7/09/2015

July, 9-2015

My Old Friend

“I had you for many years. We grew up in the same getto. Then love made us apart.”

My Deraest,

Destaria

Sudah hampir satu dekade kita dijauhkan oleh jarak. Hampir satu windu kita tidak saling cerita. Aku rindu masa dimana kita bermain kelereng dan bantengan bersama.

“Kamu ingat saat kita panjat pohon di kebun orang?”

“Kamu ingat saat kita belajar sepeda bareng? Kamu nabrak kaca rumah orang?”

“Ingat kan kamu saat kita nyuri mangga di sawah orang?”

“Ingat kan kamu kita daftar SMP bareng? Belajar bareng? Berangkat sekolah bareng? Makan bareng? Jama’ah bareng? Ingat kan?”

"Kamu Ingat kan dulu kita kerap bermain pelepah pisang?"

Kamu adalah teman masa kecilku yang begitu tahu aku apa adanya. Kamu adalah gadis lugu dan jujur. Kamu gadis kecil yang kutahu tidak suka Kucing dan sangat takut dengan binatang yang bernama Kelinci.

“Kamu ingat saat kita hampir membakar dapurmu?”

“Kamu ingat saat aku tidak mau bicara denganmu hanya karena kalah main karet gelang? Ingat kan?”

“Aku masih ingat.”

“Kamu masih ingat hari lahirku kan? Aku masih ingat hari lahirmu. Dua bulan lebih awal dariku dan di tanggal ganjil yang kusuka.”

“Kamu masih ingat nama lengkapku? Aku masih ingat namamu. Lucu. Nama dari bulan lahirmu dan gabungan nama orang tuamu. Kita dulu sering menerjemahkan nama bersama. Ingat kan?”

Sejak aku pindah rumah, mendadak kita jadi asing dan bahkan jarang bisa bertemu. Mungkin hanya menyapa. Menanyakan kabar seadanya saat tidak sengaja bertemu di kantin sekolah.

Aku rindu masa kecil kita dulu. Saat masing-masing dari kita belum mengerti apa itu rindu. Tidak peduli apa itu sakit-menyakiti. Saat kita dengan bahagia bermain seadanya. Membanting tamagochi saking gemas dan sebalnya.

“Ingat kan saat kita mimisan bareng?”

“Ingat kan saat aku menakutimu dengan petasan dan kamu nangis?”

“Ah aku minta maaf ya. Dulu aku hanya bercanda. Aku merasa dengan menakutimu, aku menjadi senang.”

“Kamu tahu karma kan? Itu berlaku tahu. Aku sekarang takut pertasan. Mungkin karma karena aku dulu sering menakutimu.”

“Kamu masih berani meniup balon? Aku tidak tahu mengapa aku jadi takut balon.”

“Kamu masih suka keringetan di hidung gak? Dulu aku suka gemas dengan hidungmu yang suka berkeringat.”

Kamu adalah teman sepermainan yang sekalipun tidak pernah menyakitiku. Justru aku yang sering membuatmu menangis. Kita berpisah saat satu sama lain belum paham betul tentang teori tersakiti-menyakiti.

“Ingat gak sih dulu sepulang sekolah, aku dengan gaya tomboyku mengayuh sepeda dengan kekuatan penuh kemudian menabrak sepedamu dari belakang? Dan kamu tidak marah. Justru kita tertawa. Kemudian aku sengaja mendahuluimu, kemudian dengan semangat kamu membalas dan menabrak sepedaku dari belakang.”

Hal-hal semacam itu sangat menyenangkan. Meski sepeda kita rasanya tak akan pernah terima diperlakukan demikian. Namun semuanya terasa begitu menyenangkan saat kita bersama. Andai waktu bisa berhenti pada masa itu. Saat kamu tidak tersakiti oleh hidupmu dan aku tidak disakiti oleh hidupku.

“Kamu apa kabar sekarang?”

“Bagaimana Kalimantan? Apakah lebih tenang dan lebih bisa membuatmu bahagia dibandingkan Jawa?”

“Aku belum sempat ke rumahmu menanyakan nomor ponselmu. Kamu kenapa tidak pulang lebaran ini? Aku rindu.”

“Temui aku ya kalau pulang. Ini bukan permintaan. Tapi perintah.”

Aku harap masih punya kesempatan lain waktu untuk menyerahkan surat ini untukmu. Aku tidak bisa mengirimnya lewat pos atau lewat ponsel. Aku tidak tahu alamatmu. Aku belum tahu nomormu.

Aku baru sadar jarak kita sudah begitu jauh seolah tidak bisa dilewati. Kamu sudah punya keluarga kecil yang memberimu kebahagiaan. Kamu berbakti pada suamimu dan ikut dengannya merantau. Sementara aku disini kesepian merindukanmu yang bahkan sudah tidak bertemu begitu lama sampai aku tak sanggup untuk menghitung hari yang kulalui tanpamu.

“Destaria, apakah kita bisa duduk berdua mengenang masa kecil kita dulu? Aku begitu merindukanmu dan tidak bisa membendung air mataku.”

“Kamu ingat kita dulu nangis bareng karena apa? Iya. Suntik cacar yang sakitnya minta ampun.”

“Kita juga nangis saat dihukum gegara gak hapal perkalian satu sampai enam.”

Kita pernah malu bareng. Dipanggung tujuh belasan kan? Ingat itu ya! Meski aku tahu kamu pemalu tapi kamu mau ikut denganku yang gila ini untuk tampil gak tahu malu diatas panggung. Maaf ya. Tapi setidaknya kita punya sesuatu untuk diceritakan suatu saat nanti ketika kamu mengingat masa-masa kecil kita yang begitu indah.

With Love,

Daf~


“We made memories. No matter what I miss You so much.”