1/05/2015

Perempuan yang sedang Menunggu

Saat kepastian harus ditunggu, maka perempuanlah yang paling antusias. Antusias untuk menunggu. Perempuan tak keberatan. Meski terkadang penantian itu melebihi batas normal. Yang lain sedang mengetuk pintu, justru Perempuan tak kunjung membukakan, malah menunggu yang tak pasti datangnya.

Wahai Perempuan, sadarkah tatkalah kau sedang menunggu, Ayahmu adalah satu yang paling sibuk. Sibuk untuk menyiapkan hati. Sibuk gugup tak kalah denganmu. Sibuk mengomentari siapa yang sedang kau tunggu. Apakah dia lebih gagah dari Ayahmu? Yang jelas Ayahmu akan sibuk diam menatapmu, mengamati anak perempuannya yang sebentar atau lama akan berada dibawah tanggung jawab laki-laki lain. Kesibukan yang tidak bisa dikalkulasi bebannya. Estafet dari hari hari kesibukan itu makin berat jika kau, wahai Perempuan, sudah benar-benar mendapat kepastian. Menjadi yang istimewa. Menjadi yang bukan pilihan.

Tapi Perempuan itu sekarang sedang menunggu. Tanpa ada yang ditunggu. Tanpa ada yang memberinya harapan kepastian. Dia tidak sedang menunggu kepastian. Perempuan itu masih menunggu. Menunggu dia yang juga menunggunya datang. Kau, Perempuan yang sedang menunggu, kapan kau datang padanya? Jika kau hanya meyakini dia di lauful mahfuz.

Hubungan apa yang sebenarnya diharapkan Perempuan yang sedang menunggu? Jika memang yang ditunggu ada diatas sana. Yang jelas Perempuan itu sama saja sedang menunggu. Mengapa Perempuan kerap membicarakan sebuah hubungan? Apakah kata itu menjanjikan bagi Perempuan? Apa asyiknya membicarakan itu jika ada hal-hal asyik lainnya yang jarang diperbincangkan. Mungkin rumah yang akan dibangunkan Allah kepada manusia yang berdosa di neraka sana? Atau piring cantik yang membawa buah-buahan cantik dan segar di Surga? Masih banyak wahai Perempuan. Daripada hanya sibuk membicarakan hubungan. Illahinnas? Wahai Perempuan, jawabannya ada di kamu. Daripada hanya sibuk menunggu.


(NB: Judul terinspirasi dari Kumpulan Puisi W.S. Rendra)

1/01/2015

Tanya Sang Benang Sari

Perempuan dewasa (kamu) yang tengah duduk di beranda rumahnya disertai wangi linden yang sedang mengulum senyum itu selalu menarik perhatianku. Selalu sendiri. Tidak mencari tawaran. Tidak menerima tawaran. Selalu tenang dengan kesendirianmu. Entah takut atau hanya enggan dan tak tertarik. Aku tak tahu betul.

Aku ingat sekali hari-hari awal pertemuan kita, kamu yang selalu membawa aroma riang dan kebahagiaan—saat itu usiamu masih belasan akhir—membuat kesenangan tersendiri setiap bertemu, tidak ada kesan lain. Beberapa kali pertemuan semuanya sama. Kamu perempuan muda yang kuat dan penuh semangat, tak tahu bagaimana hatimu. Kamu tak canggung berbicara dengan lawan jenis. Rasanya biasa saja sampai membuatku selalu lupa waktu tiap bertemu. Makin hari makin ingin bertemu. Seminggu saja tidak bertemu rasanya bagai peluh yang terus mengalir, minta diusap. Aku mulai menyadari bahwa aku menyukaimu. Aku tak tahu apa yang membuatku menyukaimu. Banyak perempuan seusiaku di sekeliling pergerakan ragawi ini yang punya kelebihan menakjubkan, tapi kamu, yang menarik perhatianku. Perempuan muda yang jauh disana, apa adanya.

Tak tahu sejak kapan! Aku mulai mencari-cari alasan untuk bertemu. Karena aku tahu kamu sendiri, dan selalu sendiri, aku yakin kamu akan menyanggupi untuk bertemu. Ya, kamu datang. Dengan berani melangkah, menyapaku, dengan senyum merekah, sendiri. Dengan gaya frankly yang jarang dimiliki perempuan muda di usiamu—aku suka caramu berpakaian, aku suka cara kamu memakai kain penutup kepalamu. Aku sungguh tertarik. Tiap kali aku memberi komentar, hanya dengusan yang kamu berikan. Saat aku memuji kamu menganggap itu bukan pujian. Aku mulai meragukan zona antara kita. Aku mencemaskan adanya perbedaan zona antara kita. Apakah kamu tidak meragukan zona antara kita? Bukankah perempuan selalu menginginkan kepastian. Tidak hanya perempuan. Laki-laki sepertiku juga mencari kepastian. Apakah kamu bukan perempuan kebanyakan?

Kamu begitu baik, selalu memberi perhatian kepada orang lain. Sampai aku salah mengartikan kebaikanmu. Yang hanya formalitas hidup. Karena kamu ingin selalu sendiri. Aku ingin tahu alasan dari alasanmu itu. Alasan dari keinginanmu untuk selalu sendiri. Akhirnya aku mencoba memastikannya malam itu, benarkah zona kita berbeda? Dan benarkah aku satu-satunya yang salah paham? Tapi kamu selalu mencari topik lain saat aku mencari kepastian tentang kita. Kamu selalu berpura-pura tak mengerti dengan apa yang aku katakana padamu. Kamu itu perempuan muda yang seperti apa? Aku ingin tahu. Atau kamu lugu sungguhan? Aku tak tahu betul. Kamu cukup cerdas untuk lari.

Pagi itu aku bergegas dengan mataku yang perih. Semalaman tak bisa tidur karenamu. Aku menyalahkanmu. Hingga aku mencari-cari kesimpulan sendiri. Aku kehilangan konsentrasi. Kamu menghilang. Satu bulan tak ada kabar. Kemana? Apakah kamu menghindariku? Pikirku lancang saat itu. Aku pun berpikir untuk melupakanmu. Berusaha menghapus perasaanku yang masih panas dan mendidih. Atau kamu suka yang hangat-hangat saja? Atau kamu tidak suka didesak? Bunga tasbih tak akan mekar tanpa putik dan benang sari. Benang Sari bukanlah apa-apa tanpa putik. Benang Sari Januari yang kesepian. Bunga Tasbih yang kasihan. Benarkah kamu tak mengijinkan kupu-kupu untuk menyatukan kita? 

Tapi hari ini, aku melihatmu (lagi) setelah sekian lama. Satu windu terlewati dengan dalih ingin melupakanmu. Tapi apa? Aku justru makin tertarik kepadamu. Apakah kamu masih sendiri? Apakah jika aku menyapamu kamu akan balik menyapaku atau justru kamu berlari meninggalkanku mengingat pernyataanku delapan tahun lalu saat meminta kejelasan dan aku tahu saat itu kamu hanya berpura-pura lugu? Aku masih disini. Berdegup melihatmu tersenyum pada senja yang akan segera berakhir. Astaga aku lupa. Apakah kamu masih ingin sendiri? Atau jangan-jangan kamu sudah memiliki pelengkap putik? Dan kamu bangkit dari dudukmu. Meninggalkan beranda dan menutup pintumu. Menyalakan lampu kamar. Dan menutup jendela dengan tirai abu-abu itu.



Terimakasih Kegelapan


Ijinkan lilin bercerita. Ijinkan dia bicara. Ijinkan perasaannya tersampaikan sebelum api meniadakan.

Aku ingin berterimakasih kepada kegelapan. Karenanya aku ada dan karenanya pula aku tiada. Kegelapan memberi kesempatan padaku untuk menyampaikan perasaanku. Aku sungguh bahagia. Meski semua tidak akan bertahan lama. Beriringan dengan berjalannya waktu, aku akan menghilang. Hanya, terimakasih kegelapan sudah mengundang api untuk membuatku memberikan (titik) cahaya yang menerangi, menenangkan.

Kedamaian yang senyap. Cahaya yang redup tapi dicari. Api kecil itu menghangatkanku. Memabukkanku akan cahaya yang indah. Hingga pada saat cairan lilinku mulai meluber ke segala arah, saat sumbu tidak bisa (lagi) menopang kehidupan, baru gelagap goyah dan jatuh. Aku tiada. Api telah meniadakanku. Tidak! Kegelapan yang meniadakan aku. Tapi jika kegelapan tak hadir, maka aku hanya akan menjadi seonggok sampah di sudut ruangan yang tergantung tak jelas. Diam.

Sekarang aku bahagia. Meski kesedihan menyertaiku. Tapi aku bahagia. Karena aku sudah (sempat) memberi cahaya. Aku tiada bersama kebahagiaan. Dan kegelapan. Dan kesedihan.