11/14/2016

My Best Friend Wedding

Wedding

Kamis, 21-01-2016 pukul 09.00 pagi, salah satu teman menggila saat duduk di bangku SMP sekaligus sahabat, resmi menjadi istri orang. Aku terharu. Dia sudah menyempurnakan agamanya dengan mengemban amanah menjadi seorang istri. Diberkati dan selalu melimpah rahmat untukmu, Put (Puput). Dimudahkan segala urusan. Kuat-kuat di ibukota.

Sore tadi, Mbak Andien dan Aku datang ke rumahnya. Karena satu dan lain hal kita berdua tidak bisa datang ke akad nikah dan resepsi pernikahannya. Jadi baru datang sore tadi.

Reuni bertiga setelah hampir empat tahun tidak bertemu. Sebenarnya kita adalah geng, mantan geng yang beranggotakan empat orang. Sayang, kita tidak bisa kumpul lengkap. Tapi gapapa, doa kita lengkap.

Kita membicarakan banyak hal.

“Put, kenapa kamu memutuskan untuk menikah?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku.

“Apa yang membuatmu begitu yakin, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah?”

“Konon katanya cinta itu tidak butuh alasan,” Jawaban Mbak Andien kemudian menggertakkan hatiku. *padahal gak punya hati*

“Tuh, Put. Cinta gak butuh alasan. Sama halnya dengan pertanyaan. Terkadang dia tidak membutuhkan jawaban.”

“Kamu butuh waktu berapa lama hingga akhirnya berani mengiakan semua ini?” Aku semacam menginterogasi pengantin baru saja.

“Sudah berapa lama pacarannya?” Tanya Mbak Andien kemudian.

Mbak Andien dan Aku semacam partner yang sedang menginterogasi saksi.
Kemudian Puput menjawab pertanyaan kita dengan satu kalimat.

“Kita sudah saling mengenal tiga tahun eh—” Belum selesai dia menjawab kita berdua sudah menyauti dengan jawaban yang sama.

Owalaaah pantas saja.”

Ternyata sudah lumayan lama mereka berdua saling mengenal. Tiga tahun cukup untuk memahami karakter dan sifat masing-masing. Untuk merencanakan semuanya hingga mereka memantapkan hati satu sama lain. Membuat keputusan, dan bersedia memulai lembaran baru.

“Sudah jatuh hati dari pandangan pertama.” Jelas Puput sedikit malu-malu.

WOW! Dia sungguh berani. Mengambil keputusan hebat dalam hidupnya. It is no joke! Wedding is no joke.

Kemudian Puput menemui tamu yang lain. Mbak Andien dan Aku kemudian mendiskusikan hal-hal lain.

“Puput sudah banyak berubah ya, semakin dewasa.” Ucapnya pelan. “Atau kita yang aneh ya, gini-gini aja?” Kemudian kita berdua tertawa pelan.

Ternyata benar, semuanya sudah banyak berubah. Aku masih ‘gini-gini’ saja. Masih dengan gaya slengekan, tidak serius dan kurang realistis dan logis. Aku belajar banyak dari orang-orang disekelilingku.

Jika melihat pernikahan temanku ini, maka pernikahan bukanlah pilihan. Bukan memilih menikah atau tidak. Melainkan keputusan yang harus diambil setelah upaya dan usaha saling mengenal. Sehingga tidak ada kata ‘untuk apa lagi hubungan ini?’. Pasti mereka berdua sudah dipusingkan dengan banyak hal. Sudah mempertimbangkan macam-macam.

“Put kamu capek ya?” Tanya Mbak Andien saat Puput kembali bergabung dengan kami.

“Iya, capek banget.” Kemudian kita duduk berjajar. Ah rasanya menyenangkan sekali berkumpul seperti ini.

Rasanya kita masih seperti bertemu biasa, dia yang ceria sama dengan beberapa waktu lalu. Tapi tidak, semuanya berbeda. Dia sudah menjadi lebih dewasa dan memperhitungkan ini dan itu.

Sekali lagi selamat menempuh hidup baru pernikahan untuk temanku yang dari dulu hingga sekarang masih konsisten kecil dan imut, Puput.


-Sementara aku sudah seperti raksasa yang tiap pekan membesar. Melebar. Dan sejenisnya.-

11/04/2016

Bunga Liar


Bahkan musim sudah berganti. Sampai bunga liar saja sudah berlarian menebar aroma kehidupan. Sementara aku masih terkurung masa lalu. Masa ketika kamu memilih untuk pergi, meninggalkan aku dan keragu-raguanku.

“Waktu akan membuatmu lupa!” Katanya.

Yang benar saja. Kalau hati masih saja bergumam macam-macam, maka selama apapun itu tidak akan bertemu keikhlasan. Waktu tidak membuat lupa, aku lah yang seharusnya berusaha seiring berjalannya waktu.

***

“Sepertinya saya harus benar-benar pergi, sekarang.”

Aku akhirnya mengangkat kepalaku yang dari dua menit lalu tertunduk tak berani memandang wajahmu.

“Kenapa?” Ingin sekali menanyakan itu padamu tapi itu hanya tertahan di batas antara alam sadar dan alam bawah sadar.

“Karena kamu masih belum bisa menjawabnya, mungkin ini waktu yang tepat untuk saya.” Kamu mengucapkan kalimat keduamu dengan hati yang teriris. Aku bisa merasakan itu.

“Untuk apa? Pergi? Apa begitu melelahkan?” Lagi, pertanyaanku untukmu tak pernah benar-benar kutanyakan padamu.

“Mungkin ini waktu yang tepat buat saya untuk pergi. Biar kamu gak terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Supaya kamu gak terbebani.” Senyumanmu diakhir kalimat semakin menegaskan kalau kamu dengan berat hati memilih untuk berhenti. Aku tahu kamu pasti sangat lelah.

“Maaf.” Justru satu kata pendek itu yang bisa keluar dari mulutku.

“Bukan itu yang ingin saya dengar.” Kamu memandangku lamat-lamat.

Dengan pandangan matamu yang sendu, kamu menggenggam tanganku. Telapak tangan yang dingin. Kuharap hatimu selalu hangat. Seperti sejak pertama kali kita berjumpa.

“Kamu harus jaga kesehatan. Sempatkanlah tidur, meski hanya 3 jam. Jangan minum soda dan makan pedas terus. Saya tidak ingin kamu sakit.” Kamu masih menggenggam tanganku dengan telapak tangan dinginmu sementara aku dari tadi tak ingin mengalihkan pandanganku selain padamu.

“Maaf.” Lagi, satu kata pedih itu yang keluar dari mulutku.

“Sungguh bukan itu yang ingin saya dengar dari kamu. Saya tahu ada banyak yang ingin kamu sampaikan, tapi kamu masih ragu.”

“Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik. Daripada seonggok keragu-raguan yang bahkan tidak bisa menjawab pertanyaanmu.”

“Meski yang saya inginkan adalah kamu?” Kamu tersenyum. “Tidak usah dipikirkan lagi pertanyaan saya. Dia tidak harus selalu dijawab.” Kamu melepas genggaman tanganmu. “Saya pergi ya?”

“Boleh saya peluk kamu?” Aku tak tahu kenapa aku melakukan itu padamu.
Kamu mengangguk.

Itu adalah pelukan pertamaku sekaligus terakhirku untukmu. Karena kamu kemudian pergi. Begitu jauh. Membawa kotak cincin yang tak pernah sampai padaku.

***

Kini aku merindukanmu. Kamu yang sejujurnya sudah tidak bisa dirindukan olehku. Maka aku akan terus diam bersama keragu-raguanku. Dan berharap bunga liar bersedia menghampiriku untuk berlarian dan menari bersamanya. Aku berharap aku akan bersemi lagi. Menepikan keraguan.

Terimakasih, untuk kamu yang tidak ingin aku sakit.

10/28/2016

10:19 PM