5/28/2015

Dia dibalik Senja

Senja adalah persimpangan. Berani apa dengannya. Dia punya pilihan, yaitu satu, segera beranjak. Dia tak takut untuk pergi, karena dia selalu percaya dan pasti akan kembali.

Dia memberi kepastian, saat iya tidak hadir, maka sedang pilu dirasa. Saat dia enggan berlama-lama, artinya dia ingin kau merindukannya. Betapa luar biasa cara senja membuatmu selalu memujanya. Mengharapkannya abadi, dengan siluet indah tanpa cela. Tapi tidak ada yang abadi, kecuali pencipta.

Mengejar senja bukanlah pilihan yang baik, tapi jangan takut untuk mengejarnya. Dia pemalu. Dia itu layaknya mimpi yang ingin direngkuh. Tapi semua yang kau mau, meski sudah kau kejar, kau datangi dengan hati-hati, kau rayu dengan tatapan sayu, jika dia menjauh, maka hargailah usahamu, tidak semua dari mereka akan berada dalam pelukanmu. Bukan berarti gagal, itu hanya masalah waktu. Kau ketinggalan senja, kereta senja sudah beranjak pergi mengejar malam. Begitupun cinta, saat kau begitu keras mengejarnya, belum tentu cinta yang sedang berlari akan berbalik dan mendekat kearahmu. Malah bisa saja dia bukan milikmu—melainkan milik orang lain—sementara kamu selama ini sibuk mengejarnya.

Mengejar itu ambisi, seolah ada yang lebih pasti jika didekati. Maka jangan samakan dengan senja. Senja bukanlah dia yang dengan senang hati menerima kedatanganmu dan menolak ketenangan malam. Senja selama ini rela ditelanjangi, rela berbagi, tapi dia tidak ingin dimiliki. Dia milik pencipta. Hanya, datanglah di waktu yang tepat untuk menemuinya. Senja dicintai, dia tahu. Dia sering tak enak hati harus datang menempuh waktu beberapa lama, dan pergi dalam sekejap. Kau mengerti, dia ingin lebih lama bersamamu, menghabiskan hari, menjemput malam. Berganti hari, dan bertemu lagi. Namun dia harus memilih. Jika memilih untuk tinggal, maka bisa saja tidak ada hari esok. Memilihlah dia untuk pergi, maka dia berusaha datang dengan cahaya sorenya yang mengagumkan (lagi dan lagi), dan lebih indah.

Terkadang apa yang terlalu dinanti tidak semenakjubkan itu. Lain halnya dengan senja. Menanti senja akan selalu diberinya jawaban menakjubkan. Dia tidak berjanji, tapi dia berusaha menepati. Dia tidak gegabah memberi, apa salahnya berbagi—keindahan dalam dirinya.

Banyak teladan yang diajarkan lewat senja. Banyak petuahnya. Silahkan saja dipilih. Ini hanya tulisan omong kosongku dengan segala keterbatasan seorang hamba. 


Mari mengejar senja lain waktu. Aku tidak akan pernah bosan mengejar dan mencarinya bersamamu, sahabat senja. :”


5/24/2015

Perempuan Temaram

Perempuan Lebah dan Lilin



Selamat bertambah umur, kawan baru—yang dipertemukan entah dengan cara seperti apa—yang selalu berbagi bahagia dan ilmu untuk sesama.

Allah punya begitu banyak cara untuk mempertemukan manusia. Allah punya begitu banyak cara untuk membolak-balik hati manusia. Allah itu luar biasa maha segala.

Kita tidak pernah tahu sebelumnya. Tau-tau sekarang bercengkarama. Kita tidak pernah kenal sebelumnya, tau-tau kita ada di ruangan yang sama. Kita tidak pernah berbicara sebelumnya, tau-tau sekarang curhat panjang lebar. Kita tidak saling tersenyum sebelumnya, tau-tau sekarang tertawa bahagia bersama. Keren ya cara Allah.

Jangan takut bermimpi besar ya. Ketakutan bisa jadi berubah menjadi kekuatan. Ingat deh Allah itu luar biasa. Hidup ini hanya sekali, berartilah, lalu mati. Kullun Muyassarun Khuliqa lah.

Kawan, tahukah kamu kalau ada perempuan lebah dan lilin di seberang sana?

Belum lama ini aku bertemu dengannya. Bukan kepalang bahagianya. Bahasa perempuan yang terkadang sulit dimengerti. Benar saja mereka istimewa. Begitu sih katanya.

Perempuan yang kutemui ini sederhana, tapi dia bukan perempuan biasa-biasa saja. Ah Allah kan luar biasa, jadi hamba jangan hanya rata-rata. Oh ya, lanjut ke perempuan yang kutemui ini. Dia sederhana, tapi pengetahuannya tidak biasa-biasa saja. Indah akhlaknya, cerdas akalnya, luas pengetahuannya, indah parasnya, agamanya bagus. Dia seperti lebah. Tidak sembarangan dia memakan nektar. Tidak sembarangan dia membuat sarang. Tidak sembarangan dia mengunyah bakal sarangnya. Tidak sembarangan dia mengantup musuh. Hasil dari tak sembarang nektar yang dimakan juga baik. Dia memilah mana yang baik dimakan dan tidak.

Dia seperti lilin. Yang rela meleleh dirinya demi terang sekitarnya. Dia tidak mementingkan kebahagiaan sendiri.

Perempuan terkasih. Dari Ibu terkasih. Dengan kasih sayang dan cinta terkasih. Perempuan lebah dan lilin.

Di temaram malam dengan bayang temaram
Teguh perempuan berjalan dengan iman
Di temaram malam dia begitu jelas
Cerdas perempuan memilah-milah jalan
Di temaram malam terkadang ragu kabut atau orang
Perempuan itu bagai lilin dan tajam bagai lebah

            Lampu jalan jauh menggeliat memaksa jarak sampai
            Perempuan itu tetap jelas
            Dia bangun di sepertiga malam
            Pencipta menyelimuti cahaya sosoknya
            Menjauh temaram darinya

            Tersampaikan sajak lewat doa

5/13/2015

Pelajaran di Perjalanan

“Sejauh apapun perjalanan yang kamu lakukan, maka disanalah kamu merindukan rumah. Dan memilih untuk pulang. Meski tak menampik kamu akan mengulanginya lagi, lain waktu.”


Pelajaran di Perjalanan

Saat kamu memutuskan untuk bepergian dengan seorang sahabat, akan ada dua kemungkinan, semakin dekat dan menjaga jarak. Begitu pula dengan aku yang memutuskan untuk bepergian jauh bersama sahabatku. Panggil saja aku, Faid.

Pada bulan November 2014, kurang lebih tanggal 27 lah ya, aku dan sahabatku—namanya Mayka—melakukan transaksi pembayaran tiket (promo) pesawat dari maskapai AA yang menawarkan harga 200rb untuk tujuan Lombok. Absolutely we directly took it. What a badass price ever. Setelah mengisi data pembelian tiket pulang-pergi dengan pretelan harga yang mencapai 650rb per kepala. Kita nekat buat berangkat pada tanggal 10 Januari 2015. Dengan kantong pas-pasan.

Jeng jeng jeng...hari keberangkatan tiba. And you guys know what? Kita ketinggalan pesawat. KETINGGALAN. Salah lihat jadwal keberangkatan, yang harusnya jam 09.00, kita mengiranya jam 11.00. Salah kaprah. Dan baru sadar, jam sudah menunjukkan 09.00 kurang 15 menit, saat itulah baru sadar jika kita salah liat jadwal. Taksi (kuda putih) yang kita naiki seketika menjelma menjadi naga dengan super-speed. Well setelah berlari seperti cacing bunting yang nyari bidan buat bantu lahiran ke loket check in.

‘Tererenggggg, check in sudah closed! How cute this trip wanna be.’ Pikirku saat itu.

 Setelah berdiskusi dalam waktu kurang lebih satu menit (singkat) kita memutuskan menaiki bis DAMRI bandara Juanda ke terminal Purabaya, Surabaya. Kita sudah naik bis! Ke Bali! Iya, BALI! Setelah sampai di Bali, Terminal Mengwi, kita memutuskan untuk tidak singgah melainkan langsung menaiki APV sampai terminal Ubung (Denpasar) dengan harga 15rb per kepala, dan APV dinaiki oleh 15 orang. Jika kalian ingin merasakan kram kaki dan kesemutan pangkat 300 maka nikmatilah kemewahan APV yang disediakan Terminal Mengwi. Setelah sampai di terminal Ubung, kita duduk di ruang tunggu penumpang. Kemudian menaiki angkutan umum menuju pelabuhan Padang Bai untuk menaiki kapal yang kedua dalam perjalanan untuk sampai ke pelabuhan Lembar, Lombok.

Beberapa menit sebelum kapal menepi, salah seorang awak kapal menawari kita untuk memfoto ruang navigasi kapal yang diketahui peluncurannya pada tahun 1984. Wush! Patut diabadikan, selang beberapa lama, sang kapten keluar dari persembunyiannya. Pembicaraan dimulai dari bertanya asalnya, sekolah dimana, ngapain ke Lombok? Apakah ada saudara? Diskusi destinasi wisata dan transportasi yang bisa digunakan. Sampai pada titik dimana Mayka dan aku terhening dan heran karena tanpa alasan apapun sang Kapten mengatakan ingin memberikan tumpangan ke Senggigi—salah satu daerah yang terkenal dengan pantai Senggigi yang wajib didatangi saat pergi ke Lombok. Meskipun sudah banyak perubahan. Tapi keindahan ombaknya masih layak diperhitungkan, katanya.

Kata-kata setahta apapun tidak bisa menggambarkan perasaan kita. Dan demi apapun kita diberi tumpangan motor gratis ke Senggigi.

Memang benar, dimana ada pertemuan disitulah perpisahan akan datang dan pasti datang. Kapten harus kembali ke pelabuhan Lembar untuk beristirahat dan mencharge energi untuk berlayar keesokan pagi. Aku berkaca-kaca mengucapkan rasa terimakasih kepada beliau. Sungguh tak tahu bagaimana membalasnya. Melambaikan tangan, bye Cap. See you when we see you, Pak Mulyono.

Lombok bersahabat dengan kita. Dengan uang pas-pasan, kita tinggal di homestay murah meriah. Mengistirahatkan badan, hingga keesokan harinya kita memutuskan untuk pergi ke pelabuhan Bangsal menaiki motor, dengan sewa seharga 50rb sehari. Terbayar betapa cantiknya pulau yang dikelilingi semburat langit yang menyatu dengan laut. Kita kemana-mana berdua. Aku yang biasanya melakukan perjalanan seorang diri, lewat perjalanan kali ini, disadarkan. Betapa berartinya sosok seorang sahabat yang selalu ada disebelah kita. Berjalan beriringan dengan kita. Menikmati kuasa Tuhan, dibawah bentang langit, bangun di fajar dan menikmati keindahan senja bersama. Sungguh Lombok tak akan berkhianat pada persahabatan kita.

“Karena selalu ada pelajaran di setiap perjalanan.” Celetuk Mayka di perjalanan ke Bandara Internasional Lombok pagi itu.

“Ya. Tujuan perjalanan setiap orang berbeda. Tapi kita yang berbeda ini disatukan oleh perjalanan panjang yang tak luput dari pengorbanan di Lombok. Let’s come here again someday yah, Mayk.”

Sure.

Meskipun dari awal kita sudah diberi pilihan, untuk tidak berangkat atau berangkat. Kita memutuskan untuk berangkat dan menepis rasa kecewa karena ketinggalan pesawat. Kita mengestimasi biaya bersama selama di perjalanan. Kita makan a la kadarnya asal sampai di tujuan dengan pelajaran di setiap detiknya. Kita perlahan memahami satu sama lain. Menguar biasa saja. Perasaan sebagai seorang sahabat.


Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis

5/05/2015

Tuan segala Tuan, Mama (Ampunkanlah) atas Aku

“Ada bukan untuk menyandur. Ada bukan untuk menyalahkan. Ada bukan untuk memihak. Melainkan untuk berdiri dengan anggun memegang nilai dari nurani tanpa dipaksa.”

Daun yang jelas bagian dari pohon, melekat di ranting, bisa jatuh. Terbawa angin, terhempas tanpa bisa menolak meski memohon dan merengek, tapi ampun apa? Tidak ada. Semua berjalan. Meski kau memeluk, menciumi bumi yang kau agungkan, apalah dayamu atas akhir. Tidak berartilah kuasamu menahan menandingi sang pemilik kuasa. Bangun.

Sang penerima titipan menyeret kaki membawa beban. Sang beban hanya berlagak tidak sadar, berlagak melebihi beban kapas. Sementara bunda berusaha tegar, menguatkan. Sang Ayah memeluk dengan segenap hati melapangkan meski perih penuh tusukan—entah dari mana datangnya.

“Hei kau, Aing lari lompat-lompat ambil surga.” Teriak sang pandai besi pada salah seorang pemeluk keyakinan nurani.

“Aing? Aku saja lompat dapat.” Timpalnya sambil tetap menyulam ketenangan jiwa.

“Ah surga kau memang istimewa. Kau syukurilah.” Hardik sang pandai besi.

Andai tuan segala tuan yang maha segala-galanya mengijinkan sang penerima titipan yang sudah dengan putih tulus kasihnya mendapatkan surganya. Ah beban yang dia bawa tak kan pernah ditinggalkan. Meski beban masa bodoh. Dasar. Sang Ayah berdesir jiwa memohon, dalam hati semoga saja ada tempat kosong. Semoga saja masih ada sisa waktu untuk memudarkan kegelapan.

Waktu tidak pernah memihak. Berpihaklah pada waktu. Dia tidak memahami, maka pahamilah. Dia hanya berjalan, jika kau diam, dia tidak akan mengajakmu—maka kejarlah, ikutlah. Bukan sekedar ikut, hanyut-gontai-piawai (tanpa saringan)saja apalah arti selai ditengah biskuit.

Bergulirnya waktu ternyata membukakan pintu emas. Sang penjelajah waktu mensyukuri permadani yang menutupi kepalanya. Gaun sutera dengan panjang menutupi lengan dan punggung kaki. Serta cahaya dalam jiwa yang dimohon untuk tetap berpendar. Berbagilah. Berbahagialah.

Penuai syukur menunduk menatap sajadah yang telah lama ia tinggalkan. Merintihlah dia terharu, bahagia berusaha merekatkan kaca yang retak. Bergetar raga tanpa alasan dan sembab didapati keesokannya. Sepertiga malam yang membuatnya satir pada masa lalu. Selalu ada makna di balik cerita. Selalu ada rahasia dibalik sejarah. Selalu ada yang hilang dibalik yang ditemukan.

Minta ampunlah padaNya, ampunkanlah Mama atas ulahku. Atas aku. Aku.



5/01/2015

Jujurnya Seorang Aku

“Kasihan kasih tak terbalas. Kasihan yang tersia-siakan. Kasihan sampah yang disalahkan. Wahai pemberi kasih, bersihkan hati yang kian keruh.”

Jika diminta untuk menuliskan kejujuran yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya, maka tidak bisa dihitung jumlahnya. Tidak bisa disebutkan satu per satu, sebanyak apa kejujuran tersebut. Terbiasa hidup dalam kebohongan. Termasuk kebohongan atas diri sendiri. Ah kebohongan memang menjadi penolong di masa sekarang, tapi dia tidak punya masa depan. Untuk apa mempertahankannya. Saya kira tidak salah jika saya menuliskan kejujuran tentang diri saya. Meski rasanya sulit, jika memang bisa dicoba mengapa tidak.

Buddha mengatakan ada tiga hal yang tidak bisa disembunyikan, matahari, bulan, dan kebenaran.

Beberapa orang memanggilku Fa’id, jadi silahkan panggil demikian. Jujur, panggilan itu lahir karena begitu banyak orang yang bernama ‘diah’ atau ‘ayu’ bahkan ‘vivit’. I’d like it. Dan menjadi aneh dipanggil selain ‘Fa’id’.

Mantan anak motor *tiiiiiiit*, jadi pas kuliah tidak diijinkan untuk membawa motor.

Mantan anak pencak silat yang berhenti karena tidak ada kendaraan untuk datang ke tempat PKM. Duh bilang aja malas cari alternatif.

Jujur, sebelum kuliah berat badan 20 kilos lebih rendah daripada sekarang. Jadi suka merasa bingung, dulu kurus dan dibilang kurang makan, sedangkan sekarang gendut dibilang banyak makan.

Seorang anak perempuan yang sangat biasa-biasa saja. Bersyukur sekali masih diberi nikmat dan berkah keluarga yang selalu—literally always—meluruskan jalan yang sering membelokkanku. Keluarga adalah tempat dimana luka, duka, suka dan bahagia bermuara, semuanya menguar bebas disana. Meski terkadang keluarga bisa jadi boomerang. Justru dari situ mengajarkan banyak hal. Keluarga saja bisa jadi boomerang, bagaimana jika bukan keluarga. Mengambil pelajaran sederhana saja, sih.

Sangat sayang kepada orangtuanya dan tidak bisa mengungkapkannya. Oleh karena itu aku selalu berusaha mencari uang sampingan untuk bisa memberikan mereka sesuatu. Aku masih belum bisa menunjukkan ‘aksi’. Aksi, seperti rutin memijat kaki mereka, membantu memasak, membantu Ayah meringankan beban keuangan. Aku belum bisa semahir itu. Aku biasanya menuliskan rasa terimakasihku di secarik kertas, memasukkannya kedalam kotak kado, memberikannya kepada orangtuaku. Di hari Ibu, di hari ulang tahun, hari pernikahan mereka. Cukup bahagia, melihat mereka membacanya, menitikkan air mata.

“Happiness isn’t about how much we have, but how much we enjoy, that make happiness” –Charles Spurgeon-

Semoga aku bisa menjadi apa yang selalu kalian harapkan. Dengan tetap menjadi diri sendiri.

Punya dua saudara laki-laki yang sangat menyayangiku, begitupun sebaliknya. Mereka selalu menanti pulang—kata mom. Tapi, ketika ada mereka akan pura-pura tidak peduli. Saat harus kembali, mereka seolah tidak peduli padahal sudah menghitung kapan kakak akan kembali. Hisam, kamu lanjutkan ekstrakulikuler jurnalistik ya. Jaga kesehatan. Jangan makan sembarangan. Minum obatnya, jangan suka mimisan kayak aku. Jangan terlalu kurus, soalnya gabisa berbagi kaos dan celana jins. Aat, ekstrakulikuler penting nak, jangan lupa belajar. Matematika penting, jangan lupa mata pelajaran yang lain. Jangan malas kayak kakak ya. Maafkan belum bisa jadi panutan yang baik. I love you both.

Jujur, perkara mandi menjadi krusial. Sehari mandi sekali itu sudah anugerah. I can’t stand with it. Tapi berusaha untuk tetap wangi dengan parfum sebotol yang pasti habis sebelum kalender bulanan habis. Alasannya sih hemat air, tapi pada dasarnya malas mandi. Padahal islam mengajarkan, bersih itu ikut andil dalam bagian iman. Baiklah, I’m not that good enough, but am always learn abt it.

Terus, mataku minus. Yang kanan 200 yang kiri 175. Tapi malas memakai kacamata. Lagi-lagi terselip kata malas.

Jujur, suka bunga dan plester gulung. Bunga, dia selalu merekah pada masanya, dan itu alamiah. Kecuali kuncup yang patah sebelum merekah. Seperti cinta, bunga adalah cinta yang dibiarkan tumbuh. Benci adalah kuncup yang dibiarkan patah. Lalu mengapa plester gulung? Karena dia lebih rekat dibandingkan solatip plastik.

Suka beli Pro-ATP di apotek karena jantungnya suka kurang ajar.

Jujur, sering merasa unrequired, unimportant, dan be an alternative one. Artinya suka bawa perasaan. Kalian tahu kan maksudnya alternatif? Ya sudah kalau begitu tidak usah saya jelaskan.

Suka berdiam di satu tempat yang dirasa nyaman. Saat bosan, barulah beranjak. At least I was made a memory on it.

Tidak mudah percaya dengan orang lain. Tapi jangan berbohong di hadapan psikolog atau psikiater, mereka menyebalkan. Mereka membaca gerak-gerikmu.

Suka iri dengan mereka yang bisa membeli novel atau buku dengan uang mereka sendiri. Bahkan gaji bulanan diluar uang saku terkadang ‘eman’ banget buat membeli sesuatu. Orangtua tidak pernah menghendaki membeli novel, atau komik, atau semacamnya—sebenarnya, tetapi mereka tidak marah saat aku membacanya didepan mereka.

Tidak punya kesibukan seperti mereka diluar sana yang aktif dengan organisasi atau komunitas. Hanya berdiam diri di kamar kosan. Mengerjakan tugas (jika tidak malas), berangkat ke kampus (insyaallah dengan niat sepenuh hati), balik lagi ke kosan. Jadi, seolah aku ini tidak pernah capek, karena mereka melalukan ‘pekerjaan nyata’ yang lebih menguras keringat dan otak. Saat aku mengatakan aku capek, pandangan tidak percaya dan masa bodoh ada di beberapa reaksi orang-orang di luar sana. Ya, aku jobless. Aku tidak se-capek kalian. tidak se-berkontribusi kalian, aku tidak se-pandai, se-cerdas, se-pintar, atau se se yang lain.

Terimakasih untuk yang bertahan dengan manusia annoying sepertiku. Bersyukur sih jadi annoying, apasih yang nggak disyukurin. Tapi buat apa membandingkan, ribet banget idup cuman sekali pake acara dibanding-bandingin segala, rempong deuh. Hanya ingin memberi tahu saja.

Jujur suka ngendon di toilet. Karena disana diperoleh ide-ide cemerlang yang bisa menunjang kreativitas orang sepertiku.

Jujur tidak pernah makan sehari tiga kali. Jujur alergi ayam. Jujur alergi mayo. Jujur suka nori. Jujur kalau tidak meminum kopi suka pusing.

Jujur pernah patah hati dua kali. Dengan pairing imajinasi. Dengan sosok imajinatif. Dengan pasangan yang hanya ada di imajinasi. Sial.

Jujur, suka tokoh mickey mouse gegara pairing imajinasi menyukainya, sejak enam tahun yang lalu. Sebelumnya biasa saja dengan mickey mouse, malah lebih suka spongebob.

Jujur, kepalaku botak. Tetapi syukurlah, diselamatkan jilbab yang insyaallah akan selalu menyelamatkanku. Agama tepatnya. Ijinkan aku berlajar lebih banyak.

Tulisan kali ini banyak curhatan colongan. Yaudah sih. Demikian yang dapat saya tulis tentang kejujuran yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semoga tulisannya ada yang bisa diambil manfaatnya, maafkan tulisan saya kebanyakan omong kosong. Terlalu panjang dan membosankan. Selamat membaca.

#WritingChallenge #TulisanPalingJujurYangBelumPernahKamuPublikasikanSebelumnya #BloggerHIUnair2012 #With #Alya #Dawud #Mahrita #Mayka

“Terkasih melambai haru. Cinta meradang merongrong. Ough senja memanggil menghilang. Sampai jumpa lagi lain waktu.”