11/13/2014

Perbincangan

Tidak ada hari tanpa kamu, dedek nun jauh disana. Gadis kecil babang yang sudah beranjak dewasa itu akan membuat siapa saja rindu padanya. Watak cerah ceria bahagia tanpa nestapa (di wajahnya) membuat siapa saja suka, siapa yang tahu dalam hatinya. Semoga kamu selalu bahagia dedek. Babang ingatkan, hidup hanya sekali. Hati hanya satu. Kendalikan perasaanmu. Bedakan euphoria dan ke-eluhan.

“Karena yang terlihat belum tentu yang sebenarnya” balasnya di chat

Meski diburu waktu, perbincangan kami seolah tak ada habisnya. Mulai dari tawa pahit karena berat badan yang sama-sama mengalami kenaikan. Sampai perasaan yang diombang-ambing oleh pemilik hati yang mengalami kebimbangan. Seorang hamba yang awam tentang perasaan berusaha mengamalkan ilmu sok tau akan perasaan. Jadi, menjelmalah gadis apatis serta heartless menjadi dewi bijak yang menasehati para hati-hati yang  tersesat, padahal hatinya sendiri sedang tak tahu arah yang harus dituju.

Tak kerap membuat mereka yang menyadari adanya perubahan pada dirinya, mulai memikirkan hal yang awalnya dianggap sepele menjadi hal yang super-serius. Mulai memperhatikan hal-hal yang sebelumnya membuatnya risih dan menjengkelkan. Mulai mengingat-ingat apa saja yang pernah dikatakan mereka yang lebih dahulu mengalami perubahan ini. Transformasi menjadi sosok yang lebih dewasa. Matang dalam berpikir. Tidak lagi main bercanda-bercandaan yang berlebihan. Lebih menghargai waktu. Waktu untuk sendiri pun masuk dalam list to do—me time.

“Aku sedang menikmati kesendirian, nggak tahu ngapain. Cuma menikmati kesendirian saja…” begitu celetuknya.

Perbincangan membuat jarak yang begitu jauh seolah dekat. Hati yang keras terasa lembut. Mata melotot tak ubah lengkung senyum manis. Bibir mengerucut semakin menggemaskan hanyut dalam delusi yang bisa saja keterbalikan dari semuanya.


Baik-baik disana dedek. Babang penasaran dengan segala hiruk-pikuk perasaanmu. Segala kisah dramamu disana. Babang meminta maaf karena suka tidak jelas membalas keluh kesah maupun suka citamu. Tapi babang mencoba menjadi pendengar yang baik.

Lelah Hidup


“Hidup hanya sekali, hargailah, meski hanya omong kosong.”

Kita tidak bisa memilih untuk hidup dan dilahirkan dari keluarga seperti apa atau dengan siapa kelak akan hidup bersama. Tuhan sudah menuliskannya, dalam drama masing-masing manusia. Tuhan menuliskan begitu banyak cerita, manis, tangis, meringis, bengis, tak pelak yang tragis. Ya, namanya juga hidup.

Terkadang lelah dengan kehidupan ini. Iya, yang hanya sekali ini. Lelah dengan kemunafikan. Lelah dengan tawa yang menyayat. Lelah dengan pandangan yang mencabik. Lelah dengan perasaan yang menuntut akhir bahagia. Padahal jika menuntut akhir maka tidak aka nada lagi perasaan, berakhir. Akhir tidak selalu bahagia.

Ah, lelah. Tapi tidak boleh. Hidup hanya sekali. Tidak cukup untuk berlelah-lelah. Tidak cukup jika hanya untuk memunafikkan manusia lain. Tidak cukup hanya untuk mengintropeksi manusia lain, dan lupa, dirinya sendiri belum diintropeksi. Terlalu sibuk masuk dalam drama orang lain. Yah, hidup hanya sekali, setidaknya nikmatilah dramamu, baik yang dibuatkan Tuhan, atau yang kau buat sendiri.

Hidup yang hanya sekali akan terasa begitu kurang jika menginginkan semua-muanya. Menginginkan segalanya. Maruk. Membicarakan semuanya. Dasar manusia. Menjelekkan manusia lain di belakang dan bermuka domba kloning saat bertatap muka. Menertawakan manusia lain untuk kesenangan sendiri di belakang dan bermuka Barbie imitasi saat berjumpa. Sungguh kehidupan ini melelahkan. Lelah dengan dosa. Lelah dengan kerinduan menciumi surga. Lelah mendamba pertemuan abadi. Lelah menyakiti dan menghakimi. Lelah beralasan menghindari takdir. Tidak muluk-muluk. Hanya berakhir baik. Tidak harus bahagia. Akhir tidak selalu membahagiakan.

Meskipun dirundung lelah. Ingatlah selelah apa jika harus menuliskan cerita umat manusia yang milyaran, meski Tuhan tak pernah lelah. Selelah apa jika harus mendengarkan doa setiap hamba yang meminta, meski Tuhan tak pernah lelah. Selelah apa jika harus mencatat setiap kebaikan yang kau lakukan (ikhlas) tanpa pamrih dan memisahkan kebaikan yang kau lakukan demi perbaikan kloningan dombamu, meski Tuhan tak pernah lelah.


Nikmatilah hidupmu. Hidup hanya sekali. Bahagialah, meski tidak nyata.

11/04/2014

Ketuk Pintu


Sebagian memuja senja yang malu-malu. Sebagian menyayangkan datangnya senja yang uring-uringngan. Tak jelas. Sebagian tertawa sebagian menangis. Sebagian tersenyum sebagian pilu.

Ah, padahal saat senja datang, maka keputusan harus cepat diambil. Apakah diam untuk tak melanjutkan ataukah mengikuti arus yang tidak memberi kenyamanan.

Senja adalah persimpangan. Persimpangan antara siang dan malam. Persimpangan antara terang dan gelap.

Senja adalah pintu. Pilihan ada ditanganmu. Menarik kenop pintu, masuk atau keluar. Datang atau kembali. Tapi sayang, senja tidak bisa memilih sepertimu. Saat matahari terbenam maka senja tak bisa berbuat apa-apa.

Pintu mempertemukanku denganmu, sang pembawa aura kebaikan dan semangat. Kamu wahai teman terbaikku. Tanpa ketukan, pintu terbuka mempertemukan kita, tujuh tahun lalu, anak-anak manusia yang penasaran dengan kejamnya kehidupan.

Aku tahu seperti apa perjuanganmu sampai bisa seperti sekarang ini, meski naluri manusia yang selalu merasa belum cukup baik dan ingin menjadi yang lebih baik, lagi dan lagi.

Kamu berjuang dari nol, kamu memulai semuanya dari nol. Kedisiplinan, kepatuhan, berteman, menyematkan kata keluarga, dan hidup berdampingan. Asrama mengajarkanmu banyak hal, yang kami (yang tinggal di rumah) tidak dapatkan itu. Kamu belajar bagaimana berbagi, bagaimana toleransi, bagaimana bersahabat, bagaimana menyelesaikan masalah bersama, bagaimana memikul berat yang mustahil dibawa seorang diri. Kamu belajar semua itu lebih baik, aku yakin.

Waktu berjalan tanpa malu-malu seperti senja. Lewat tanpa rasa dosa, membuat sang pembuang-buang waktu merasa diburu. Tapi pertemanan kita bukan layaknya perburuan. Semuanya santun dengan ketukan pintu, dengan permisi, dengan kesadaran dan saling mengasihi meski tanpa mengungkapkan dan tak terlihat.


Bukan mereka yang menggedor-gedor pintu tak sabaran, tak peduli apa yang penting harus dibukakan pintu segera. Mengumpat di belakang punggung teman sendiri tanpa peduli sayatan di hati yang diakibatkannya.