12/31/2015

Poem.

Soerabaja, 12-31-2015

What can I do?

Is this caffeine that make me can’t sleep?
Or I just felt too deep into you?
When I’m away, my spring season change into frozen heart

I need my self
I don’t know how to find myself
Can’t move on until I find myself
I don’t know
Then what can I do?

Are we friend?
I’m feeling uneasy with you, isn’t it wrong?
It won’t be okay right?
Then, are we friend?
Tell me what can I do?

Daf & S. I .G




December, 31-2015

Dear,
You
Selamat Buat Kamu, Bulan Desember.

Di hari terakhir di bulan Desember, aku ingin berterima kasih. Kepada Desember.

Selamat buat kamu yang sekarang sudah berusia 21 tahun. Beruntungnya kamu, selalu menyambut tahun baru dengan umur yang baru. Semoga hari-harimu selalu dikelilingi dengan kebahagiaan.

Terimakasih untuk Desember yang membawamu padaku, sahabat yang apalah ini. Hari lahirmu saja lupa.

Aku berdoa yang baik-baik saja buat kamu, pal. Katanya doa itu bagian penuturan cinta pada sebuah cita-cita yang belum kita capai. Menarik bukan?

Dulu, sekalebet ingin pergi langsung dijabani. Sekarang, mengingat-ingat usia sudah di angka 21, dipikir dua kali lah ya paling tidak.

Dulu, berusaha lari dari kesedihan untuk mencari penghiburan. Sekarang, mencoba berdiam untuk membersihkan kesedihan itu dan menghibur diri.

Akan ada banyak hal yang berubah. Waktu menjadi buktinya. Semoga persahabatan ini tetap. Dulu dan sekarang. Terus berjalan seperti waktu yang tidak pernah berhenti. Seperti waktu yang tidak berjalan mundur, dia selalu melangkah maju. Tapi kita menyimpan bukti perjalanan.

Dilancarkan segala urusanmu. Kertas-kertas itu hasil usahamu, hasil pikiran hebatmu. Disegerakan memakai toga itu.

Selamat sekali lagi untuk usia 21-mu. Selamat bertambah angkanya. Selamat berkurang umurnya.

Sebelas hari setelah tanggal 20. Ini hari terakhir di bulan ini. Desember akan segera beranjak. Aku harap tulisan ini bisa menutup Desembermu dengan bahagia.

Sahabatmu yang apalah.

Your Pal,
Dafa




12/29/2015

December, 29-2015

Gadis dan Hujan.

Pandangan itu terpaku pada bayangan mungil di ujung payungan halte. Separuh tubuh gadis itu basah. Tapi tunggu, dia membawa payung.

‘Mungkin dia sengaja melakukan itu’ pikirku.

Saat bis datang, dia tak kunjung naik, justru menunggu penumpang yang lain naik duluan.

“Kamu tidak ingin naik?” Tanyaku padanya. Dia tidak menjawab. Hanya mengangguk lemah.

Tak lama setelah aku duduk di kursi paling belakang, dia masuk. Dia duduk di depanku, sengaja memilih kursi dekat jendela untuk memandang keluar. Tidak tahu kenapa aku ingin tahu kenapa dia begitu terpukau dengan hujan.
Setelah beberapa pemberhentian bis, akhirnya dia turun. Turun satu halte lebih dulu dariku. Saat itu hujan masih turun, meski tidak begitu lebat. Tapi dia tidak menggunakan payung. Dia membiarkan tas dan seluruh tubuhnya diguyur hujan. Disapu angin yang dibawa hujan. Aku menggeleng heran melihatnya.

‘Mungkin dia begitu menyukai hujan’ batinku.

Aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

‘Tapi apa alasannya?’ tanyaku dalam hati.

Apakah kamu mencari alasan untuk menyukai sesuatu?

Apakah cinta butuh alasan?

Begitu pula hujan, dia tidak butuh alasan untuk dicinta.

‘Tapi mengapa?’ hardikku lagi.

Jawabannya, mengapa tidak!

‘Dia bisa sakit.’ Sergahku terhadap pikiranku yang bertanya-tanya.

Dia sudah berani memilih.

Gadis itu memilih hujan. Mungkin saja dia percaya hujan tidak tega untuk membuatnya sakit.




December, 29-2015

Panggil dia, Bel.

Kali ini aku ingin bercerita tentang sahabat baikku yang sudah lama tidak kujumpai. Dia kukenal sekitar lima tahun yang lalu. Di penghujung musim hujan yang hangat.

Waktu itu dia sedang mengantri obat di salah satu tempat praktik dokter internis dekat rumahku sedangkan aku baru datang dan mengambil nomor antrian. Sungguh padat. Kursi yang tersisa adalah di depan kasir apotek, tepat disebelahnya. Kemudian aku duduk.

Perbincangan awal yang amat basa-basi. Ternyata kita di dokter yang sama. Kemudian kita gosipin dokternya. Mulai dari situ kita menjadi teman. Hanya sekedar teman gosipan.

Hari itu, Aku iseng mengiriminya pesan pendek.

---
Hai, Bel. Apa kabarmu?
---

---
Astaga Daaaaf, kamu masih hidup? I’m super duper in a good mood. But I’m not in a good health. *sad
---

---
What’s wrong? Is it the old one?
---

---
No. This is actually new! Hep-B.
---

---
OMG!
---

---
Maafin ya buat kamu khawatir. Habis, aku tidak berani cerita ke orang tua. Aku takut membuat mereka sedih.
---

---
Kamu takut membuat mereka sedih atau akan membuat mereka kecewa terhadap diri mereka seumur hidup jika baru mengetahuinya nanti setelah kamu pergi tiba-tiba dari hidup mereka?
---

---
Ini berat. Aku tidak berani.
---

---
Siapa yang mau sakit? Tidak ada, Bel. Health is super expensive. Even you can’t buy it with money, no matter how much it is.
---
.

Selalu. Jika berbincang dengannya. Isinya adalah kesakitan yang tiada henti.

Dia tidak mengeluh. Dengan dia merasakan semua kesakitan itu, semakin dia menghargai hari-hari yang dilaluinya. Tak seharipun dilewatkannya untuk bersyukur. Memuja karunia Tuhan. Nikmat dan Rahmat yang diberikan padanya. Dzat yang maha segalanya.

Terkadang seseorang perlu jatuh untuk merasakan sakit. Kadang mereka mesti diberi tahu bagaimana rasa sakit agar bersyukur betapa berharganya kata sehat. Terkadang harus terlanjur basah terlebih dahulu untuk meloncat ke dalam kolam. Terkadang harus dikejar agar segan berlari.


*nb: nama dan aku bukanlah aku yang sebenarnya*


12/20/2015

Gerbong Asmara


20 Desember 2015

Kereta KRD Surabaya – Bojonegoro

Pukul 10.06 tepat kereta tiba di stasiun gubeng lama, saya segera masuk ke gerbong 4 dan duduk di kursi 3E sama seperti yang tertulis di tiket (lebih mirip kupon undian berhadiah). Gerbong asmara saya menyebutnya.

Jika di kereta bisnis dan eksekutif, kursi penumpang tidak berhadap-hadapan. Namun di kereta (super) ekonomi yang saya tumpangi ada dua kursi panjang saling berhadapan berisi 4-6 penumpang. Ada kurang lebihnya. Tuhan menciptakan semuanya ada manfaatnya. Di kereta ekonomi saya masih menjumpai senyum hangat dan sapaan basa-basi yang menenangkan. Hanya saya AC suka tiba-tiba mati dan membuat lemak saya kepanasan.

Kebetulan sekali saya duduk sendiri. Berhadapan dengan pasangan suami-istri muda yang sedang sibuk mengatur letak barang bawaan. Saya senyumin saja mereka.

Selang berapa menit, sang istri mengeluarkan kotak KFC dari dalam tas. Aroma ayam tepung menguar.

‘Sial. Jadi lapar deh!’ Batin saya

Kemudian dengan sabar sang suami melipatkan kertas bungkus nasi agar sang istri tidak kesusahan memakannya. Pun membuka bungkus sambal dan kecap dengan sabar. Sepasang mata saya jatuh di perut sang istri yang buncit.

Kalian tahu kenapa perut sang istri buncit? Kembung? Busung lapar? Tumor?
Jangan horor dan bringas gitu deh mikirnya.

“Maaf ya mbak, suami saya jadi sok perhatian gitu sejak saya hamil.” Kemudian senyum-senyum ke suaminya.

Saya hanya meringis dalam hati. Mengangguk tanda tidak mempermasalahkan keromantisan mereka di depan gadis tak berhati seperti saya.

“Maafin istri saya ya mbak, dia jadi manja gitu sejak hamil.” Kemudian sang suami senyum-senyum ke istrinya dan mereka saling pukul pelan.

Membuat saya mengembik (embeeeeek) dalam hati. Rasanya saya ingin lompat dari jendela lama-lama di depan mereka.

“Gak papa. Mbaknya hamil berapa bulan?” Asli kalian harus tahu muka saya saat mengatakan kalimat tanya tersebut! Bersinar terang dengan deretan gigi yang dipamerkan lewat senyuman. Padahal saya ingin menyantap ayam yang dipegang sang istri. Ya basa-basi.

“Enam bulan mbak.” Jawabnya si calon ibu yang lahap memakan ayam.

‘Oalah saya kira kembung mbak.’ Batin saya dalam hati sambil menahan tawa. Kemudian saya istighfar dalam hati. Karena sudah menjadikan kehamilan orang lain sebagai bahan lelucon.

Memang saat itu adalah momen paling MEH. Berada di depan pasangan suami-istri muda yang masih doyan romantisan. Tapi tidak apa, saya menikmati setiap momen yang terjadi di hidup saya. Kan katanya hidup hanya sekali. Maka hidup sekali itu harus berarti. Setelah itu mati.

Adegan demi adegan membuat saya ingin menutup mata dan telinga. Tapi tidak mengapa. Hidup ini harus dinikmati, semengerikan apapun itu.

‘Hmmm begitu ya.’ Batin saya melihat perhatian satu sama lain.


Keduanya begitu mengagumi satu sama lain. Saya senang ikut mengetahuinya. Semoga selalu setia sampai kakek nenek, sampai akhir.