly, bahkan menghabiskan snack dan kalian lupa, stok minum habis.

5.     Kalian Ingin Pergi Lagi (di lain waktu)
Setelah tahu pergi bersama tidak mengecewakan, maka kalian akan mencari-cari waktu untuk pergi bersama. Dengan begitu kalian akan saling menghubungi satu sama lain. Saling terbuka, saling memberi pendapat tempat baru mana yang akan menjadi bukti perjalanan kalian. Dan pelajaran baru apa yang akan kalian dapatkan.