8/29/2015

Internis (Lagi)


Apa yang kamu rasakan saat datang ke ruang praktik internis?

Kalau kamu bertanya padaku maka akan kujawab, biasa saja.

Meski sudah beberapa kali masuk ruangan para internis, orangtua manapun akan berkeringat dingin dan khawatir parah. Yah memang agak berlebihan, tapi hal itu adalah wajar. Bagi setiap orang tua. Demikian pula yang dirasakan oleh kedua orangtuaku.

Internis selalu mempunyai kesan baik buatku, mereka pintar sudah pasti, menyenangkan, dan keren.

Lagi dan lagi sebenarnya bukan masalah. Masalahnya adalah aku. Kenapa aku (lagi)? Yasudahlah ya. Aku sih gak ambil pusing. Paling-paling suruh tebus obat lalala yeyeye, dan kemudian rajin minum dan well time will fly so fast and I’ll get tired.

Meski sudah sempat menolak untuk check something yang aku pikir it didn’t needed sih. But well, who could deny the advice of goddess parent words?


Ya tetep bahagia sih balik dari internis, dihadiahi celana dan kaos oblong baru. Btw dad, kenapa celananya model cowok banget ya?

8/28/2015

Senyuman 2

Senyuman 2

Setelah Rala pergi, enam bulan berlalu tanpa mengusiknya membuatku gelisah. Bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya. Selalu memandangi bulan setiap malam, dari lengkungan kecil sampai bulat sempurna. Kuyakin dia juga memandang bulan yang sama. Itulah sebabnya dia hanya ada satu. Untuk menyatukan jiwa-jiwa yang tertaut jarak yang jauh. Hingga getaran ponsel pagi itu membuatku tidak bisa berpikir lagi, seolah darah dalam tubuhku berhenti mengalir.

From: Rala Iroyisa
Hai, Ram. Kamu masih ingat aku kan? Teman satu jurusanmu dulu, dan teman kelas bahasa Belanda yang setengah resek. Disini sungguh keren, kamu tidak ingin mengunjungiku?

Setengah jam aku hanya memandangi lembar pesan yang kosong. Aku bingung hendak menulis apa. Aku bingung memilah kata untuk membalas pesan pendeknya.

To: Rala Iroyisa
Yaampun kamu masih hidup, La? Bagi alamat lengkapmu lah. Aku suntuk berkecamuk dengan panas metropolitan.

Tanpa menunggu lama aku mendapati balasannya yang ternyata cukup menyenangkan hati.

From: Rala Iroyisa
Hei Rama Harisy, kita sudah tidak bertemu berapa lama? Kamu sudah tega menulis kalimat jahat begitu. Aku tidak akan membagi alamatku.

Aku tahu dia hanya bercanda. Akhirnya aku memutuskan untuk menelponnya. Karena aku terlalu penasaran dengan apa yang akan kutulis dan seperti apa balasan darinya.

“Hai, La…” Sapaku dari teras rumah dengan ditemani secangkir kopi hangat.
“Rama Harisy sehat kan?” Aku hening mendengar pertanyaannya.

‘Tidak. Aku tidak sehat. Aku sedang meradang ingin mengatakan aku jatuh cinta padamu’ Tapi perkataan dalam hatiku tersebut hanya tenggelam dalam sinyal ponselku dan pudar menghilang tak ada yang tahu.

Tuhan, maaf kusuka dia. Ampunkan aku tolong, Tuhan.

“Sudah sepatutnya begitu.”

“Mm-hmm. Where is your current address lil girl?”

“I’m not a lil girl, boy.”

“Aku sedang tidak ada kerjaan. Bukan ide yang buruk kumanfaatkan untuk mengunjungi gadis sendiri di seberang sana.”

“Jangan lupa banyakin bawa snack.”

“Transfer dulu uangnya.”

“Ih pelit.”

“Kutunggu alamatmu ya. Nanti kirim sms saja, La.”

“Kamu sedang apa?”

“Mendengarkan suara teman yang titip dibawakan snack.”

“Yaampun aku ganti deh serius ngidam snack banget.”

“Yang penting kamu bahagia.”

“Oke, Ram. Aku selalu bahagia sih. Btw, aku ada undangan ke nikahan kakak salah seorang murid yang kuajar. Sampai ketemu. Daaah~” Rasanya aku ingin meraupnya dalam pelukanku. Mengajaknya menikah. Biar dia dan aku tahu bagaimana rasanya mengundang tamu ke pernikahannya sendiri.

“Hati-hati kecantol pas kondangan,” Meski aku mengucapkannya dengan setengah hati, justru aku lah yang harus berhati-hati.

“Apasih Ram. Sudah duluuuu. Bye.” Aku tahu dia tidak akan mematikan telepon. Bukan adat yang baik kalau yang ditelpon yang menutupnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mematikannya.

Adalah perasaan luar biasa tentang bagaimana kamu bisa jatuh cinta kepada mereka yang tidak pernah kamu sadari pada saat pertama bertemu.

“Kamu lagi ngobrol sama siapa?” Ayah yang sedang membaca Koran di ruang tamu melihatku ingin tahu. Mungkin karena senyumku yang semakin lebar setiap hari meski hanya modal ponsel.

“Teman.” Kataku sambil menunjukkan ponsel ke Ayahku.

“Perempuan?” Apa aku terlihat tidak normal? Sampai-sampai ayah menanyakan sosok yang membuatku sumringah perempuan atau bukan.

“Aku masih normal, Yah.”

“Ya kan Ayah cuma nanya.”

“Makasih, Yah.” Tanpa membalas, Ayah kembali asyik dengan koran dan menyembunyikan senyum dibalik koran yang dibukanya lebar-lebar.

Setelah mengurus surat ijin cuti dua minggu dari kantor. Aku memilih untuk segera pergi berlibur. Kemana? Ke tempat pujaan hati. Haduh, aku belum apa-apa sudah bingung ingin berbicara apa dengannya. Rasanya semua kata akan jadi lebih susah diucapkan saat berdekatan dengannya.


“Sungguh cinta tidak usah dinanti. Yakinlah Tuhan akan mengirimkan signalnya.”

8/13/2015

Senyuman

Senyuman

Semua terjadi tanpa disengaja. Semacam sinyal kuat yang tertangkap oleh perangkat dalam tubuhku. Seolah aliran darahku tidak berjalan lancar sehingga menghambat kepalaku untuk berpikir secara normal.

Sebelumnya, aku tidak melihatnya sama sekali. Dia menyapa. Aku berlaku sebaliknya. Membalas sapaannya. Dia tersenyum, aku juga ikut tersenyum. Sudah. Hanya sebatas itu.

Sekarang, entah mengapa aku mencari-cari alasan untuk bertemu dengannya. Meski hanya berjumpa di timeline media sosial. Sengaja menyukai status buatannya. Hal-hal norak seperti itu justru kerap kulakukan.

Dia adalah teman kampusku dulu. Hingga satu waktu di semester terakhir, aku mulai menyadari sesuatu yang aneh dalam diriku tentang dirinya. Namun aku butuh kepastian dari diriku sendiri.

Setahun berlangsung sebentar. Dia dengan dirinya dan aku dengan diriku.

Kita bertemu di kelas bahasa Belanda. Kebetulan kita di kelas yang sama.

Titik balik itu semua adalah karena seringnya aku bertemu dengannya. Saat aku pertama kali terpesona dengan ucapannya.

“Banyak manusia yang kuat. Banyak pula dari mereka yang pura-pura kuat. Jangan bohongi dirimu. Sebagai teman, aku bisa jadi ‘tempat sampah’ yang baik.”

Sejak saat itu, aku melihat sosok lain yang ada pada dirinya. Yang selama ini hanya melihatnya sebagai gadis tomboy yang tidak mengerti tentang perasaan. Seorang gadis yang abai dengan sekitarnya.

Hanya anggapan.

“Hari ini sepertinya mau hujan deh.” Ucapan sok tahu yang pada dasarnya hanya basa basi untuk memulai perbincangan dengannya.

Dia yang sedang asyik dengan laptopnya menoleh kearahku. Lamat-lamat dia memandang kearah langit kemudian beralih padaku, tersenyum. Rasanya aku ingin pingsan saat mendapatinya seperti itu. Tolong jelaskan apa yang terjadi padaku?

“Begitukah? Kupikir angin akan membawanya pergi segera.” Mendung. Aku tahu apa yang akan dibawa angin pergi, ya itu adalah awan kelabu yang menggantung diatas sana.

Aku sukses mencari topik yang membuat dia menutup laptopnya perlahan. Kemudian kita berbincang tidak tahu menuju kemana.

“Kamu tidak suka hujan?” Aku juga menutup halaman pencarian di ponsel, mengalihkan perhatianku hanya pada perbincangan yang kuharap akan panjang.

“Oh ya, kamu tidak ikut kelas tambahan hari ini?” Dia kini yang mengalihkan topik. Aku mendengus dalam hati.

“Tidak,” Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. “Kamu belum menjawab, apa kamu tidak suka hujan?” Aku mencoba setenang mungkin.

Meski pada dasarnya aku adalah cowok cuek yang tidak peduli apa yang dikatakan orang. Tidak peka dengan sekelilingku. Tapi sejak saat itu, ada beberapa hal yang berubah. Kini dihadapannya aku menjadi serba salah tingkah. Tidak bisa menahan tubuhku untuk menjadi panas setiap kali memikirkannya.

Tuhan, maaf kusuka dia.

Tuhan, maaf ku seperti ini dengan berlebihannya.

“Banyak persembunyian, Ram.” Aku suka saat dia memanggilku Ram—Rama Harisy namaku. Meski aku tak paham dengan persembunyian yang dia maksud. Akhirnya aku memiringkan kepalaku bertanya.

“Hujan itu seperti alasan dalam hidup.” Dia menundukkan kepalanya. Aku tahu dia tidak akan menatap lawan jenis begitu lama. Bukan mahram, katanya. Menghindari dosa. Aku iyakan saja. Kemudian melanjutkan kalimat indahnya.

“Mengapa harus berteduh jika hujan? Mengapa harus bertemankan secangkir sesuatu yang hangat saat hujan? Mengapa harus menatap rintik hujan yang membasahi kaca jendela kamarmu? Mengapa temaram harus tampak indah setelah hujan datang? Adakah sisa keromantisan selain hujan?”

“Hujan tetap tenang meski diperlakukan demikian.” Aku membela mereka yang memanfaatkan hujan sepertiku.

“Perasaan tak selamanya tenang meski telah diguyur hujan. Air mata tetap air mata meski bercampur dengan air hujan.” Aku seolah tertampar dengan ucapannya.

Pernah sekali aku sengaja menengadahkan wajahku yang berurai air mata di tengah hujan. Aku diselamatkan hujan. Aku memanfaatkan hujan. Aku bersembunyi dibalik hujan.

Seringkali aku berlari menjauhi hujan. Menghindari hujan. Mengapa aku menarik ulur hujan. Apa salahnya?

“Maksud hujan tak selamanya hujan, Ram.” Dia kembali tersenyum hangat. Hatiku rasanya sedang dihujami batu es yang menggelitik.

“He he he, terimakasih sudah mau belajar makna tersembunyi dari hujan.” Aku masih mendapatinya menunduk. Dia lebih sering menunduk, sehingga membuatku leluasa untuk memandang puncak kepalanya yang tertutup kain cantik warna abu-abu kesukaannya.

Tuhan, maaf ku tak kuasa menahan perasaanku.

Tuhan, maaf kusuka dia.

“Bagaimana kabar anjingmu?” Dia menanyakan kabar anjingku. Lalu kabarku? Hmmm~

“Kabar baik. Coco apa kabar, La?” Coco adalah ikan peliharaannya.

“Dia mati seminggu lalu. Eh, aku minggu depan sudah gak ikut kelas lagi.” Hah? Apa? Dia gak ikut kelas lagi? Kenapa?

Kemudian dia mengatakan bahwa dia tidak akan mengikuti kelas lagi. Lalu, berapa lama lagi aku harus berdiam menyimpan semuanya sendiri.

“Kuharap kamu tidak sedih berlarut.” Aku tahu dia gadis yang kuat. Semoga aku juga kuat untuk tidak lagi bertemu dengannya.

“Aku akan membeli ikan baru ha ha ha. Aku bukan tipe cewek setia.” Dia memang seperti itu. Berbicara dengan siapapun, Rala akan selalu menekankan bahwa dia tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun.

“Kamu kenapa tidak datang ke kelas lagi?” Kuberanikan diriku untuk bertanya.

“Sejak kapan seorang Rama Harisy jadi kepo begini?”

“Ah kamu La, kan kamu tahu sendiri di kelas aku kayak kambing ompong. Tak ada kamu artinya aku makin ompong.”

“Mulai deh merendahnya. Aku mau bersemedi satu tahun di salah satu taman baca di tempat yang lebih tenang.” Kemudian dia tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya yang sama sekali tidak membuatku tenang.

“Setahun banget ya La? Bolah tidak aku mengunjungi temanku nantinya?” Kali ini senyumannya penuh arti. Aku yakin dia pasti memikirkan sesuatu.

“Bagaimana jika aku tidak mengijinkanmu kembali?” Aku tahu dia sedang bercanda. Tapi aku membalas candaannya.

“Dengan senang hati aku akan tinggal.” Kulihat senyumnya sekali lagi. Matanya menjadi ciut dan terlihat begitu menggemaskan.

Tidak terasa kita sudah duduk berhadapan selama lebih dari setengah jam. Rasanya aku ingin lebih lama lagi mengamatinya. Memandang senyumnya. Melihat kepala yang lebih sering menunduk daripada memandang wajahku yang rasanya sudah seperti udang rebus.

Entah mengapa setiap kali aku bertemu dengannya, mendadak aku menjadi tidak keren dan salah tingkah. Aku menjadi ingin tahu lebih tentangnya.

Hening beberapa menit. Hingga dia meminta ijin untuk pulang. Rasanya aku ingin memborgol tangannya. Agar dia tidak pergi. Ya, tapi kepalaku masih bisa digunakan berpikir. Yang ada jika aku memborgol, bisa saja dia meronta ingin dilepaskan. Jadi aku membiarkannya pergi. Kulambaikan tanganku pelan.

Tuhan, maaf nafsuku seharusnya tak begitu.

Tuhan, maaf kusuka dia.

“Keep in touch ya, La.” Dia mengangguk dan melihat kearahku lebih lama tiga detik dibandingkan sebelumnya, tidak lupa senyumannya.

Aku akan menunggu lebih lama untuk melihat senyumannya secara langsung. Kuharap dia akan sering-sering mengupdate status atau mengganti foto profilnya agar aku tahu apakah dia baik-baik saja atau sedang merindukanku.

Punggungnya menghilang.

Sampai jumpa lain waktu wahai pemilik senyum yang memabukkan.




“Hati itu seperti otot. Semakin dia terlatih, semakin dia kuat dan keras.”

8/05/2015

July, 11-2015

Ma Fuckin Habit

Ah Ramadan memang harusnya jadi ajang perbaikan diri. Mujahaddah katanya. Bersih-bersih diri, banyak debunya kan setahun gak dipel, gak disapu. Kemoceng tuh ya gantung aja gak dipakai bersihin hatinya. Duh hati.

Ya ibaratin rumah aja deh. Bayangin dia tahun-tahunan gak pernah dibersihin. Pasti buluk deh. Debu numpuk di sudut-sudut ruangan. Begitupun manusia. Dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang biasanya tanpa sadar dilakuin. Nah, Ramadan nih harusnya jadi pembelajaran. Seharian nahan nafas. Eh salah, nahan nafsu. Gak makan, gak minum, gak marah, gak gosipan, gak riya’. Gak semuanya yang buruk-buruk lah pokoknya. Apalagi kalau bisa lanjut di bulan selanjutnya, syawal, dzulqiah, dzulhijah, muharam dan seterusnya.

Pasti cantik deh selama setahun hatinya dijaga terus. Nafsunya difilter terus. Duh pasti nyenengin deh. Kemocengnya pasti seneng deh gak dicuekin lagi. Kain pelnya pasti bahagia deh kamu pake buat nge-pel hati.

Catatan ya buat yang jarang baca alquran nih (yang nulis juga) biasain pas bulan Ramadan sebulan penuh rutin baca, insyaallah lanjut kok di bulan-bulan selanjutnya.

Tapi nih, ma faka habit nih susah banget ilanginnya. Tapi gatau kenapa pas bulan Ramadan mendadak sembuh gitu kebiasaan buruknya.

1. Malas Mandi
Di bulan Ramadan kan biasanya siang-siang suka haus tuh, nah buat yang suka malas mandi (kayak yang nulis) tiba-tiba masuk kamar mandi (byur byur—gulp gulp). Antara mandi sama minum air kamar mandi.


2. Suka Ngumpat
Di bulan Ramadan kan kebaikan pahalanya dilipatgandakan, nah kesempatan banget buat yang suka ngumpat, takut lah doi, pahala ngumpat juga dilipatgandakan. Akhirnya beralih ngumpat itu ke dzikir (Alhamdulillah berkah Ramadan). Astaghfirullah, allahuakbar, subhanallah. Nah kan betapa luar biasanya efek Ramadan buat kebaikan jiwa.

3. Suka Ngalong
Pengumuman buat yang suka ngalong (termasuk yang nulis), Ramadan jadi ajang bobok masal. -_- Gak sih, aku saja kali yah. Gimana gak, tidur aja dibilang ibadah. Maksudnya daripada ghibah sana sini ya mending bobok lah ya.

Trus nih, Ramadan tuh bisa ngobatin yang suka ngalong, kenapa? karena seharian udah puasa kan ya, trus pas bedug puasin makan. Kemudian berangkat tarawih. Abis taraweh ngaji yaaaa at least some pages of Quran lah ya. Terus gak tahu kenapa, ngantuk tiba-tiba datang. Kecapekan kali ya. Akhirnya bobok lebih awal.

Tubuh kan sudah bisa kalkulasi kapan dia butuh bobok dan gak. Dengan perbandingan bobok lebih awal karena akan ada bangun yang lebih awal untuk makan sahur.

Tiga kebiasaan buruk diatas adalah bagian dariku. 0_0

Tapi insyaallah udah berkurang kok. Anak gadis macam apa yang jarang mandi, suka ngumpat dan ngalong. Gak ada seksi-seksinya.

Those are my fuckin habits yang jangan ada satu diantara ketiganya kalian tiru. Ketiganya bukan kebiasaan yang baik. Ingat ya, ngalong itu gak baik. Kenapa? Karena jam 12-3 pagi itu saatnya detoksifikasi tubuh. Biar gak ada racun yang ngendap dalam tubuh.

Sekian.


Masks

The Shitty Face

“Masks beneath masks until suddenly the bare bloodless skull—Salman Rushdie, The Satanic Verses”

Jangan tanyakan mengapa manusia menggunakan topeng. Mereka punya alasan masing-masing. Spektrum alasan-alasan tersebut membuat hari-hari kita berwarna. Bayangkan banyaknya luka yang akan hadir jika topeng-topeng itu itu tidak serta hadir.

Pagi itu tak sengaja melihat seorang bapak penjual sate di Jogja. Sate di pinggir jalan. Tanpa lapak. Dia begitu ceria. Pelanggan merasa nyaman beli disana karena pelayanannya yang luar biasa menyenangkan. Meski tidak ada tenda, meski tidak ada kursi untuk memakannya, tidak peduli. Semua terasa sedap hanya dengan duduk beralaskan sandal sepihak.

Sepulang dari berjualan, bapak itu pulang. Membawa barang-barang dagangannya dengan lesu. Membuat siapapun bertanya-tanya.

“Apakah ada masalah berat yang membuatnya begitu murung?”

“Mengapa dia begitu lesu membawa barang dagangannya?”

“Apa dagangannya tidak laku terjual?”

Pertanyaan sama melintas di kepalaku.

Bapak itu masuk kerumahnya. Rumah yang sungguh sangat sederhana. Aku lancang mengetuk pintu pura-pura numpang tanya.

“Permisi pak, selamat sore.”

“Iya nak, ada apa?” Bapak itu meletakkan peralatan berjualannya di meja ruang tamu.

“Ini pak, saya sedang jalan-jalan di sekitar sini. Lupa jalan baliknya ke malioboro. Bablas sampe sini. Mau tanya jalan balik.”

“Masuk dulu nak duduk, tas kamu besar sekali. Duduk dulu sini.”

“Makasih pak.” Aku segera masuk dan duduk di kursi kayu yang nyaman.
“Rumah bapak ya apa adanya gini.”

“Yaampun pak, ini sudah jauh dari baik. Bapak tinggal sendiri.” Lama bapak itu tidak menjawab. Kemudian jemari legamnya menunjuk foto di dinding.

“Mereka tiga bulan lalu sambang gusti allah.”

“Innalillahi…” Hatiku rasanya sedang ditusuk sembilu saat itu.

“Haduh kenapa jadi curhat. Kamu kenapa bisa nyasar sih nak,” Akhirnya bapak itu menjelaskan dengan pelan jalan ke malioboro. Yang sebenarnya aku paham betul cara kembali. Aku merasa bersalah.

“Terimakasih pak, semoga bapak senantiasa dikasih kesehatan.”

“Amin nak. Hati-hati ya.” Aku mengangguk dan melangkah menjauhi rumah pak Adir.

Bayangkan jika Pak Adir tidak memakai topeng saat berjualan sate. Pasti tidak ada yang beli karena melihat wajah pak Adir yang sedang sedih karena ditinggal anak dan isterinya. Meski pak Adir tidak ingin berlama-lama terpuruk. Tapi tak bisa berbohong bahwa perasaannya masih terguncang. Apalah daya jika pak Adir tidak kerja, mau makan pakai uang siapa lagi.

Tidak selamanya alasan menggunakan topeng itu patut diketahui. Terkadang banyak jawaban menyakitkan dibelakangnya. Ada jawaban yang akan membuat hati kelu tak sanggup menahan tumpahan air mata. Topeng kerap kali membantu manusia tegar menghadapi rimba kehidupan. Tak ada salahnya menggunakan topeng. Hanya saja ingatlah, jangan jadikan topengmu lebih berarti daripada hidupmu. Rasakan kulit diwajahmu terkelupas dengan paksa. Itu akan lebih sakit dibandingkan hanya dengan tergores.




Baru

Sesuatu yang Baru

“Kamu menjemput atau dia sengaja datang, sementara kamu sama sekali tidak mengetahui itu sebelumnya”

Baru selalu dibandingkan dengan yang lama. Baru selalu dikatakan sebagai pengganti. Baru selalu dia yang melukai, meninggalkan, dan melupakan. Tapi sebenarnya baru tidak sepenuhnya baru, dia bisa saja terluka. Baru belum tentu secara keseluruhan baru.

Brand new? Tidak sama dengan sesuatu yang “baru”. Dia secara keseluruhan baru, dengan kreasi dan inovasi baru tanpa peduli dengan dia sebelumnya. Karena dia sudah tidak ingin ada hubungan dengan dia sebelumnya. Akhirnya diputuskanlah untuk membuat semua serba baru.

Baru, terlahir kembali dengan intisari yang tidak sama dengan yang lama. Bisa dibilang iya, bisa juga dibilang tidak.

“Wajahmu sekarang tampak probiotik” Ya keleus itu wajah atau pekarangan rumah.

“Memang sebelumnya seperti apa?” Rekan berbicara yang menyebalkan.
“Sebelumnya tampak seperti NaOH, menyengat!” Sebenarnya dia sedang membicarakan wajah atau larutan?

Ya, seperti itulah maksud ‘baru’ bagi beberapa orang. Baru dalam arti sempit.

Ada cerita dari seorang kakak lama dari pulau seberang di ujung barat.
“. . .

Hari itu aku terdiam membuka pintu rumahku. Aku yang sudah 4 tahun memutuskan hubungan dengannya harus terkejut mendapati dia berdiri disana.

“Hai,” Dia tersenyum penuh keraguan. Aku masih diam dan tidak menanggapi sapaannya.

“. . .” Aku masih memandangnya dengan penuh tanya. Mengapa dia datang (lagi)? Apa salahku Tuhan hingga harus bertemu (lagi) dengannya?

“Bagaimana kabarmu?” Dia sedikit menundukkan kepalanya. Mungkin merasa malu. Atau merasa bersalah. Atau perasaan yang lain.

“. . .” Aku tetap mendiamkannya di ambang pintu rumahku. Di detik yang entah sudah ke-berapa, aku sama sekali tidak ada niatan untuk memintanya masuk.

Karena memang aku tidak akan memperbolehkannya masuk. Aku tinggal sendiri. Aku tidak ingin tumbuh fitnah. Aku tidak mau tertipu untuk kedua kali.

Dulu dia datang, menawarkan kebahagiaan. Aku yang pada saat itu tidak tertarik entah demi apa mengiyakan ajakannya. Ajakan untuk membina kehidupan berkeluarga. Tanpa berpikir panjang, aku mempersiapkan semuanya. Meski awalnya dia hanya teman, dengan cepat aku membiasakan diri menganggapnya lebih. Hingga datang suatu malam sebelum hari yang bisa menyatukan jiwa kami berdua.

Malam itu tepat satu minggu sebelum dia dan aku mengucap janji di depan penghulu. Aku berniat untuk membeli beberapa vitamin di apotek. Aku tercengang melihatnya sedang berpelukan dengan wanita muda disana. Yang membuatku lebih terkejut lagi adalah wanita tersebut sedang hamil. Perutnya membuncit. Mereka sedang menghadap ke depan, ke loket pembayaran. Aku terdiam beriri di belakang mereka. Kudengar obrolan mereka yang mana aku sama sekali berharap tidak mengingat satu katapun hari itu. Tapi apa? Aku hapal.

“Sayang, minggu depan kita harus check up ke dokter.”

“Mm-hmm. Tentu saja.”

“Ah aku lelah sekali hari ini.”

“Aku memijat kakimu dan membuatkanmu cokelat panas kesukaanmu.”

Setelah yakin dengan yang kudengar. Aku menahan air mataku dan berlari kembali ke mobilku. Aku berdiam lama disana. Menumpahkan semuanya.

“Satu, sa..satu minggu la—gi.” Aku menenggelamkan kepalaku di kemudi. Aku menangis. Oh Tuhan, aku malu.

Malam itu aku membatalkan semua undangan yang sudah kusebar lewat telepon. Aku menghabiskan beberapa ratus ribu, rasanya itu sangat sayang mengeluarkan pulsa yang sebenarnya tidak seberapa. Tapi itu merupakan hal yang sia-sia. Setelah membatalkan semuanya. Aku mematikan ponselku. Mengemasi barang-barangku, aku pergi. Keluar dari pekerjaanku. Menghilangkan jejak.

Hari itu, aku tidak mengucapkan apa-apa. Dia melanjutkan kalimat-kalimat basinya.

“Aku minta maaf untuk empat tahun lalu.” Dia mulai serius dengan garis wajahnya. Memohon maaf.

“. . .” Lagi-lagi aku hanya diam. Aku kini bukan aku yang dulu. Aku sudah menjadi sesuatu yang baru. Aku yang baru.

“Kumohon maafkan aku.”

“Aku memaafkan. Sekarang pergilah dari rumahku. Dan jangan coba tampakkan wajahmu di depanku. Aku malu pernah mengenalmu. Anggap saja kita tidak pernah kenal sebelumnya. Jangan ganggu hidup damaiku lagi. Dan terimakasih.” Aku sesaat setelah menyelesaikan kalimatku langsung menutup pintu. Menguncinya. Dan kembali ke pekerjaanku (yang baru). Aku benar-benar hidup dengan segala sesuatu yang serba baru. Lingkungan baru, pekerjaan baru, dan tidak lupa aku yang baru.

Karena hal itu aku menjadi wanita yang dibilang kurang memiliki rasa kasihan. Aku menjadi sesuatu yang kuat. Aku tidak lagi menangis. Aku tidak lagi sibuk mencari seseorang yang mau denganku. Aku mengubah hidupku yang lama. Aku memutuskan untuk menjalani semuanya apa adanya dengan diriku sendiri. Dan semuanya lebih membahagiakan, damai.

. . .”

Cerita kakak lama ku memberi arti juga tentang ‘sesuatu yang baru’ dalam hidupnya. Aku benci cerita itu. Aku tidak suka jalan ceritanya. Terlalu klise dan tidak ada yang mati.


Demikian ceritaku tentang ‘sesuatu yang baru’. Semoga memberikan sedikit-banyak pelajaran dibalik semua tulisan yang ada di postingan ini. Terimakasih.


July, 04-2015

Kau Pergi Ku Melupakanmu

Diam pelan merambah, ku takut

Ku melangkah mundur, ketakutan

Kau semakin mendekat, meminta

Ku membuka hati, menerima

Ku awalnya hampa perlahan merasa, ku tetap diam

Ku semakin dalam, kau pergi

Ku terluka, kau pergi

Ku menangis, kau pergi

Ku sendiri, melupakanmu


Kau datang, aku tak peduli