10/30/2015

October, 30-2015

Until You

Hidupku berpihak padaku. Hidupmu berpihak padamu. Hingga aku bertemu denganmu.

Semuanya berubah.

Hidupku berpihak padamu.

Rasa yang mengalir tanpa bisa kukendalikan. Perasaan itu mengalir tanpa jeda. Selalu mengalir padamu.

Saat aku melihatmu, seolah ada cahaya yang akan membimbingku. Saat kamu ada di dekatku, seolah hanya kamulah yang paling sempurna.

Kita menjadi teman. Kemudian membicarakan banyak hal. Aku berbicara dengan kata-kata yang segar. Aku bersembunyi dibalik punggungku dengan kata-kata itu.

Kamu lucu. Aku suka dengan senyum kecil di bibirmu. Kita bertemu beberapa kali sehari. Semuanya menjadi lebih cepat dari hari ke hari. Detak jantungku. Aliran darahku. Perubahan warna wajahku. Semuanya menjadi lebih cepat.

Satu tahun. Kamu menceritakan apa saja yang ada dalam pikiranmu. Tidak denganku.

Dua tahun. Kamu mulai suka mencariku hanya untuk bercerita. Tentang dia. Aku mendengarkan.

Tiga tahun. Kamu begitu bahagia bercerita tentangnya bersamaku. Aku (hanya) mendengarkan.

Empat tahun. Kamu ingin menyatukan cintamu dengannya. Aku sudah tak tahan.

Lima tahun. Aku ingin mengatakan semuanya padamu. Tentang apa yang selama lima tahun ini kurasakan dalam diam. Tapi hatiku mengalihkan cinta itu. Bibirku tertahan. Tidak mampu mengatakannya.

“Can we be together as one?”

Kata-kata itu hanya berlarian di kepala. Tidak sampai jatuh ke bibir. Semakin aku mencoba maka akan ada sesuatu yang patah. Akan ada sesuatu yang hilang.

Aku takut akan menyakitimu. Aku takut hal yang ingin kukatakan akan membuatmu terluka, menangis, aku tidk ingin itu terjadi. Mungkin aku harus menyudahi semuanya. Apapun itu tentang perasaaku.

Rasanya aku tidak pernah rela kamu dengannya. Tapi aku tidak bisa. Setiap kali aku melihatmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan hatiku. Aku mengijinkan kamu untuk pergi. Bersamanya. Meskipun aku tahu kamu tidak akan pernah kembali.


Perasaanku tidak pernah seperti ini sampai di kamu. Semuanya berubah. Dan aku tahu, kamu bukan untukku.

October, 29-2015

Trace

“It’s kinda cute to see your secret smile, but why you leave without a single trace?”

I know this life is crazy. You’re the perfect thing to see. Everytime I see you, I can’t if I just look at you. But I just can see.

Panggil dia El. Gadis itu memiliki magnet kuat dalam dirinya sejak pertama kali bertemu. Rambut warna merah muda yang manis. Dia selalu datang ke bar tempatku bekerja. Dia datang tidak untuk minum, dia hanya duduk. Memesan satu gelas lime-light memutari bibir gelas sekali dua kali. Mengalihkan pandangan ke lantai dansa, selama beberapa puluh menit. Memandang dinding disebelahnya, tak lama setelah itu dia pergi. Tanpa meminum pesanannya.

Tepatnya dua bulan yang lalu, pertama kali aku melihatnya datang. Rambut warna merah muda sebahu miliknya menarik perhatianku.

Satu minggu. Dua minggu. Ternyata dia datang satu minggu sekali. Tidak berbicara dengan siapapun. Jika ada yang mendekat dan bertanya satu atau dua hal, dia pergi.

Minggu ketiga, aku menempelkan note di lime-light pesanannya—yang baru kuketahui dia tidak pernah meminumnya.

-----------------
Enjoy your lime.
Thank you for coming
-----------------

Setelah dia mencabut note yang kutempel, kulihat dia membacanya dan tersenyum kecil. Tanpa rasa penasaran siapa yang menempel. Mungkin dia mengira bar ini mempunyai kebiasaan baru dengan menempel note di gelas pemesan lime-light.

Minggu keempat, gadis rambut merah muda itu datang di hari yang berbeda dari biasanya. Satu hari lebih awal. Selalu dengan rutinitas memesan minuman, melihat lantai dansa, berpaling ke dinding, kemudian lantas pergi.

Tanpa jejak.

Minggu kelima, saat itu aku sudah berandai-andai mengajaknya bicara, bertanya tentang satu hal. Atau banyak hal. Tentang rambut merah mudanya. Sayang, dia tidak datang. Begitu pula minggu-minggu setelahnya. Dan dia tidak pernah datang lagi.


Tanpa jejak.


10/07/2015

Kumohon

Terkasih,_

Kumohon,

Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk membuatmu percaya lagi pada cinta. Aku hanya bisa melakukan apa yang aku lakukan sejak kita pertama bertemu. Jatuh cinta. Setiap hari. Padamu.

Aku berusaha menatap matamu, mencoba meneduhkan. Aku siapkan pundak, barangkali kamu ingin bersandar. Aku tak masalah membelai tanganmu agar kamu tidak gelisah. Aku selalu berharap hati itu terbuka untukku, nyatanya tidak.

Seharusnya aku datang lebih awal. Agar kamu tidak terluka sedalam ini. Agar kamu tidak menimbun kesedihan dalam hatimu. Agar kamu selalu bahagia, dengan cinta yang aku berikan.

Aku tidak akan lelah mengharapkanmu. Aku sudah tidak tertarik untuk mencari-cari lagi. Pilihanku jatuh di kamu. Kutahu pada saat itu kamu ada yang memiliki, tapi hatiku sudah jatuh di mata teduhmu.

Hari itu, satu tahun sudah sedihmu tertanam dan mengakar. Aku mengajakmu makan siang, di tempat pertama kali aku jatuh cinta padamu. Tempat pertama kali aku terdiam menatap mata teduhmu. Menatapnya sembunyi-sembunyi. Begitu lama. Kemudian kamu menyadarinya dan aku salah tingkah. Aku mengarang beribu alasan agar kamu tidak berpikir macam-macam. Tapi alasan itu bohong. Sejujurnya aku tidak memiliki alasan mengapa aku menatapmu begitu lama.

Kita duduk berhadapan. Kamu menghabiskan makananmu begitu pula aku. Kemudian aku perlahan mengutarakan maksud sebenarnya aku mengajakmu. Tidak ada jawaban. Kamu menangis.

Kumohon jangan menangis.

Tidak mau tangismu semakin menjadi, aku berdiri dan duduk disampingmu. Menggenggam tanganmu. Memelukmu. Karena jawaban yang selalu keluar dari bibir indahmu adalah,

“Maafkan aku.” Jawabmu di pelukku.

“Kumohon,”

“Maaf.” Suaramu semakin lirih.

“Aku akan menunggu!”

“Aku masih tidak sanggup berdansa, aku yakin yang lain sanggup.” Kamu meyakinkanku untuk menyerah. Tapi aku tidak akan melakukannya.

“Itu bukan kamu.”


Kemudian kamu terdiam. Dan kita hanya mengakhiri semuanya dengan pelukan. Tanpa jawaban. Hanya genggaman tangan. Tanpa kepastian. Hanya menunggu. Hatimu.

Dengan Cinta,_



10/04/2015

Wahai Si Lalai

Tepat jam 12.15, hari Sabtu, 03-10-2015 di pintu masuk Hotel Malibu Surabaya, terjadi tabrak lari. Bisa dikatakan itu tabrak lari. Melibatkan satu motor dan satu mobil warna putih—masa bodoh mobil apa keluaran mana harganya berapa—dengan nomor polisi L 1570 EE.

Mobil putih itu dari kelokan sebelumnya, hendak belok ke hotel Malibu tanpa menyalakan lampu sign yang melaju dengan kecepatan sedang ke tinggi menabrak pengendara motor yang ada di sebelah kiri mobil terjatuh beserta motornya. Dadanya terkena kaca spion mobil yang bahkan sampai patah. Kemudian satpam hotel berhasil menghentikan. Reflek Mia dan saya berhenti di tengah jalan dan ikut di kerumunan. Muak ternyata dengan apa yang terjadi, di mana sang pengendara mobil membuka mobil dengan sombongnya dan memaki pengendara motor yang bahkan berdiri saja tertatih.

“HEI KAMU. NANTI KAMU SAYA INJAK LO! MINGGIR.” Sambil memunguti patahan kaca spion.

“Sudah pak sudah.” Lerai salah satu satpam.

“Dada saya sakit pak. Saya habis sholat dzuhur, makan, dan ini mau balik kerja.”

“APA KAMU INI” Teriak pemilik mobil dengan wajah marah. Kemudian masuk ke dalam mobil dan pergi.

Padahal jelas-jelas dia mau masuk ke dalam hotel, kemudian pergi ke arah yang berbeda. DASAR. Ingin mematahkan lehernya rasanya. Teriak-teriak teman saya memaki sang pengendara mobil yang bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun justru pergi layaknya pengecut.

Disini bukan saya membela pengendara motor dan mengabaikan mana korban dan tersangka. Karena jelas-jelas pengendara mobil lalai. Harusnya dia pelan di kelokan jika ingin masuk ke hotel. DAN menyalakan lampoon sign.

“Sudah mbak sudah. Mungkin orang kecil kayak saya biasa dibeginikan.” Ucap pengendara motor sambil memegangi dadanya. Kaki kanan dan lututnya lecet-lecet dan berdarah.

“Dada saya sakit. Saya mau ketemu mandor di proyek. Mau ambi bayaran.” Kemudian bapak itu mengeluarkan ponsel yang super sederhana.

Bapak itu menghubungi mandornya, dan ternyata sudah pulang. Jadi harus mengurungkan angan-angan bayaran. Dia baru mendapatkan bayarannya minggu depan. Alih-alih senang dapat bayaran justru dapat celaka dari orang yang lalai dan pengecut.

“Biarin mbak orang kaya biasa kayak gitu sama orang kayak saya.” Kata bapak itu yang sudah didudukkan satpam di kursi.

“Ya tapi ndak bisa gitu juga pak. Ini menyalahi aturan. Nanti orangnya makin angkuh, ngelunjak. Laporkan saja pak, saya ingat plat mobilnya.”

“Berapa mbak nomornya? L ya tadi?” Tanya pak satpam. Teman saya mengangguk.

“Gapapa mbak. Mungkin sudah jadi ujian saya. Mungkin nanti kaki saya butuh dipijat. Ndak usah dibesar-besarkan pak.”

Dari kejadian itu saya belajar tentang kebesaran hati. Materi tidak mengajarkan itu. Keikhlasan terkadang tidak dimiliki mereka yang justru berlebih. Bukan maksud menjeneralisasi, saya hanya melihat satu kejadian yang baru saja terlihat. Berbeda lagi disana sana ada kok yang berbaik hati mengantar ke rumah sakit, menanggung biaya rumah sakit. Ada juga yang tanpa turun dari mobil langsung pergi. Lebih pengecut lagi yang terakhir.

Manusia juga tidak hanya satu jenis, kalau semuanya baik neraka kosong dong nanti. Sesimpel itu tapi tidak semudah itu menerapkan hidup baik. Misalnya memaafkan. Memaafkan adalah salah satu sifat Tuhan, Tuhan maha mengampuni jika hamba meminta ampun. Tidak jika angkuh.

Tidak semuanya bisa diselesaikan dengan uang. Tidak semua rasa sakit dalam dada hilang saat terucap 'saya memaafkannya'.


SEKIAN.