5/11/2017

Rekasa Separuh Bulan

Begitu banyak hal yang tidak begitu penting dalam blog ini, begitu banyak nama pula didalamnya. Namun, ada satu nama yang selalu hadir baik saat ada wujudnya maupun tidak, Bulan. Hanya satu dua menit tiap malam mengamatinya. Tapi seolah dia mampu tersenyum baik dalam senang dan sedihnya.

Bulan mengajarkan hal-hal penting. Di awal bulan dia tidak punya apa-apa, tapi tidak lantas pergi. Dia selalu datang tiap malam, hingga penuh terisi. Rekasa separuh bulan yang luar biasa cantik membuat siapa saja terkagum melihatnya.



Di akhir bulan, dia memberikan semua apa yang dia miliki, untuk kebahagiaan. Dia tahu apa yang dimilikinya bukan berasal dari dalam dirinya melainkan dari sinar matahari milik sang maha segala. Tapi Dia tak mengapa meski sinarnya didapat dari matahari namun, bahagia yang dirasa makhluk di bumi membuatnya selalu merasa berarti.

Libi


Bolehkah aku singgah?

Apakah kau mendengar aku membisikkan namamu, merindumu disela nafasku?

“Plis, ini sudah dua tahun lamanya. Tidak bisakah kau melupakannya, Bi?”

“Yaampun sebegitu cintanya kamu sama dia, Bi?”

“Bi, kayak gaada yang lain aja lo inget-inget doi mulu!”

Sampai lelah aku mendengarnya. Tapi entah mengapa aku masih saja mengharapkanmu!

Bagaimana aku bisa lupa dengan caramu menyakitiku? Kau tidak pernah menyadarinya sebelum membuatku bersedih.

Malam itu,
Aku sedang membuat puding untuk kuberikan padamu keesokan paginya sekalian berangkat ke kantor, ketika kau menelponku.

-Halo, bi. . .- Suaramu terdengar parau seperti baru bangun tidur. Aku tersenyum seperti biasanya setiap mendengar suaramu memanggil namaku.

-Iya sayang?-

-Ada yang mau aku bilang ke kamu,- Lagi, mendengar kalimat tersebut senyumku semakin lebar saja dibuatmu malam itu memikirkan kamu akan melamarku seperti janjimu.

-Katakanlah-

-Hai, Libi...- Deg, rasanya jantungku mau lepas dari tempatnya. Ada suara perempuan. Siapa? Adiknya? Yang kutahu dia hanya punya adik laki-laki. Ibunya? Suaranya terlalu muda.

-Iya?- Suaraku terdengar sangat pelan, bahkan aku kesulitan bernafas.

-Sepertinya kamu harus pergi dari kehidupan Natan, dia barusan melamarku setelah kita menghabiskan dua malam bersama!- Saking tidak percayanya aku dengan apa yang barusan kudengar, aku terjatuh dan bersimpuh air mata.

Aku tidak sanggup berkata-kata, selain mendengarnya sampai selesai.

-Kumohon kamu mengerti dan tidak mengganggu kisah cinta kami lagi. Pergilah yang jauh. Daaaah muaaach.- Tangisku semakin pecah. Bisu tanpa suara. Tubuhku bergetar. Kepalaku tidak mampu untuk berpikir malam itu.

-Apakah kamu sudah mendengarnya, Bi? Selamat tinggal. Bahagialah.- Tepat setelah kau mengakhiri kalimatmu, sambungan telepon terputus. Bagaimana bisa kau menyuruhku bahagia sementara bahagiaku adalah bersamamu.

Hingga dua tahun berlalu. Aku tidak bisa lupa. Bagaimana kejamnya caramu memutus hubungan denganku. Bagaimana kamu menganggap aku hanya batu yang diam saja. Sekarang, bolehkan aku singgah? Menyubit sedikit kebahagiaan kalian!



Next! Wait next week!

Libi yang semakin kuat dan terlatih.