2/12/2019

Curhatan Bulan Februari



It hurts my feeling somehow.


Komentar dari teman, saudara, keluarga, atau mereka yang bisa saja hanya bertemu beberapa kali seumur hidup, terkadang itulah yang melekat. Tertinggal dan menancap pada hati dan pikiran. Tidak baik memang, tapi begitulah kenyataannya. Mau menampik? Bua tapa? Toh manusiawi bukan untuk merasa sakit hati, kecewa, marah atau pun sedih?

Beberapa komentar pun hadir dalam keseharianku tiga tahun belakangan. Menyebalkan memang, tetapi aku harus bertahan hidup dan terus berkarya untuk membuktikan kepada mereka, bahwa pendapat mereka itu tidak melulu benar. Atau konstruksi sosial yang selama ini tertanam di masyarakat pun tidak sepenuhnya benar dan harus ditelan mentah-mentah.

Semua bermula ketika aku didiagnosa dokter sebagai pasien radang pernafasan, liver, dan mempunyai virus Hepatitis B di dalamnya—di dalam hati. Pertanyaan pertama yang muncul di kepalaku adalah, ‘aku tertular oleh siapa?’. Aku memang tidak menjaga makananku, aku suka memakan junkfood, i didn’t do sport since 3rd year of my college life. Mungkin aku terlalu banyak mengkonsumsi makanan tidak sehat jadi mudah terkontaminasi oleh virus dan bakteri. Ya karena aku tidak mungkin tertular lewat sex. Cause I never had one. Never. Jadi kemungkinan terbesar adalah dari piring/sendok di warung tempat biasa aku membeli makan ketika jadi anak kosan.

I was overthinking about it till got insomnia for almost 5 months. I hated it. But I was glad that my daddy always there. Mom? I didn’t know.

Banyak hal terjadi ketika aku dalam stase pemulihan. Bahkan kejadian yang pernah membuatku membakar betis sebelah kananku, saking kesalnya. Aku bahkan sampai kehilangan 7 kilo berat badanku dalam waktu dua minggu. Nafsu makan menurun meski sudah diberi vitamin dan beberapa obat untuk dikonsumsi setiap harinya.

Tapi apa? Ada satu komentar yang membuatku kehabisan kata-kata untuk membalas ucapannya.

“Kamu tidak ingin menikah saja, biar penyakitmu sembuh?”

WTF people thinking about marriage? A medicine to cure severe illness? WOW cool!

I’m just 24, no…I was only 21 then three years ago. But why people so busy commenting my illness, and what? They said marriage can cure it. Bij, even my doctor—my internist—said that it can’t be cured. The virus just will take some rest inside my liver. Ha ha ha funny? It is funny for real.

“Complement each other’s life will make you eager and wiser. But that’s not only through marriage, and it is not only applies to couple!”

And 3 days ago, one of my uncles, not close enough to have even my phone number, then he popped out with his harsh comment,

“Udah tua kok belom kawin, nanti jadi perawan tua gak laku, hidupmu ga bahagia, agamamu gak sempurna.”

Sejak kapan pernikahan jadi justifikasi untuk sebuah kebahagiaan? Sejak kapan pula ‘institusi’ itu jadi justifikasi tentang kesempurnaan agama seorang kaum?

Hadeuh tulung, pening pula pala aing dibuatnya.

Tidak menolak kenyataan bahwasanya perasaanku sakit ketika mendengar komentar-komentar pedas tentang tetangganya, tentang seorang perempuan yang mungkin saja baru pertama kali mereka temui dan mereka mengomentari dengan sangat tidak bijak tentang usianya yang sudah dewasa dan belum menikah? It hurts my feeling somehow.

Is this life completely only about re-reproduction? Yeah, suck and yet sad at the same time to those who still thinking that way. Here come to me, I will pat your back to calm you down.

Tentu saja aku merasa sakit hati. Apa salahku? Apa aku pernah menyakiti mereka di masa lalu? Apa aku sebegitu salahnya untuk tetap sendiri di usiaku yang masih muda?

NOPE! I’m doing right! I amend myself for a better place for human being.

Salah ketika hidupku ini merugikan dan menyusahkan banyak orang.

Atau ketika seorang di luar sana mengomentari kehidupanku yang menurutnya “Kok dia bisa seperti itu sih?”

Sayangnya Daf, sayang Faid, sayangnya siapapun di luar sana, emang hidup itu kan katanya ‘sawang sinawang’. Tapi alhamdulillah aku bisa melakukan pekerjaan ini pelan-pelan dan selesai. Bukan hanya duduk diam dan dapat uang. Aku tidak sepandai itu untuk duduk diam tetapi ber-uang. Setidaknya semuanya cukup untuk menyenangkan diri, membelikan popok dan susu anak, serta untuk menabung.

Kalian tidak perlu iri dengan hidupku, aku hanya manusia biasa. Tanpa kekuatan super.

Jadi, alangkah baiknya jika kita bisa menghargai hidup orang lain. Berbicara yang sopan. Karena aku takut juga salah berucap di depan teman-teman. Yang tanpa sadar kalimatku sudah menyakiti, aku minta maaf ya.

Setidaknya aku bahagia menurut standarku, aku menyukai banyak hal. Aku menyukai banyak makanan. Meski aku tidak bisa membuat satu pun di antaranya. Aku punya banyak teman, mereka mengajarkan hal-hal baru. Tentu saja aku punya hak untuk mendengarkan dan punya kemampuan untuk memilihnya pula. Yamasa semua kutelan dan kulakukan.

Though I’m not a good person, I can guarantee you all that I’m not a bad one. I’m just not good enough, I lie sometimes, I do angry, sad, disappointed and cringe, iyuh. Tetapi aku ‘katanya’ cukup menyenangkan untuk beberapa hal. (Nyampah di teel orang misalnya)