10/15/2016

Kesaksian Ikan Koi

Sepasang Ikan Koi

Setelah empat tahun.

Sepasang ikan koi pemberianmu sudah beranak pinak. Sudah ada beberapa yang mati. Kukuburkan di halaman belakang rumahku.

Aku hanya tahu, kamu memberi sepasang ikan itu agar aku tidak lupa padamu saat kamu pergi. Jadi aku merawatnya seperti layaknya ikan koi. Yang tak pernah lelah meski hanya berenang. Yang kutahu hanya itu.

Setelah empat tahun.

Sepasang ikan koi pemberianmu sudah beranak pinak. Saat itu aku baru tahu maksudmu. Maksud pemberian sepasang ikan koi padaku. Maksudmu yang tersimpan dalam akuarium peranakan ikan koi pemberianmu.

Baru setelah empat tahun.

Teman kerjaku yang setengah darahnya keturunan Jepang mengatakan,

“Kamu suka ikan koi?” Temanku bertanya padaku.

Aku menggeleng pelan “Sahabatku memberiku sepasang, empat tahun lalu. Sampai beranak-pinak.”

“Laki-laki?”

“Bagaimana kamu tahu? Kamu bisa baca masa lalu?”

Bukannya menjawab pertanyaanku, teman kerjaku itu justru terpingkal-pingkal.

“Kamu kuno! Bagaimana bisa aku hanya menebak sang pemberi ikan koi saja kamu bilang bisa baca masa lalu. Yang benar saja.”

“Ya kan siapa tahu.”

“Kalian hanya bersahabat?”

“Dia sudah bertunangan dengan orang lain.”

“Apakah sebelumnya dia tidak pernah mengatakan apapun padamu tentang ikan koi ini?”

“Sepenting itukah ikan koi?”

“Huh?”

“Dia juga selalu menanyakan kabar ikan koi ini, bukan kabarku? Kamu juga tanya-tanya tentang ikan koi ini.”

“Jadi dia tidak bilang apa-apa?”

“Memangnya ada yang salah dengan ikan koi di akuariumku? Apakah ada roh jahat.”

“Apaan sih, bukan itu! Kata mamaku, dia wanita jepang, mama menyatakan cintanya pada papaku pakai ikan koi. Di Jepang, ikan koi itu melambangkan cinta dan ketulusan.”

“Tapi sahabatku bukan keturunan jepang setahuku.”

“Huh? Kamu benar-benar tidak tahu maksud ikan koi ini? Ini bukan perkara keturunan jepang atau bukan. Lama-lama aku masuk akuarium juga deh ini.”

Setelah empat tahun.

Aku tidak tahu harus mempercayainya atau tidak. Karena dia sekarang sudah bertunangan dengan orang lain. Aku hanya memendam perasaan yang baru kusadari seminggu sebelum dia bertunangan masih bergemuruh setelah dua bulan berlalu. Aku hanya ingin memastikannya.

Aku akhirnya bertemu dengannya (lagi) setelah dua bulan memilih untuk menjauh. Karena aku akan pergi. Aku mengajaknya bertemu di dekat bandara. Aku tahu disana ada kafe langganannya.

“Hai bagaimana kabarmu? Kenapa gak pakai ponsel lagi?” Dia meminum kopi yang selalu dipesannya setiap bertemu denganku. Sejak tujuh tahun lalu. Kopi yang sama. Kopi kesukaannya.

“Serius aku baik-baik saja. Tapi telepon kantor sudah sangat membantuku.” Aku memandangi minumanku yang juga berwarna gelap pekat. Tanpa menyentuhnya. Tidak juga berani memandangnya yang duduk didepanku terlalu takzim.

“Iya. Tapi aku kesusahan kalau ingin mengajakmu jalan.” Dia menyilangkan kaki.

“Ini kita ketemu. Sekarang kan gak perlu sering ketemu.” Aku melihatnya sedang menatapku dengan pandangan menyidik.

“Kenapa? Karena aku sudah bertunangan? Itu klise sekali.” Dia tersenyum tipis di akhir kalimatnya.

“Aku ingin tanya tentang ikan koi empat tahun lalu.” Bibirnya yang belum usai tersenyum datar seketika.

“Hmm?” Dia menurunkan kakinya yang disilangkan dua menit lalu.

“Iya ikan koi sepasang darimu, empat tahun lalu. Apakah aku masih bisa merawatnya meski kamu sudah bertunangan?”

“Apa maksudnya? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Aku diterima kerja di Farmsville.”

“Apakah akan sangat lama?”

“Mungkin ada pada titik aku akan merindukan ikan koi di rumah nanti. Apakah tidak apa aku merindukan ikan koi di rumah? Aku hanya tidak ingin mengganggu hubungan orang lain.”

“Apa maksudmu? Apakah kamu tahu makna ikan koi pemberianku?”

“Kenapa kamu tidak pernah bilang?” Mataku sudah mulai berkaca-kaca.

“Kenapa baru sekarang kamu tahu?”

“Kenapa kamu tidak bilang empat tahun lalu?” Aku menahan teriakanku.

“Aku takut akan terjadi hal seperti ini. Persahabatan kita.”

“Kamu tahu bagaimana aku menahan perasaanku padamu? Aku seperti orang paling bodoh.” Air mataku sudah menggantung di pelupuk.

“Apa maksudmu? Bukankah kamu dengan Billy?”

“Billy? Dia sudah menyerah setelah kuabaikan selama dua tahun.”

“Kenapa kamu tidak bilang tentang itu padaku?” Dia tidak kalah terkejutnya denganku.

“Kamu tidak pernah bertanya.”

Kita berdua terdiam. Entah berapa lama.

Aku mengusap pipi yang sudah basah.

“Kita tidak salah. Ini jalan terbaik buat kita. Sekarang aku harus ke Bandara.”

“Kamu ke Farmsville sekarang?”

Aku mengangguk.

“Aku akan mengantarmu.”

“Taksiku masih menunggu di depan kafe.”

“Kamu gila? Persetan dengan taksi. Aku yang akan mengantarmu.”

Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Dia masih sahabatku. Sahabat baikku.

Dia mengambil koperku dari bagasi taksi dan memindahkannya ke mobil navy miliknya. Dia juga membayar argo taksi. Aku berterimakasih atas itu.

“Naiklah. Aku akan mengantarmu ke bandara.”

Tanpa menjawab aku masuk dan duduk disamping kemudi.

Kita kembali diam sampai tiba di bandara. Dia memarkir mobilnya. Menurunkan bagasi. Dan membukakan pintu untukku. Aku terharu masih memiliki sahabat sepertinya.

Dia mengantarku check-in. Dengan sukarela dia menjadi kuli koperku.
Tepat setelah check-in aku langsung ke tembat boarding penumpang.

“Aku minta maaf.” Dia mengatakan kalimat itu dengan nada yang menyakitkan sebelum aku naik ke eskalator.

Aku menggeleng “Tidak ada yang salah. Kamu jangan merasa bersalah.”

“Kamu boleh merindukan ikan koi itu. Kamu boleh merindukanku.”

“Terimakasih. Sekarang aku pergi. Kamu harus selalu bahagia.”

Dia mengangguk “Bolehkah aku memelukmu sekali sebelum pergi jauh?”

Aku mengangguk.

Kita berpelukan cukup lama.

“Apakah seperti ini caramu membuang sahabat sepertiku?”

“Hmm.” Ucapku di tengah pelukannya.

“Aku juga akan merindukanmu.”

Kemudian kita saling bertatapan. Dia mendekatkan bibirnya pada bibirku. Aku menunduk. Aku tidak bisa melakukannya sekarang.

Aku melepas pelukannya.

“Aku pergi.” Aku menaiki eskalator. Tidak berani menoleh (lagi) ke belakang.


Pertanyaanku pada ikan koi sudah terjawab. Sekarang aku hanya bisa merindukannya. Tanpa mencintainya.

Oktober, 15-2016

Sebenarnya Tidak Ingin.

Sebenarnya Tidak Ingin.

Aku bukan tipe-tipe manusia yang berhati lembut dan penuh kasih sayang. Bukan pula pemaaf hanya dengan kata maaf. Bukan pula bahagia hanya dengan kata terimakasih. Aku hanya tidak begitu naïf.

Bahkan seringkali tidak bersyukur dengan apa yang dimiliki. Sering melupakan nikmat-nikmat kecil yang mungkin saja berarti besar buat orang lain. Sering pula menertawai kesedihan yang mungkin saja sangat menyakitkan buat orang lain.

Aku merasa sekarang sedang diganjar atas perilakuku yang demikian itu. Sekarang semuanya berbeda. Aku amat sangat mensyukuri setiap hari yang kumiliki jauh lebih banyak dari sebelumnya. Aku juga berusaha bahagia dengan hal-hal kecil yang kudapati. Tidak lagi menertawai kesedihan orang lain, hal itu kurasa sangat jahat. Aku merasa sangat bersalah.

Semuanya berubah ketika waktu berjalan, dan aku, terbawa begitu saja. Badanku tidak seperti dulu lagi. Ada yang salah dengan organ dalamku. Ada yang harus diobati. Hatiku.

Aku patah hati? Penyakit apa itu patah hati? Penyakit dibuat-buat. Hatiku bukan hati yang itu. Ini liver. L i v e r. Sedihnya gak bisa dijelaskan dengan kata-kata pertama mendengar diagnosa itu. Rasanya tidak ingin bicara pada siapapun. Rasanya tidak ingin mengatakannya pada siapapun. Rasanya ingin kusimpan semuanya sendiri. Rasanya tidak perlu orang lain susah-susah mengkhawatirkanku.

Sebenarnya tidak ingin.

Aku tidak ingin orang tuaku, merasa bersalah jika memintaku ini dan itu karena liverku. Mereka tidak ingin membuatku lelah. Aku tidak ingin itu. Aku ingin mereka bersikap biasa saja, tidak perlu mengistimewakan aku.

Aku tidak ingin sahabat dan teman-temanku, merubah perilaku mereka jadi klan yang mengasihaniku. Seolah-olah mereka akan berteman dan baik padaku karena liverku, bukan karena aku. Aku tidak ingin itu.

Sebenarnya tidak ingin.

Sebenarnya tidak ingin menceritakan ini pada siapapun. Tapi aku hanya ingin berbagi cerita biar tidak dibilang sok misterius. Hanya ingin berbagi pengalaman dan pelajaran. Bukan untuk diistimewakan. Bukan untuk dikasihani. Aku hanyalah aku, hiduplah denganku, bertemanlah denganku, bermainlah denganku, layaknya bermain dengan aku yang sebelumny. Aku hanya tidak ingin dicap sebagai anak manja. Aku tidak ingin pertemanannya didasarkan pada rasa kasihan.

Sebenarnya tidak ingin.


-F-