8/25/2016

Lapak Para Penunggu


Ruangan dengan satu TV besar di tempat ini menjadi lapak kesukaan semua orang. Saat mereka merasa penat menunggu keluarga atau saudara yang sedang dirawat, maka ruangan ini adalah tujuan mereka. Bertemu dengan banyak orang, berbagi cerita. Mulai dari basa-basi sampai cerita yang tak seharusnya dibagi tumpah ruah di ruangan ini. Mulai dari bertanya alamat sampai biaya perawatan seringkali diungkapkan di ruangan ini.

Lobi rumah sakit.

Seperti halnya apa yang saya alami beberapa jam yang lalu. Pertemuan Saya dengan seorang pedagang berwajah teduh yang merapat ke kerumunan orang yang melihat berita di TV. Beliau duduk tepat disebelah kanan Saya, pria berumur 55 tahun yang mengaku namanya An.

“Panggil Pak An saja,” Ucapnya sambil tersenyum kearah saya.

Bisa dihitung berapa manusia sejenis saya yang duduk di ruangan ini, kebanyakan bapak-bapak paruh baya dengan wajah lelah dan kantung mata yang sudah tebal saja. Mereka rela mendongakkan kepala hanya untuk melihat TV yang tergantung diatas garis pintu.

“Negeri ini yang diberitakan ya korupsi, ya narkoba, ya kejahatan, kapan kasih berita baik untuk masyarakat kecil begini?” Pak An melipat kakinya setelah melontarkan pernyataan bernada tanya itu.

Mulai dari pernyataan pertama tersebut, saya menyimpulkan pria paruh baya ini bukan sembarang bapak-bapak yang menunggui pasien, beliau sangat kritis.

“Mmm, mungkin itu yang lebih menarik pak.”

“Menarik sekali. Habis-habiskan uang untuk merawat predator rakyat di lapas. Dikira para koruptor yang ditahan itu bisa hidup tanpa makan saat ditahan apa?” Lagi-lagi Pak An melontarkan pertanyaan di akhir pernyataannya.

Asli! Pak An memang kritis

“Demi harapan balikin uang korupsinya pak, hhe.”

“Bisa saja uang yang dibalikin si koruptor dikorupsi sama koruptor yang lain. Kayak lingkaran setan.” Si bapak tidak hanya berlipat kaki duduknya, kini tangannya bersedekap di dada setelah mengucapkan kalimat dengan nada kesal untuk lingkaran setan.

“Kalau muter begitu terus kapan rakyat kecil bisa hidup tenang meski hanya dengan nasi ya pak?” Saya menimpali Pak An dengan pertanyaan dengan nada setengah serius.

“Iya. Padahal kita makan nasi saja sudah seneng. Makan nasi sendiri sih gapapa. Negeri ini gaya-gaya makan nasi impor.”

Sekakmat.

“Mental bangsa kaya ya, pak.”

“Kaya sih kaya tapi petani gak perlu dibuat susah. Berasa gak dimanusiakan. Liat itu puluhan stasiun tipi swasta! Ada mereka tayangin tentang agrikultur? Halah yang ada itu berita pasang-copot menteri.”

“Katanya pupuk juga dipersulit ya pak?”

“Iya nak. Kalau pupuk dibatasi, bagaimana petani hidupi keluarganya. Hama disana-sini, kalau gak dikasi pupuk ya gak panen.”

“Pemerintah pingin yang organik kali pak jadinya dibatasi gitu konsumsi pupuknya.”

“Ya mungkin pemerintah ingin menggerus para petani, diludeskan lahan-lahan, didirikan itu pabrik-pabrik. Jadi manusia industri semuanya.”

“Suatu saat nanti nilai agrikultur pasti tinggi kok pak.”

“Kata ‘nanti’ itu kadang cuma mimpi. Gimana nilainya gak tinggi, nanti itu. . . suatu saat nanti lahan-lahan tinggal sedikit. Yapasti nilainya tinggi.” Pak An sudah jauh memikirkan apa yang akan terjadi pada anak cucunya kelak.

“Bapak ini petani, ya banting tulang, cucuran keringat ngolah lahan. Sekali panen, harga pasar langsung anjlok. Kayak orang lompat ke sumur itu lo harganya. Bulog ya buka, tapi nyawanya udah senin kamis. Sehari buka seminggu tutup. Terus padi-padi yang dipanen itu dijual kemana? Ya dimakan sendiri.”

Saya tidak tahu harus meresponnya seperti apa lagi. Orang tua saya juga seorang wiraswasta, kecil-kecilan. Kurang lebih saya memahami apa yang diungkapkan Pak An.

Para petani mengeluh kesusahan merawan ladangnya. Susah cari pupuk. Susah jual panenannya. Pasarnya petani udah edan. Kapan petani dimanusiakan lagi? Itu kalimat yang kerap kali saya dengar.

“Haduh, liat beritanya kasus korupsi sama narkoba tapi malah curhat nasib petani.” Pak An menoleh kearahku disertai anggukan kepalanya. “Siapa yang sakit nak?”

Sesungguhnya imbuhan ‘nak’ yang diucapkan Pak An mampu meluluhkan hati Saya.

“Cuma ketemu dokter pak, Bapak nunggu siapa?”

“Nunggu ibu nak. Istri saya sakit.” Lagi-lagi Pak An memanggil saya dengan sebutan ‘nak’.Saya terenyuh.

“Semoga lekas diberi kesembuhan ya pak.”

“Amin, nak. Biar nanti bisa bareng-bareng ibadah lagi.”

Ya Tuhan. Kalimat barusan membuat hati saya bergetar. Sungguh kalimat tulus itu membuat saya mengucap dalam hati.

‘Semoga semua yang sakit, segera disembuhkan. Agar kembali beribadah kepadaMu.’

Terimakasih lobi rumah sakit yang mempertemukan saya dengan Pak An.

Lapak para penunggu.


-F-